Bertrand Russell menulis: “Bangsa
Persia sejak dulu sangat religius dan menyukai pemikiran spekulatif. Sesudah mereka
memeluk Islam dan menjatuhkan pilihan pada Syi’ah (dan bukan pada Sunni),
mereka menjadikan ajaran Islam lebih menarik dan lebih filosofis”.
Dengan nalar filsafat-lah,
umat Islam dituntut untuk tidak melakukan sikap-sikap apologetik dengan
kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang
rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun di sisi lain sangat takut atau
bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner bertentangan dengan
hasil-hasil sains yang faktual. Dan sebagaimana dikemukakan Bertrand Russell (1999:
297) dalam ulasan sejarah filsafat yang ditulisnya, menyatakan bahwa penyumbang
terbesar nalar filsafat dan saintis kaum muslim ini adalah Bangsa Persia.
Dan memang, telah menjadi Ittifaq
para ahli bahwa filsafat dengan nalar burhani-nya merupakan salah
satu warisan berharga nalar Islami, selain bayani (fiqih), dan irfani
(tasauf).[1] Bagi Hasan Hanafi, contohnya, ini merupakan turats (peradaban) berharga yang sangat
sukses mempertahankan eksistensi ajaran Islam, disamping Ilmu Kalam, Ushul
Fiqh, dan Tasauf.[2] Lebih lanjut, menurut Hasan Hanafi, meskipun
Ilmu Kalam mirip dengan filsafat dan merupakan tradisi berpikir warisan Islam
yang agung, namun filsafat memiliki kelebihan sendiri, yang diantara kelebihan
tersebut –dengan bahasa yang dipersingkat—adalah:
[1] Merubah teologi menjadi ontologi. Di sini filsafat
tidak hanya berbicara tentang Tuhan semata, tetapi juga tentang wujud secara
umum (kosmologis).
[2] Tidak membutuhkan metode nash yang dominan dalam Ilmu kalam. Filsafat telah menancapkan rasionalisme Islam yang independen alias mandiri disamping Kalam yang menujudkan kebenarannya dari formulasi makna-makna wahyu.
[3] Filsafat telah mengungkapkan dimensi misteri dalam nash agama, style-style imajiner dan bentuk-bentuk seni –yang kemudian melompat menuju meta-imajinasi yang membebaskan dirinya dari bentuk-bentuk seni dan menghancurkan keharfiahan makna. Melepaskan diri dari bahasa teologi yang tertutup dan tunduk pada rumus keagamaan, menuju jalan rasional, terbuka, dan humanis.
[4] Filsafat mampu menggabungkan teori-teori yang
berserakan yang ditinggalkan Ilmu Kalam.
[5] Filsafat telah menghapuskan keterpecah-belahan
firqah-firqah menjadi semangat yang tunggal dominan.
[6] Filsafat mencerminkan ufuk (cakrawala atau lanskap)
yang lebih luas, lebih sempurna dan universal ketimbang Ilmu Kalam.
[7] Secara prinsipil, filsafat berlandaskan pada
pembuktian dan membahas kepastian internal, rasional, dan natural, sementara Ilmu
Kalam selalu bertumpu pada polemik dan jadaliyah (debat) yang lebih
bertujuan membungkam lawan daripada mencari kebenaran.[3]
Dengan nalar filsafat
inilah, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan sikap-sikap apologetik dengan
kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang
rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun di sisi lain sangat takut atau
bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner bertentangan dengan
hasil-hasil sains yang faktual.
Meskipun demikian,
filsafat bukanlah alat untuk menjustifikasi kebenaran atau kesalahan agama,
tetapi lebih sebagai alat bantu yang dipertimbangkan untuk dapat menafsirkan
agama dengan benar, aktual, dan fungsional. Ini bukanlah usaha apologetis
tetapi ijtihadis. Dengan cara ini, filsafat akan memberikan ketelitian
manusia dalam berpikir, sehingga berimplikasi memperkuat keyakinan agama dan
kebenaran ajaran yang dianutnya.
Salah satu yang
menyebabkan tertancapnya akar keyakinan beragama secara kuat adalah paradigma
dan ideologi yang dianut. Ideologi pada dasarnya merupakan tumpuan agama yang
diperoleh dari pandangan dunia (al-ru’yah al-kauniyah alias world view) sebagai
poros manusia dalam menafsirkan secara universal keberadaan hirarki wujud
semesta. Al-ru’yah al-kauniyah ini sebagai hasil kajian dan penalaran
yang memberikan kesimpulan tentang alam jagat-raya (makrokosmos),
tentang manusia (mikrokosmos), masyarakat dan sejarahnya, yang diperoleh dari
analisis filosofis yang matang dan berasaskan pada Epistemologi Islami.[4] Ciri-ciri Pandangan Dunia yang baik,
sebagaimana yang dipaparkan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, adalah:
[1] Pandangan dunia yang berlandaskan pada berbagai
argumentasi akal (logis dan rasional).
[2] Pandangan atau proses penafsirannya harus sesuai
dengan fitrah penciptaan alam.
[3] Selain memiliki nilai, pandangan dunia tersebut juga
mengobarkan semangat, harapan, serta rasa bertanggungjawab.[5]
Dengan demikian, jelaslah
bahwa nalar filsafat membantu manusia membangun paradigma dan ideologinya. Paradigma
adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti
misalnya sains dan teknologi. Dalam sains, paradigma berarti asumsi-asumsi
filosofis yang diyakini ilmuwan secara umum dalam usaha mengkaji sesuatu. Dan karena
dikatakan sebagai asumsi-asumsi filosofis, maka ia mengandung asumsi metafisis,
ontologis, epistemologis, aksiologis, visi, bahkan sistem nilai.
Dan sebagaimana kita tahu,
paradigm ini menjadi populer ketika didengungkan oleh Thomas S. Kuhn pada tahun
1970 melalui karyanya yang cemerlang, The Structure of Scientific
Revolutions. Dalam karyanya ini Kuhn telah mendeskripsikan berbagai makna
paradigma. Yang menarik adalah temuannya yang mengemukakan bahwa analisis sains
mendasarkan diri pada paradigma yang dianut seorang saintis, sehingga dapat
terjadi perbedaan para saintis dalam kajian risetnya dikarenakan perbedaan
paradigma yang dianut tersebut.[6]
Sementara itu, di jurusan
lain, jika kita menelusuri ayat-ayat al-Quran suci yang tersurat, yang tersirat,
maka, walaupun al-Quran bukanlah kitab filsafat yang diilhami melalui refleksi
filosofis, namun tak mungkin pula kita pungkiri bahwa al-Quran memuat
unsur-unsur yang filosofis, rasional, dan memancing nalar untuk melakukan fikr
yang argumentatif dan rasional.
Catatan:
[1] Tentang trilogi Nalar Islami ini lihat pembahasan
komprehensifnya pada karya Muhammad Abid al-Jabiri: Bunyah al-Aql al- Araby:
Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al- Ma’rifah fi al-Tsaqafah
al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990).
[2] Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 2001), h. 225-234.
[3] Hasan Hanafi, Turas, h. 229-231.
[4] Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi
(Jakarta: Lentera, 2001), h. 18.
[5] Muhsin Qiraati, Membangun Agama
(Bogor: Cahaya, 2004), h. 4.
[6] Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma Dalam
Revolusi Sains. (Bandung: Rosda, 1989), h. 108-109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar