Senin, 12 Januari 2015

Faktor-Faktor Transformasi Sosial Perspektif Nahjul Balaghah



Oleh Sayid Dhia i Hasim (Penerjemah: Nasir Dimyati)

Salah satu tema penting dalam pembahasan sosial dan sepanjang sejarah menjadi fokus penelitian para pemikir, adalah transformasi sosial di tengah berbagai masyarakat manusia. Karena, sudah barang tentu tidak ada satu masyarakat pun di sepanjang masa yang tidak mengalami perubahan dan transformasi. Di dalam pembahasan mengenai transformasi sosial akan dikaji tentang persoalan-persoalan seperti faktor, situasi dan kondisi, metode, dan pelaku transformasi.

Di dalam artikel ini, kita akan menelaah faktor-faktor transformasi sosial menurut perspektif Nahjul Balaghah. Di dalam sosiologi, kajian tentang faktor-faktor itu sangatlah penting, seperti faktor ideoloigi, pertentangan, ekonomi, teknologi, populasi, elit dan kepemimpinan yang biasanya diperkenalkan sebagai faktor transformasi sosial. Sebelum para sosiolog, filsuf-filsuf sejarah juga telah menyebutkan faktor-faktor tertentu untuk itu dan menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Sebagian berpendapat bahwa orang-orang jenius yang menjadi faktor efektif dalam transformasi sosial. Teori kedua mengajukan penumpukan ilmu sebagai faktor, menurut mereka pada kenyataannya, ilmu setelah menumpuk menjadi faktor berbagai perubahan yang terjadi di tengah masyarakat. Ada juga teori-teori lain yang menyebutkan inovasi, klan, situasi ekonomi dan ciri khas biografis sebagai faktor.[1]

Di sini, kita akan mengkaji apa saja faktor transformasi sosial menurut pandangan Amirul Mukminin Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah:

1. Iman dan Akidah

Banyak dari perkataan Amirul Mukminin Ali as yang menyebutkan agama, khususnya agama Islam, sebagai faktor umum transformasi sosial. Di beberapa kesempatan beliau secara umum menyebutkan agama dan gerakan atau transformasi yang dilahirkannya. Menurut keterangan beliau, ketika akidah dan norma-norma agama tidak lagi mengalir di tengah masyarakat, maka akan terjadi perselisihan sosial, sehingga hilanglah daya penggerak yang mampu memompa energi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan mampu memberikan berbagai hasil yang kongkrit. Beliau as berkata:

Coba perhatikan runtuhnya nikmat-nikmat Allah atas umat-umat terdahulu, ketika seorang nabi diutus kepada mereka, maka dia mengarahkan mereka untuk taat kepada Allah, dan dengan ajakan itu dia membuat mereka jadi rukun. Perhatikanlah bagaimana kenikmatan membentangkan sayap-sayap kedermawanannya untuk mereka dan mengalirkan sungai-sungai nikmatnya untuk mereka pula.[2]

Pada paragraf sebelumnya dari pidato yang sama, Amirul Mukminin Ali as menerangkan situasi dan kondisi masyarakat-masyarakat pra pengutusan Rasulullah Saw, beliau menyebutkan kondisi mereka yang terpecah belah, lemah dan terhina:

Kondisi mereka labil, tangan mereka bertengkar dalam kerja, komunitas mereka terpecah belah dalam malapetaka yang berat dan kebodohan yang kuat. Mereka tenggelam dalam penguburan anak perempuan secara hidup-hidup, penyembahan berhala, pemutusan tali silaturahmi, dan perampokan satu sama lainnya.

Fungsi yang disebutkan di sini untuk agama sangat menarik sekali. Agama adalah serangkai aturan, hukum dan akidah yang mengorientasikan sikap individu-individu terhadap dunia dan masyarakat serta mengatur hubungan-hubungan mereka satu sama lainnya. Oleh karena itu, anggota masyarakat yang hampa agama (seperti masyarakat yang dilukiskan oleh Nahjul Balaghah tadi) akan mengalami kelabilan intelektual, kerancuan mental, dan perselisihan amal. Ketika Amirul Mukminin menghadapi kelesuan amal di tengah masyarakatnya yang tersusun dari orang-orang muslim, beliau gusar dan langsung mempertanyakan keberagamaan mereka, beliau heran kenapa mereka berpecah belah dan tidak stabil padahal mereka mengaku beragama. Hal itu karena yang diharapkan dari masyarakat yang sungguh beragama dan beriman adalah persatuan dan kekukuhan, sehingga tidak mungkin mereka membiarkan diri bimbang dalam gerakan reformasi dan sosial. Beliau di dua kesempatan yang lain mengucapkan hal yang sama, 'Sungguh masyarakat macam apa kalian ini; adakah agama yang menyatukan kalian?!' [3]

Penantian Amirul Mukminin as dari masyarakat beragama adalah, secara sosial mereka memiliki ikatan yang kuat, dengan bekal tujuan dan jalan yang jelas mereka tidak akan lemah atau ragu-ragu dalam menentukan sikap-sikap sosial. Semua itu tiada lain dihasilkan oleh penentuan agama, penyebarannya, dan penerapan hukum serta undang-undangnya. Oleh karena itu, dengan diutusnya para nabi as, masyarakat beralih dari perpecahan dan ketidakstabilan menuju kerukunan dan kemuliaan sosial, kelompok-kelompok masyarakat yang lemah dan tertindas menjadi mulia dan tuan. Di dalam Nahjul Balaghah disebutkan:

Berkat agama, kehidupan mereka jadi teratur, mereka jadi mulia di bawah naungan pemerintah yang kuat, urusan mereka jadi lancar dan pemerintahan mereka jadi kuat, mereka penguasa alam semesta dan raja di segala penjuru bumi, mereka merebut kendali urusan terhadap orang-orang yang sebelumnya memegang kendali itu atas mereka, mereka menandatangani keputusan-keputusan atas orang-orang yang sebelumnya menandatangani keputusan-keputusan itu atas mereka.

Selain berbicara tentang dampak agama secara umum, beliau juga berbicara tentang dampak agama Islam secara khusus, antara lain gerakan dan kemuliaan yang dipersembahkan oleh agama Islam kepada umat manusia. Di pidatonya yang ke-198 dalam Nahjul Balaghah beliau mengatakan:

Agama Islam, dengan keagungannya ia membuat agama-agama lain jadi kecil, dengan ketinggiannya ia membuat bangsa-bangsa lain jadi rendah, dengan kemuliaannya ia membuat musuh-musuhnya jadi hina, dengan kemenangannya ia membuat penantangnya jadi tercela, dengan kekokohannya ia membuat tonggak-tonggak kesesatan jadi hancur.

Dengan munculnya agama Islam, masyarakat berbondong-bondong memeluknya, agama-agama yang lain entah buatan tanpa latar belakang yang kuat, entah keluar dari identitasnya yang asli karena telah mengalami berbagai distorsi, sehingga praktis agama-agama itu tersingkirkan, semakin kekuatan masyarakat Islam bertambah dan masyarakat lebih mengenalinya maka semakin lemah pula kecenderungan mereka pada agama-agama yang lain. Otomatis, masyarakat-masyarakat non muslim merasakan bahaya kehancuran di hadapan peradaban yang baru muncul ini. Tentunya dengan catatan bahwa semua ini selama kepercayaan religius kaum Muslimin dan persatuan intelektual mereka masih terpelihara dengan baik; karena, ketika sentral ideologi mereka –yang memberi persatuan dan keharmonisan- melemah maka kejayaan masyarakat tidak bisa lagi diharapkan lestari. Itulah sebabnya Amirul Mukminin Ali as menyandarkan keagungan Muslimin pada Al-Qur'an selaku poros pemikiran dan ideologi mereka:

Al-Qur'an, sebuah kemuliaan yang tak terkalahkan penolongnya, dan sebuah hak atau kebenaran yang tak terhinakan pembelanya.[4]

Di kesempatan lain, beliau meriwayatkan dari Rasulullah Saw seraya menekankan urgensi kitab yang suci ini dan pentingnya seseorang untuk berpegang teguh padanya:

Hendaknya kalian memperhatikan kitab Allah Swt (Al-Qur'an) selaku tali yang kuat, cahaya yang terang, obat yang mujarab dan mampu memuaskan kehausan manusia. Peliharalah orang-orang yang berpegang teguh padanya dan selamatkanlah orang yang bergantungan. [5]

Tentunya, faktor apa pun akan berpengaruh pada masyarakat ketika situasi dan kondisinya mendukung. Agama, dalam kapasitasnya sebagai faktor transformasi, akan melahirkan sebuah gerakan, tapi dengan syarat iman dan prilaku religius berjalan di tengah masyarakat. Selain dari itu, agama yang hanya ada di dalam kitab-kitab dan diabaikan tidak mungkin menaruh dampak sosial yang berarti. Demikian pula halnya dengan agama Islam; ketika ia menjadi poros ideologi masyarakat, pasti akan menciptakan sebuah perubahan di antara mereka, seperti merubah kehinaan kaum Arab Jahiliah menjadi kemuliaan mereka.

Berkat karunia Allah, kalian telah sampai kepada kedudukan dimana budak-budak perempuan kalian dihormati dan tetangga-tetangga kalian dikunjungi.

Transformasi sosial ini terjadi setelah sekian tahun Rasulullah Saw berusaha keras sehingga banyak dari masyarakat yang memeluk agama Islam dan bersatu di bawah panji satu agama serta satu pemimpin.

2. Moral dan budi pekerti

Faktor lain yang dipandang urgen sekali dalam proses transformasi sosial adalah karakter-karakter moral anggota masyarakat, entah itu karakter yang baik atau pun karakter yang buruk. Menurut Amirul Mukminin Ali as, ada beberapa karakter yang apabila disandang oleh anggota-anggota masyarakat akan memberikan dampak konkrit sosial dan general. Kemudian, apabila karakter-karakter itu mengalir di tubuh masyarakat maka akan berubah menjadi sebuah fenomena sosial dengan segenap efeknya. Sebagai contoh, di dalam salah satu pidatonya tentang masyarakat yang telah sampai pada keberhasilan, beliau menyebutkan faktor keberhasilannya seraya berkata:

Demi Allah! Mereka adalah masyarakat yang berpandangan berkah, berias kemurahan hati, bertutur benar, berhindar dari kezaliman, mereka menginjakkan kaki di jalan yang benar dan melaju kencang ke depan, sehingga mereka sampai pada kemenangan yang lestari dan kemuliaan yang memuaskan.[6]

Di mata Amirul Mukminin Ali as, tolok ukur kebenaran jalan dan kemuliaan manusia adalah norma-norma agama. Di hadis itu beliau sebut penyebaran karakter-karakter moral yang terpuji; seperti kejujuran, kebenaran, kemurahan hati dan keadilan, sebagai faktor yang mengantarkan manusia sampai tujuan tersebut. Di bawah ini, kami akan memaparkan sebuah contoh dari karakter akhlak yang dititikberatkan oleh Nahjul Balaghah.

Berulangkali Amirul Mukminin Ali as memperingatkan para gubernurnya akan bahaya orang-orang sekitar mereka yang hobi menjilat, dimana penjilatan itu menyebabkan mereka jadi bangga dan congkak; kenapa demikian, karena karakter-karakter semacam itu memotivasi para penguasa untuk melampaui batas dan berbagai urusan menjadi kabur di mata mereka:

Bergabunglah dengan orang-orang yang bertakwa dan jujur, binalah mereka sekiranya tidak sering menyanjung diri kalian dan jangan sampai mereka membuat hati kalian gembira dengan cara memuji perbuatan sia-sia yang tidak kalian lakukan; sebab, sanjungan yang berlimpah akan melahirkan kecongkakan lalu kedurhakaan.[7]

Di paragraf lain dari surat yang sama beliau menyatakan:

Hindarilah sifat angkuh, percaya dengan keangkuhannya, dan senang pada sanjungan orang lain; karena semua itu merupakan sebaik-baik kesempatan setan untuk menyerang dan membinasakan orang-orang yang baik.[8]

Berdasarkan hadis ini, sanjungan dan pujian yang bukan pada tempatnya berpotensi membuat para penguasa menjadi angkuh, otomatis dalam kondisi seperti ini sifat menjilat dan cari muka akan menyebar luas di tengah masyarakat, hubungan yang jujur antara rakyat dan pejabat jadi terbatas dan langka, sehingga pada akibatnya proses pengendalian sosial secara resmi dan menyeluruh jadi gagal, tolok ukur yang tepat dalam mengevaluasi dan mengukur tingkat kesuksesan para penguasa serta kepuasaan rakyat yang dicari oleh mereka jadi hilang, dan pada akhirnya sistem sosial jadi tidak teratur.

3. Jihad

Jihad adalah doktrin agama Islam yang penting sekali, doktrin ini disyariatkan untuk membela kepentingan-kepentingan masyarakat dan menghantam musuh-musuh. Di setiap masyarakat, pertahanan untuk menjaga tonggak masyarakat adalah sebuah persoalan yang sangat penting dan diperhatikan, maka dari itu senantiasa diberi biaya besar dan dilakukan perencanaan khusus untuknya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa di semua masyarakat dunia sekarang, tidak ada satu negara pun yang memandang dirinya tidak butuh kepada militer yang bertanggungjawab untuk melindungi kehormatan negara dan menjamin keamanannya. Syariat Islam mengemukakan kebutuhan ini dalam bingkai doktrin agama dan menjelaskan perincian hukum-hukumnya.

Terkait masalah pengaruh jihad dalam menentukan nasib masyarakat, Amirul Mukminin Ali as di dalam pidatonya (pidato ke-110 yang bertajuk Jihad di Jalan Allah) mengatakan: Jihad di jalan Allah menjanjikan kehormatan Islam dan membuatnya berada di puncak. Beliau menerangkan bahwa jihad telah menyebabkan Rasulullah Saw menang terhadap musuh-musuh agama:

Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, beliau mengajak –umat manusia- untuk taat kepada-Nya dan mengalahkan musuh-musuh-Nya dengan jihad di jalan agama-Nya.

Menurut Amirul Mukminin Ali as, jihad dan perjuangn adalah sebab kemenangan dan faktor kemuliaan, sedangkan acuh tak acuh terhadapnya dan bermalas-malasan dalam berjuang, beliau nyatakan sebagai faktor kekalahan dan kehinaan; karena, setiap masyarakat pasti memiliki prioritas dan nilai-nilai yang hanya akan terlindungi dan terhormat di bawah naungan keamanan. Apabila ada masyarakat yang tidak menerima nilai-nilai itu, atau mereka serakah ingin merebut keistimewaan dan kekayaan masyarakat itu, maka mungkin sekali mereka akan melanggar batas-batas kehormatan masyarakat tersebut untuk memperoleh kepentingan-kepentingan yang tidak sah, menyerbu dan merenggut keamanan mereka. Dalam kondisi seperti ini, tiada lagi peluang bagi masyarakat untuk berkembang, sebaliknya mereka akan terhina, terinjak-injak dan terbelakang. Oleh karena itu, acuh tak acuh terhadap jihad dan malas-malasan dalam berjuang untuk mempertahankan kehormatan masyarakat, keamanan dan ketenangan mereka tiada lain akan menyebabkan kesengsaraan dan kehinaan mereka. Di dalam pidato beliau yang ke-27 dalam Nahjul Balaghah, beliau berkata:

Siapa saja yang meninggalkan jihad dan tidak menyukainya, maka Allah akan mengenakan baju kehinaan pada dirinya, mengerahkan gelombang bencana padanya, sehingga ia terpaku dalam kehinaan.

Bukan saja sebuah keharusan dan diperlukan, jihad dan perjuangan menurut Amirul Mukminin Ali as adalah sesuatu yang tersanjung dan patut untuk digemari; karena, ketika muncul persoalan tentang kehormatan dan eksistensi masyarakat maka bagi orang yang jantan, berambisi dan beriman tiada yang lebih bernilai daripada mempertahankan perbatasan mereka dan mencegah bahaya dari musuh-musuh mereka.

Saat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berjihad, beliau as berkata:

Tiadakkah kalian menyaksikan perbatasan kalian dilanggar, kota kalian ditundukkan, dan negara kalian dijajah?! Di dalam kota kalian sendiri terjadi pertempuran dan musuh-musuh menyerang kalian?! Semoga Allah mengampuni kalian! Berbondong-bondonglah untuk berperang melawan musuh-musuh kalian, jangan kalian tinggal di dalam rumah dan kota kalian, karena hal itu akan menyebabkan kalian jadi tertindas dan terhina.[9]

Di pidatonya yang lain, beliau menegaskan bahwa acuh tak acuh terhadap jihad adalah faktor kehinaan masyarakat, beliau memberikan sebuah kaidah umum:

Demi Allah, kaum yang tidak mau berperang dan hanya tinggal di dalam rumah mereka pasti akan terhina.[10]

Setelah itu, beliau menyebutkan dampak-dampak natural dari kelesuan mereka dalam berjihad:
Maka tiada seorang pun dari kalian yang siap untuk berjihad, begitu pengecutnya sampai masing-masing dari kalian menyerahkan tugas itu kepada orang lain, sehingga mereka merampok kalian dan menjajah satu persatu kota kalian.

4. Amar Ma'ruf – Nahi Mungkar

Salah satu faktor transformasi sosial menurut Nahjul Balaghah adalah Amar Ma'ruf – Nahi Mungkar yang berfungsi sebagai pengawasan sosial. Amar Ma'ruf berarti memerintahkan sesuatu yang baik, sedangkan Nahi Mungkar berarti melarang sesuatu yang keji. Sistem pengawasan sosial di tengah masyarakat, mempunyai nilai dan dampak yang penting sekali. Di dalam budaya Islam, termasuk juga di dalam ucapan Amirul Mukminin as, pengawasan sosial ini dinilai sangat berharga. Selain pengawasan resmi yang dilakukan dalam kerangka sistem pengadilan dan politik yang berulang kali beliau tekankan kepada para gubernur dan pejabat, beliau juga menekankan pengawasan sosial, umum, dan di luar pemerintah, beliau menyebutnya sebagai salah satu faktor perkembangan dan atau kemunduran masyarakat. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat muslim pada umumnya disebut dengan Amar Ma'ruf – Nahi Mungkar. Prihal memerintahkan hal-hal yang baik dan mencegah pelanggaran-pelanggaran terhadap batas-batas syariat dan sosial, bukan saja berpengaruh pada orang lain, melainkan juga memperkuat kepercayaan orang yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran tersebut. Oleh karena itu, ajaran ini selain mempunyai dampak eksternal juga mempunyai berbagai dampak psikologis dan internal, dan ketika ajaran ini diimplementasikan secara umum dan general maka akan berubah menjadi buah-buah sosial yang berharga.

Di dalam budaya Islam, Amar Ma'ruf – Nahi Mungkar dianjurkan kepada masyarakat umum sekaligus kepada aparat pemerintah. Pada awal munculnya Islam, termasuk pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Ali as, seringkali terjadi teguran atau nasihat dari pihak rakyat biasa kepada orang yang tertinggi dalam pemerintahan.

Fenomena sosial ini mempunyai dampak yang luas. 'Setiap masyarakat akan hidup selama faktor-faktor pengikat individu-individu, lembaga-lembaga, dan bagian-bagiannya tetap bertahan dan kuat. Faktor-faktor itu tiada lain adalah faktor mental, spiritual dan kultural. Tindakan saling mewasiatkan nilai-nilai, norma-norma dan hal-hal yang baik di tengah masyarakat, begitu pula saling melarang hal-hal yang buruk, menyimpang dan kemungkaran sosial, dapat memperkuat ikatan batin dan sistem spiritual masyarakat serta menyelamatkannya dari berbagai bahaya. Oleh karena itu, pengawasan nasional dan kewaspadaan kolektif merupakan syarat untuk kelestarian eksistensi masyarakat.'[11]

Dengan pendahuluan ini, kita akan memperhatikan penjelasan Amirul Mukminin Ali as. tentang Amar Ma'ruf – Nahi Mungkar:

Sungguh Allah Swt tidak mengutuk –masyarakat- abad yang telah lalu sebelum kalian kecuali karena mereka meninggalkan Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar, maka terkutuklah orang-orang yang dungu karena perbuatan maksiat, dan terkutuklah orang-orang bijak karena meninggalkan kewajiban mereka untuk sama-sama melarang dosa.[12]

Berdasarkan keterangan beliau ini, tindakan yang mempunyai dampak-dampak sosial apabila dilakukan atau ditinggalkan sama-sama berpengaruh, terlebih lagi dengan memperhatikan bahwa Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar berhubungan dengan sekelompok orang yang lebih mampu daripada masyarakat pada umumnya; dengan kata lain, mereka yang mempunyai ilmu dan pengaruh terhadap orang lain. Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar adalah salah satu hukum cabang agama Islam yang sangat penting dan beraspek sosial. Meskipun hukum ini merupakan kewajiban bagi setiap orang mukmin dan mendorong mereka untuk beramal, tapi ia juga mengharuskan orang lain untuk berbuat sesuai dengan ajaran agama dan mencegah mereka dari pelanggaran. Oleh karena itu, hukum ini termasuk tugas sekaligus ibadah individual.
 

Filsafat pensyariatan Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar serta dampak-dampanya adalah berhubungan dengan kesatuan masyarakat dan siatuasi yang dominan atas mereka. Atas dasar itu, orang-orang yang melaksanakan dua kewajiban ini pada hakikatnya telah melakukan aksi sosial yang dampaknya akan tampak di tengah masyarakat umum. Sebaliknya, ketika dua kewajiban ini diabaikan, maka akan muncul dampak yang sebaliknya di antara mereka dan terjadi berbagai kehampaan di sana. Itulah sebabnya Amirul Mukminin Ali as sering sekali memperingatkan masyarakatnya agar tidak mengabaikan dua kewajiban tersebut:

Jangan kalian tinggalkan Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar, hal itu akan membuat orang-orang jahat berkuasa atas kalian, sehingga ketika kalian berdoa maka tidak akan dikabulkan. [13] Di sini, Amirul Mukminin Ali as menerangkan dampak-dampak besar politik dan sosial yang muncul akibat pengabaian terhadap dua kewajiban tersebut. Ketika masyarakat tidak peduli terhadap situasi sosial mereka dan tidak merasa bertanggungjawab dengan tingkah laku orang lain, maka tingkah laku mereka akan menyimpang dan pelanggaran sosial semakin merebak ke mana-mana, semua itu menjadi hal yang lumrah karena tiada pengawasan yang tepat, sehingga peran dan kedudukan sosial jadi terbolak-balik dan posisi-posisi yang setrategis jatuh ke tangan orang-orang yang tidak pantas duduk di sana, akibatnya pintu reformasi tertutup, waktu untuk membuktikan kekurangan-kekurangan mereka habis, dan usaha serta tuntutan mereka tidak lagi berpengaruh apa-apa.

Oleh karena itu, menjaga keselamatan lingkungan masyarakat dan mencegah pelanggaran terhadap aturan-aturan yang diterima oleh mereka adalah tugas semua anggota, dampak yang muncul akibat acuh tak acuh terhadap tugas itu juga akan mengenai mereka semua. Sebaliknya, ketika perasaan tanggungjawab sosial telah meluas, masing-masing anggota masyarakat peduli terhadap nasib kesatuan mereka, selalu mengambil sikap yang sesuai dalam berbagai gelombang sosial, maka keselamatan dan kekuatan struktur sosial akan tetap terpelihara, yang buruk akan diperbaiki dan yang anti norma akan didudukkan pada tempat yang semestinya. Amirul Mukminin Ali as berkata:

Barangsiapa yang memerintahkan kebaikan (Amar Ma'ruf) maka dia telah menguatkan punggung orang-orang mukmin, sedangkan barangsiapa yang melarang kejelekan (Nahi Mungkar) maka dia telah mempermalukan orang-orang munafik.[14]

Berdasarkan keterangan beliau ini, tingkah laku setiap orang akan menaruh dampak sosial tersendiri, dan dengan adanya Amar Ma'ruf – Nahi Mungkar maka komunitas orang-orang yang beriman (komitmen terhadap nilai dan undang-undang agama) menjadi kuat, sementara orang-orang yang munafik (penentang nilai dan pelanggarnya) menjadi lemah dan terhina. Dengan demikian, dapat disimpulkan dari ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali as yang tertera dalam Nahjul Balaghah bahwa Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar merupakan dua kewajiban sekaligus faktor yang berpengaruh sekali dalam menentukan nasib baik atau buruknya masyarakat Islam.

5. Kepemimpinan dan kedaulatan

Kepemimpinan dan kedaulatan politik merupakan salah satu tonggak utama setiap masyarakat madani yang memainkan peran fundamental dalam berbagai perubahan dan transformasi. Kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh penguasa membuatnya mampu menaruh dampak luas kepada gerakan umum masyarakat dengan segenap dimensinya. Apabila kekuasaan pemimpin disertai dengan penerimaan masyarakat secara mental dan kecenderungan mereka secara emosional, maka daya pengaruhnya terhadap masyarakat jauh lebih kuat. Dalam kondisi seperti ini, wewenang konstitusional penguasa akan disambut dengan ketaatan rakyat umum, dan sudah barang tentu pengaruh sosial dia menjadi lebih luas dan dalam. Dengan demikian, selain menjalankan peran resmi dan konstitusional serta berpengaruh secara langsung kepada sektor-sektor pemerintahan (dan secara tidak langsung kepada masyarakat keseluruhan), dia juga secara langsung berpengaruh kepada masyarakat umum dan anggota-anggotanya serta menentukan orientasi sosial mereka. Itulah sebabnya kekuasaan politik para penguasa dalam kaitannya dengan transformasi sosial menjadi pusat perhatian. Di dalam buku Stephen Wago kita membaca:

Politik sangat efektif dalam menciptakan perubahan ... di berbagai lapisan, politik merupakan faktor transformasi di tengah masyarakat.[15]

Di dalam Nahjul Balaghah, banyak sekali keterangan tentang peran pemimpin dan kekuasaan politik dalam gelombang sosial dan menentukan nasib masyarakat. Amirul Mukminin Ali as menekankan pentingnya keberadaan pemimpin di tengah masyarakat sambil menerangkan dampak-dampak sosialnya, fungsi-fungsinya, syarat-syaratnya, ciri-cirinya dan macam-macam relasi antara penguasa dan kelompok-kelompok masyarakat. Di bawah ini kita akan mempelajari sebagian dari keterangan beliau tersebut:

A. Urgensi keberadaan pemimpin dan pemerintahan

Di dalam Nahjul Balaghah diterangkan bahwa, karena para penguasa mempunyai status dan peran yang istimewa maka ia menjadi karakteristik atau simbol dan teladan bagi gerakan massa pada umumnya:

Sesungguhnya masyarakat bersama raja-raja mereka, mereka pergi ke arah mana raja itu pergi.[16]

Peneladanan masyarakat pada penguasa bukan karena karakteristik simbolik penguasa itu saja, melainkan juga muncul dari sifat pragmatis masyarakat pada umumnya, mereka mengatur tingkah laku dan sikap mereka berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Otomatis, masyarakat akan pergi ke pusat pengambilan keputusan dan pemerintahan.

Sudah barang tentu masing-masing kelompok masyarakat mempunyai penafsiran dan evaluasi tersendiri tentang macam-macam kepentingan, tapi tidak ada satu kelompok pun yang tidak membutuhkan adanya pemimpin dan pemerintahan. Untuk itu, Amirul Mukminin Ali as berkata: Mau tidak mau masyarakat harus punya pemimpin, baik atau pun jahat.[17]

Di samping itu, beliau juga memberi perhatian tersendiri kepada nilai dan pentingnya seorang penguasa yang adil, beliau memuji dan menyebutnya lebih utama daripada masyarakat biasa: Ketahuilah bahwa sebaik-baik hamba Allah adalah pemimpin adil yang mendapat hidayah dan memberi hidayah kepada orang lain, dia menegakkan sunnah yang dikenal dan mematikan bid'ah yang tak dikenal ... adapun sejelek-jelek manusia di sisi Allah adalah pemimpin yang zalim dan menyesatkan, dia mematikan sunnah yang sudah diterima dan menghidupkan bid'ah yang ditinggalkan.[18]

Di dalam perkataan ini telah diterangkan peran pemimpin yang adil dan zalim serta pengaruh masing-masing dari pemerintahan mereka atas masyarakat. Oleh karena itu, Amirul Mukminin Ali as menekankan sensitivitas pemilihan pemimpin yang saleh dan bahaya pemerintahan orang yang zalim serta pengaruh transformasi pemerintahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat:

Apabila pemimpin berubah, maka zaman pun berubah.[19]

Ketika beliau melantik Malik Asytar sebagai penguasa di Mesir dan mengirimnya ke sana, beliau menuliskan pesan kepada penduduk negeri itu tentang pentingnya pemerintahan dan ciri-ciri pemimpin:

Seandainya aku tidak mengkhawatirkan dominasi mereka (Muawiyah dan pendukungnya) atas kalian, niscaya aku tidak akan membangkitkan kalian, mencela kalian dan menggerakkan kalian ... niscaya aku akan tinggalkan kalian saat kalian berpaling dan bermalas-malasan.[20]

Di dalam perkataan ini, beliau menitikberatkan bahaya pemerintahan orang-orang yang tidak layak, beliau menyebutnya sebagai sebab kenapa beliau berusaha untuk menggalang massa dan mempersatukan mereka, padahal masih banyak masalah yang lain. Oleh karena itu, jelas bahwa model pemerintahan dan perilaku penguasa sangat berperan dalam menentukan arah gerakan masyarakat.

B. Tugas-tugas pemimpin terhadap masyarakat

Seorang pemimpin untuk dapat menjalankan peran dan tugasnya secara baik, dia harus mempunyai hubungan dan tingkah laku yang sekiranya tidak membuat mereka jauh atau menimbulkan kericuhan di tengah masyarakat. Sebagian dari tugas itu meliputi hubungan sosial, dan sebagian yang lain termasuk dalam hubungan moral. Di dalam Nahjul Balaghah, banyak sekali penekanan tentang pemeliharaan hubungan baik oleh penguasa dengan rakyatnya, begitu pula sebaliknya; dampak-dampak negatif penguasa memutuskan hubungan baiknya dengan mereka. Di surat ke-68, beliau menuliskan kepada salah satu pejabatnya:

Hendaknya tiada perantara (delegasi) bagimu dengan rakyat kecuali lidahmu sendiri, dan hendaknya tiada penghalang antara kamu dan mereka kecuali wajahmu sendiri.

Ketika masyarakat tidak bisa berhubungan dengan pemimpin dan merefleksikan kendala mereka kepadanya, otomatis mereka tidak akan percaya kepadanya, berpraduga negatif padanya, berputusan tidak netral tentang dia, dan tidak akan sudi untuk kerjasama sosial dengannya. Amirul Mukminin Ali as berkata:

Jangan sering-sering menutup diri dari masyarakat, karena itu merupakan contoh karakter yang kaku dan kekurangan informasi dalam berbagai urusan. Ketertutupan diri dari rakyat membuat para penguasa tidak bisa mengetahui apa yang tersembunyi dari mereka, dengan demikian maka masalah yang besar menjadi kecil di mata mereka, dan sebaliknya; masalah yang kecil menjadi besar, sesuatu yang indah jadi buruk di mata mereka dan sebaliknya; sesuatu yang buruk jadi indah dan benar.[21]

Putusnya hubungan dari dua belah pihak akan menyebabkan pemimpin tidak mengetahui realitas yang terjadi di tengah masyarakat, sehingga dia tidak berhasil dalam mengelola pemerintahan dan membela hak-hak masyarakatnya dari oknum-oknum yang ingin merebutnya dari mereka. Akibatnya, terbukalah pintu pengadilan yang tidak benar, lahan interaksi sosial dan sistem politik serta tubuh masyarakat menjadi guncang. Dalam pada ini, rencana-rencana perbaikan dan pelaksanaan pemerintah terancam gagal dan tidak mendapat sambutan yang semestinya dari rakyat. Oleh karena itu, beliau mewasiatkan agar pemimpin harus berusaha untuk menyingkirkan praduga negatif rakyatnya, memberikan keterangan yang cukup kepadanya dan mempersiapkan opini publik untuk memudahkan jalannya pelaksanaan rencana dan kegiatan pemerintah:

Jika rakyat mengiramu berbuat zalim, maka terangkan masalah yang sebenarnya kepada mereka, selamatkan mereka dari praduga negatif itu, dengan demikian kamu telah menarik dirimu ke pangadilan umum, bersikap toleran pada rakyat, memenuhi tuntutan mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar.[22]

Menarik sekali bahwa dalam situasi praduga negatif di tengah masyarakat dan ketika relasi politik mengalami kekeruhan, pemerintah yang harus melangkah ke depan dengan rendah hati dan jiwa pengorbanan untuk orang lain, semua itu dilakukan demi menanggulangi kendala-kendala sosial yang ada. Sikap seperti ini selain menjanjikan hasil-hasil yang ideal bagi masyarakat juga memberikan dampak yang positif pada kejiwaan dan kepribadian penguasa sekaligus rakyat.

Di paragraf lain dari surat ke-53, beliau memerintahkan Malik Asytar –dalam kapasitasnya sebagai penguasa dan gubernur Mesir- untuk secara langsung mendatangi lapisan bawah masyarakat dan menyelesaikan urusan mereka; karena, mereka tidak bisa atau kesulitan sekali untuk berhubungan dengan pengusa, padahal mereka mengalami berbagai masalah dan tanpa jalan keluar tapi mereka yang sering dilecehkan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, jika ingin kerukunan masyarakat tetap terjaga dan kelompok-kelompok mereka berkumpul di seputar poros kepemimpinan maka masalah lapisan masyarakat yang lemah ini harus diperhatikan juga oleh pemerintah:

Perhatikanlah urusan orang-orang yang tidak bisa berhubungan denganmu; yaitu orang-orang yang dipandang remeh dan dilecehkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang lain.[23] Ketika hubungan penguasa dan rakyat berlangsung demikian, maka penguasa bisa menjadi poros kehidupan sosial dan menjalankan peran reformasinya secara baik di tengah masyarakat.

6. Keharmonisan sosial

Faktor lain dari transformasi sosial yang disebutkan oleh Nahjul Balaghah adalah keharmonisan sosial. Persatuan dan perpecahan, termasuk konsep yang berulangkali dijelaskan oleh Amirul Mukminin Ali as dengan segenap dampak-dampaknya. Begitu pula dengan konsep kerukunan hati, perkumpulan, perselisihan dan lain sebagainya, beliau juga telah memberi keterangan tentangnya.

Menurut beliau, keharmonisan masyarakat dan persatuan mereka termasuk faktor yang paling penting dalam kesuksesan mereka dan mengantarkan mereka pada kesempurnaan. Di laih pihak, perpecahan akan menjerumuskan mereka pada kemunduran dan kehancuran. Di dalam pidato Qashi'ah, Amirul Mukminin Ali as membawakan analisa yang menarik sekali tentang sebab-sebab naik-turunnya peradaban-peradaban masa lalu dan peran persatuan atau perpecahan dalam hal ini:

Coba perhatikan kondisi mereka ketika lapisan-lapisan masyarakat berkumpul, keinginan mereka bergabung, hati-hati mereka berimbang, tangan-tangan mereka saling mendukung, pedang-pedang mereka saling menolong, pandangan-pandangan mereka tajam, dan tekad mereka bersatu.

Bukankah mereka menjadi tuan di muka bumi dan raja bagi penduduk dunia! Coba perhatikan nasib mereka pada akhirnya; yaitu ketika terjadi perpecahan di antara mereka, kerukunan berubah menjadi perpecahan, perselisihan pendapat dan hati menyelimuti mereka, sehingga mereka bercabang-cabang dan berpecah-pecah sambil berperang satu sama lainnya, maka Allah melepaskan gaun kemuliaan-Nya dari mereka, mencabut limpahan nikmat-Nya kepada mereka, dan sekarang kisah-kisah mereka menjadi pelajaran bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran di antara kalian.[24]

Di paragraf lain dari pidato ini beliau berkata:

Setelah kalian memikirkan perbedaan kondisi-kondisi mereka, maka tanggunglah apa yang menjanjikan kemenangan kepada mereka, mengusir musuh dari mereka, membentangkan keselamatan dan ketenangan untuk mereka, menundukkan nikmat bagi mereka, dan memberikan kendali kemuliaan pada mereka, yaitu: menghindari perpecahan, menjaga kerukunan dan saling mewasiatkannya satu sama yang lain, dan menghindari segala sesuatu yang mematahkan tulang punggung kalian (merubah kekuatan menjadi kelemahan).[25]

Analisa ini sepenuhnya berdasarkan faktor-faktor sosial dan tidak perlu keterangan yang lebih dari itu. Sudah barang tentu, keharmonisan dan persatuan masyarakat membuat mereka bergerak ke arah tujuan yang ideal dan menyebabkan kesempurnaan mereka, sedangkan perpecahan dan perselisihan dalam tubuh masyarakat membuat kekuasaan mereka jadi goyah dan keutamaan mereka jadi hilang.

Atas dasar itu, Amirul Mukminin Ali as mencela kaumnya dan memprediksi kekalahan mereka walau pun mereka mempercayai norma-norma agama dan mempunyai pemimpin yang shaleh: Demi Allah! aku menyaksikan mereka tidak lama lagi akan berkuasa atas kalian. Mereka bersekutu dalam kebatilan, sementara kalian berpecah belah dalam kebenaran; kalian mendurhakai pemimpin kalian, sementara mereka mematuhi pemimpin mereka.

Menurut penjelasan ini, urgensitas persatuan dan keharmonisan sosial dalam mengubah nasib masyarakat bahkan lebih tinggi daripada pemimpin dan norma-norma agama. Ketika secara internal masyarakat tidak bersatu dan rukun, maka sekalipun mereka dipimpin oleh manusia sehebat Amirul Mukminin Ali as tetap saja kondisi mereka tidak akan berubah menjadi baik. Di kesempatan yang lain, beliau secara tegas menyebutkan keharmonisan anggota masyarakat sebagai faktor kekuatan dan kesuksesan mereka, dan sebaliknya; seberapa pun besarnya jumlah mereka tetap saja hal itu tidak bisa berguna selama mereka berpecah belah.

Di pidato ke-146 Nahjul Balaghah, Amirul Mukminin Ali as menerangkan kesuksesan bangsa arab pada awal munculnya Islam sebagai berikut:

Bangsa arab sekarang, meskipun jumlah mereka kecil, akan tetapi kerukunan dan keharmonisan mereka dalam Islam sangatlah kuat.

Di pidatonya yang ke-119 beliau mengatakan, 'Tidak ada gunanya jumlah besar kalian, selama hati kalian berpecah belah satu sama yang lain.'

Berdasarkan pada pidato yang ke-119 ini, menurut Amirul Mukminin Ali as keharmonisan sosial dan pesatuan anggota masyarakat serta sebaliknya; perselisihan dan perpecahan mereka sangatlah efektif dalam mengubah nasib mereka sendiri, besar dan kecilnya jumlah mereka tidaklah berarti apa-apa tanpa salah satu dari karateristik itu, bahkan pemimpin yang hebat sekali pun tidak berkutik untuk merealisasikan transformasi sosial yang positif dan asasi.

Catatan:

1. Murtadha Muthahhari, Falsafeh-e Torikh, hlm. 28;
2. Nahjul Balaghah, penerjemah: Sayid Ja'far Syahidi, terbitan ke-8, Entesyarat-e Elmi wa Farhanggi, Teheran, 1374, pidato ke-192, hlm. 220.
3. dan 4. Pidato ke-39 dan ke-198.
5. dan 6. Pidato ke-156 dan ke-116.
7. dan 8. Surat ke-53.
9. dan 10. Surat ke-64; pidato ke-37.
11. Maso'el-e Jome'eh Syenosi az Didgoh-e Emom 'Ali as, Hai'at-e Tahririyeh-e Bunyod-e Nahjul Balogheh., 1372 Hs, hlm. 175 – 176.
12. dan 13. Pidato ke-192; surat ke-47.
14. Kata mutiara ke-208.
15. Stephen Wago, Dar Omadi beh Te'uriho wa model-hoye Taghyirot-e Ejtemo‘i, penerjemah: Gharawi Zad, hlm. 133 – 134.
16. dan 17. Pidato ke-210 dan ke-40.
18. dan 19. Pidato ke-164 dan ke-33.
20. dan 21. Surat ke-62 dan ke-53.
22. dan 23. Surat ke-22 dan ke-53.
24. dan 25. Pidato ke-192. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar