Senin, 07 Desember 2015

Karbala & Imam Husain dalam Sastra Persia & India


oleh Annemarie Schimmel (Islamolog & pengkaji sufisme dari Jerman)

Saya masih ingat kesan mendalam yang saya rasakan ketika membaca puisi pertama bahasa Parsi yang saya baca dalam kaitan dengan kejadian-kejadian tragis di Karbala. Puisi tersebut adalah elegi karangan Qa’ani, yang diawali dengan kata-kata berikut:

“Hujan apa? Darah
Siapa? Mata
Bagaimana? Siang-malam
Mengapa? Karena duka
Duka karena siapa?
Duka karena raja Karbala”.

Puisi ini, dengan gaya tanya-jawabnya yang indah, mengungkapkan banyak hal dalam kejadian-kejadian dramatis Karbala dan perasaan-perasaan yang dialami oleh seorang Muslim yang saleh manakala dia memikirkan kesyahidan cucu tercinta Muhammad (Husain) di tangan tentara Bani Umayyah.

Tema penderitaan dan kesyahidan menempati peran sentral dalam sejarah agama sejak zaman yang paling dini. Sudah sejak dalam mitos-mitos kuno di Timur Dekat, kita telah mendengar tentang seorang pahlawan yang terbunuh, yang kematiannya menjamin lahirnya kembali kehidupan. Nama-nama Attis dan Osiris dalam tradisi Babilonia dan Mesir masing-masing merupakan contoh terbaik tentang tilikan tajam bangsa-bangsa kuno, bahwa tanpa kematian tidak akan ada kelanjutan kehidupan, dan bahwa darah yang tertumpah demi tujuan yang suci adalah lebih berharga daripada apapun yang lain. Pengorbanan adalah sarana untuk mencapai tahap-tahap kehidupan yang lebih tinggi dan lebih luhur. Memberikan dengan ikhlas sebagian dari harta kekayaan yang kita miliki, atau mengorbankan anggota-anggota keluarga, akan meningkatkan derajat keagamaan seseorang. Kisah Injil dan Al-Qur’an tentang Ibrahim yang demikian percaya kepada Tuhan sehingga, tanpa menanyakan apapun, bersedia mengorbankan anak lelaki satu-satunya, menunjuk kepada pentingnya pengorbanan seperti itu. Iqbal pastilah benar ketika dia menggabungkan, dalam sebuah puisi yang terkenal –Bal-I-Jibril-(1936)- pengorbanan Ismail dan kesyahidan Husain, yang keduanya merupakan awal dan akhir kisah tentang Ka’bah.

Dengan memperhitungkan pentingnya pengorbanan dan penderitaan bagi perkembangan manusia, tidaklah mengherankan jika sejarah Islam telah memberikan tempat yang sentral kepada kematian cucu Nabi tercinta, Husain, di medan perang, dan seringkali menggabungkan kejadian itu dengan kematian saudara laki-lakinya, Hasan, yang diakibatkan oleh racun. Dalam kesusastraan populer kita sering menemukan Hasan dan Husain ditampilkan sebagai berperan serta dalam pertempuran Karbala, yang secara historis adalah keliru, namun secara psikologis benar.

Di sini bukanlah tempatnya untuk mendiskusikan perkembangan keseluruhan genre puisi martsiyah dan ta’ziyah di dunia Persia dan Indo-Persia, atau dalam tradisi Turki populer. Tapi adalah menarik untuk melihat sekilas beberapa bait puisi dalam tradisi Islam Timur yang umumnya mengungkapkan kepedulian para penyair Sunni terhadap nasib Husain, dan mengenakan, pada saat yang sama, kecenderungan kaum Sufi untuk memandangnya sebagai model penderitaan yang begitu sentral dalam pertumbuhan jiwa.

Nama Husain muncul beberapa kali dalam karya penyair sufi besar pertama Iran, Sana’i (wafat tahun 1131). Di sini, nama Husain dapat ditemukan di sana-sini dalam kaitan dengan keberanian dan kerelaan berkorban, dan Sana’i melihat dalam dirinya suatu prototipe sang syahid (martir), yang jauh lebih tinggi dan lebih penting daripada semua syahid (martir) yang pernah dan masih ada di dunia:

“Agamamu adalah Husain-mu,
kerakusan dan nafsu keinginanmu
adalah babi-babi dan angjing-anjingmu
Engkau bunuh agamamu,
dan kau pelihara babi-babi dan anjing-anjingmu”.

(Divan, halaman 655).

Ini berarti bahwa manusia telah terjerumus ke dalam jurang kemerosotan yang sedemikian dalam sehingga dia hanya memikirkan tujuan-tujuan dan keinginan-keinginannya sendiri saja, dan melakukan segala sesuatu untuk memanjakan aspek-aspek kehidupan materialnya, sementara agamanya, yakni aspek spiritual kehidupannya, ditelantarkan tanpa makanan, menjadi layu, persis seperti halnya Husain dan para syuhada (para martir) Karbala terbunuh setelah tak seorang pun mau memberi air minum kepada mereka di padang pasir. Gagasan yang kuat ini menggema dalam bait-bait yang lain, baik dalam Divan maupun Hadiqah Al-Haqiqah. Tetapi kita harus berhati-hati dalam menilai pujian-pujian yang panjang kepada Husain dan penggambaran tentang Karbala sebagaimana yang ditemukan dalam Hadiqah, karena tampaknya kedua unsur ini tidak terdapat dalam manuskrip-manuskrip tertua dari karya tersebut, dan mungkin telah disisipkan pada masa yang terkemudian. Akan tetapi, hal ini tidaklah menjadi kepedulian kita di sini. Sebab nama sang pahlawan, yakni Husain, ditemukan dalam salah satu puisi sentral Sana’i dalam Divan, di mana sang penyair dalam citraan-citraan yang agung menggambarkan perkembangan manusia dan masa-masa panjang penderitaan yang dituntut bagi perkembangan segala sesuatu yang ingin meraih kesempurnaan, Di sinilah Sana’i melihat dalam “jalan agama” syahid-syahid (para martir) yang dahulu mati dan kini hidup, yaitu syahid-syahid (para martir) yang terbunuh oleh pedang seperti halnya Husain, dan mereka yang mati oleh racun seperti halnya Hasan (Divan, 485).

Kecenderungan untuk melihat Husain sebagai model kesyahidan dan keberanian tentu saja terus berlanjut dalam puisi yang dikarang sesudah Sana’i oleh sufi-sufi Persia dan Turki, yang paling menarik diantaranya adalah satu baris dalam Divan-nya `Attar (376 Hijriah) dimana dia menyeru sang pemula yang baru menempuh jalan agar terus melangkah menuju tujuan. Katanya:

“Jadilah seorang Husain, atau seorang Manshur”.

Yang dimaksud Manshur di sini adalah Husain bin Manshur Al-Hallaj, pemimpin para syuhada (para martir) sufi Islam, yang dibunuh dengan kejam di Baghdad pada tahun 922 Masehi. Seperti nama julukannya, Husain bin Ali, dia menjadi model bagi para sufi. Dia adalah pecinta yang menderita, dan dalam sejumlah yang cukup banyak dari puisi-puisi sufi, namanya muncul berdampingan dengan nama Husain. Keduanya tenggelam dalam cinta kepada Tuhan. Keduanya mengorbankan diri di Jalan Cinta Ilahi. Karena itu keduanya merupakan pecinta-pecinta Tuhan yang ideal, yang harus diteladani oleh setiap Muslim yang saleh. Ghalib dengan piawainya mengisyaratkan kepada kombinasi ini dalam Tawhid Qasidah-nya:

“Tuhan telah menempatkan para pecinta ekstatik seperti Husain dan Manshur di kalung-kalung tali dan tiang gantungan, dan Dia menempatkan para pejuang di Jalan Allah seperti Husain dan Ali di pinggiran-pinggiran mata pedang dan ujung-ujung tombak. Dengan menjadi syuhada (martir), mereka mendapatkan kehidupan dan kebahagiaan yang abadi dan menjadi saksi-saksi atas kekuasaan Tuhan yang misterius”.

Tradisi ini khususnya terasa kuat dalam dunia Turki, dimana nama Husain maupun nama Manshur sering muncul dalam nyanyian-nyanyian sufi.

Tradisi Turki, terutama pada tarekat Bektasiyyah yang belakangan, sangat berhutang budi kepada Islam Syi’ah. Tapi tampaknya sudah sejak dalam beberapa nyanyian sufi populer yang paling awal di Turki, yakni yang dikarang oleh Yunus Emre pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, cucu-cucu Nabi (Hasan dan Husain) memainkan peran khusus. Dalam sebuah nyanyian indah karangan Yunus, mereka digambarkan sebagai “air mancurnya para syuhada”, “air mata para wali” serta “anak-anak domba Bunda Fatimah.” Kedua cucu Nabi itu, sebagai “raja delapan surga,” dipandang sebagai penolong-penolong yang berdiri di pinggir telaga Al-Kawtsar dan membagi-bagikan air kepada orang-orang yang kehausan, suatu kebalikan dari Husain yang menderita kehausan di padang pasir Karbala yang kering-kerontang” (Yunus Emre Divani, halaman 569).

Dongeng terkenal yang menurutnya Nabi SAAW melihat Jibril membawa dua helai pakaian, yang satu berwarna merah dan yang lain berwarna hijau, untuk kedua orang cucunya, dan beliau diberitahu bahwa warna kedua pakaian itu menunjuk kepada dua cara kematian mereka, yaitu masing-masing oleh pedang (Husain) dan racun (Hasan), disebutkan dalam nyanyian-nyanyian Turki masa awal, sebagaimana dongeng itu juga menjadi bagian pokok dari manaqibah Sindhi populer yang hingga kini masih dinyanyikan di lembah Indus. Hal yang sama-sama terdapat dalam kedua tradisi tersebut adalah cerita-cerita tentang bagaimana kedua anak itu menaiki punggung kakek mereka, Nabi SAAW, dan bagaimana beliau membelai-belai mereka. Jadi, dalam nyanyian-nyanyian awal Turki, Hasan dan Husain muncul dalam berbagai citraan yang umumnya terkenal. Namun untuk menekankan peran khusus mereka, Yunus Emre menyebut keduanya “kedua cuping `Arasy Tuhan” (Divan, halaman 569).

Citraan tersebut bahkan menjadi lebih berwarna-warni dalam abad-abad selanjutnya ketika watak Syi’ah dari tarekat Bektasyiyah semakin meningkat dan dirasakan dalam ungkapan ritual maupun puitis. Husain bin Ali adalah “rahasia Tuhan,” “cahaya mata Al-Musthafa” (demikian dikatakan oleh Seher Abdal, abad ke-16), dan penyair sezamannya, Hayreti, dalam sebuah martsiyah yang indah, menyebutnya “qurban perayaan jihad akbar.” Bukanlah lehernya, yang dulu sering diciumi Nabi, telah dipenggal oleh pedang?

“Hari ini penghuni langit dan bumi
meneteskan air mata. Dan mereka menjadi kacau-balau
seperti rambutmu, wahai Husain”.

“Fajar mengucurkan darahnya karena berduka bagi Husain, dan bunga-bunga tulip merah menampakkan warna darah dan memperlihatkan tanda-tanda kesedihan hati mereka....” (Ergun, Bektasi sairleri, halaman 95).

Tradisi Turki dan tradisi dalam bahasa-bahasa regional di anak benua India adalah sangat mirip. Marilah kita menengok perkembangan martsiyah, bukan dalam bahasa-bahasa sastra yang utama, melainkan di bagian-bagian yang lebih terpencil dari anak benua tersebut. Sebab perkembangan martsiyah bahasa Urdu sejak permulaannya pada akhir abad ke-16 hingga mencapai titik puncaknya pada karya-karya Sauda dan khususnya karya-karya Anis dan Dabir adalah terkenal. Di provinsi Sind, yang memiliki persentase penduduk Syi’ah yang cukup besar, martsiyah berbahasa Parsi dikarang orang, sejauh yang kita ketahui, sejak sekitar tahun 1700. Seorang bernama `Allamah (1682-1782) dan Muhammad Mu’in Tharo adalah diantara pengarang-pengarang martsiyah yang disebutkan namanya oleh para sejarawan. Tetapi khususnya adalah Muhammad Muhsin, yang tinggal di Thatta, ibu kota provinsi Sind hilir yang megah, yang namanya dikaitkan dengan martsiyah berbahasa Parsi di Sind. Selama masa hidupnya yang singkat (1709-1750) dia mengarang sejumlah besar tarji’band, khususnya salam, di mana citraan yang kuat dan indah bisa ditemukan:

“Perahu keluarga Al-Musthafa telah tenggelam
di lautan darah; Awan kekafiran yang hitam
telah menutupi matahari; Pelita Nabi telah tertiup mati
oleh angin yang dibawa orang-orang Kufah”.

Tetapi, jauh lebih menarik daripada tradisi Persia adalah perkembangan martsiyah dalam bahasa Sindhi dan Siraiki. Karena Christopher Shackle telah menulis sebuah artikel yang panjang dan sangat informatif tentang martsiyah yang dikarang dalam bahasa Multan, maka di sini saya hanya akan berbicara tentang beberapa aspek dari martsiyah Sindhi. Seperti dalam banyak lapangan lain puisi Sindhi, Syah Abdul Lathif dari Bhit (1689-1752) adalah penyair pertama yang mengungkapkan gagasan-gagasan yang kemudian diambil oleh penyair-penyair lain. Dia mempersembahkan syair Sur Kedaro dalam karyanya yang berbahasa Hindi Risab kepada kesyahidan (kemartiran) sang cucu Nabi Muhammad (yaitu Husain), dan memandang kejadian Karbala sebagai telah terkandung dalam keseluruhan tradisi mistik Islam. Sebagaimana kebiasaannya, dia mengawali puisinya dalam media resmi dan membawa pendengarnya kepada saat ketika tak ada berita yang datang dari para pahlawan yang berangkat ke Kufah:

“Rembulan bulan Muharram telah muncul,
dan muncul pula kecemasan tentang para pangeran.
Apa yang telah terjadi?
Bulan Muharram telah datang lagi,
tapi para Imam belum datang.
Wahai para pangeran dari Madinah,
semoga Tuhan mengumpulkan kita”.

Penyair kemudian merenungkan alasan kebisuan mereka, dan menyadari bahwa suatu tragedi telah terjadi:

“Para Mir telah keluar dari kota Madinah,
dan mereka belum kembali”.

Tetapi kemudian dia menyadari bahwa pada dasarnya tidak ada alasan untuk bersedih atau berkabung, sebab:

“Derita kesyahidan, dengarlah, adalah hari kegembiraan.
Yazid tidak mendapatkan sebutir atom pun dari cinta ini.
Kematian adalah hujan bagi anak-anak Ali”.

Sebab, hujan oleh Syah Abdul Lathif khususnya, dan kaum penyair Timur umumnya, dipandang sebagai tanda rahmat Tuhan, dan di negeri yang begitu bergantung pada hujan, citraan ini memperoleh maknanya yang penuh.

“Derita kesyahidan adalah musin hujan
yang penuh kegembiraan.
Yazid tidak memperoleh jejak-bekas cinta ini.
 Keputusan untuk mati terbunuh telah ada
bersama Imam sejak semula”.

Ini berarti sudah sejak lama zaman azali, Hasan dan Husain telah memutuskan untuk mengorbankan hidup mereka demi meraih cita-cita mereka. Ketika menjawab pertanyaan Tuhan: Bukankah Aku ini Tuhanmu? (Al-Qur’an Surah Al-A’raf, 7:171), mereka menjawab “Ya” (Balaa) dan memikulkan ke atas pundak mereka sendiri penderitaan (bala) yang nantinya akan menimpa mereka. Niat mereka untuk menjadi modal bagi mereka yang ingin mendapatkan kehidupan abadi melalui penderitaan dan pengorbanan, seperti diingatkan oleh Syah Abdul Lathif kepada para pendengarnya, dinyatakan pada hari Perjanjian Azali tersebut. Kemudian, dalam bab selanjutnya, penyair Sindhi kita memasuki rincian-rincian kongkrit yang lebih banyak lagi:

“Manusia-manusia sempurna, para syahid
yang bagaikan singa, telah datang ke Karbala;
Setelah menebaskan pedang-pedang Mesir mereka,
mereka menciptakan tumpukan mayat;
Para pahlawan menjadi bingung
melihat Mir Husain menyerang”.

Tetapi dengan segera dia berpaling kepada makna abadi pertempuran Karbala dan melanjutkan puisinya dalam semangat sufi yang baik:

“Derita kesyahidan adalah kecentilan (naz).
Orang yang mabuk pasti memahami rahasia Karbala”.

Dengan menjadikan kekasihnya menderita, sang Kekasih tampak menunjukkan kecentilannya, mencobai dan memeriksa iman dan cinta mereka, dan dengan demikian bahwa pernyataan-pernyataan yang paling kejam tantang pertempuran Karbala di mana "para pahlawan muda” –sebagaimana Syah Abdul Lathif menyebut mereka – dijaring, adalah tanda-tanda cinta Ilahi:

“Bumi berguncang, gempa; langit gempar
Ini bukanlah perang; ini adalah manifestasi cinta”.

Si penyair tahu bahwa penderitaan adalah hadiah khusus Tuhan bagi sahabat-sahabat-Nya. Manusia-manusia yang paling menderita adalah para nabi, disusul para wali, kemudian orang-orang lain pada derajat mereka masing-masing. Maka diapun lalu melanjutkan syairnya:

“Sang sahabat membunuh para kekasih,
para pecinta dibantai, Bagi sahabat-sahabat terpilih,
Dia menyediakan kesulitan-kesulitan.
Tuhan, yang Abadi; Dia melakukan apa
yang diinginkan-Nya, tanpa Dia butuh kepadanya”.

Syah Abdul Lathif menyedikan dua bab untuk berbicara tentang pertempuran Karbala, dan tentang bagaimana Al-Hurr bergabung dengan para pejuang “bagaikan seekor anai-anai bergabung ke api lilin.” Yakni siap mengorbankan dirinya dalam pertempuran. Tapi menjelang akhir puisi, aspek mistiknya sekali lagi menjadi menonjol; mereka yang “berperang di jalan Tuhan” mencapai surga, dan para bidadari mengikatkan ikat-ikat pinggang dari untaian mawar pada mereka, sebagaimana layaknya para mempelai pria. Bahkan lebih dari itu:

“Surga adalah tempat mereka;
dengan berbondong-bondong mereka pergi
ke surga, Mereka telah lenyap dalam Tuhan,
dengan-Nya mereka telah menjadi Dia.....”

Para pahlawan itu, yang tidak pernah memikirkan nasib diri mereka sendiri, tapi hanya memikirkan cinta kepada Tuhan, yang membuat mereka menghadapi semua kesulitan, akhirnya mencapai tujuan mereka, yaitu fana fi Allah, yaitu lenyap dalam Tuhan dan tinggal terus di dalam-Nya. Syah Abdul Lathif telah mengubah kehidupan para Imam, khususnya kehidupan Imam Husain, menjadi model bagi semua sufi yang berjuang, entah dalam jihad kecil (jihad-i asghar) ataupun jihad besar (jihad-i akbar), untuk mencapai kelenyapan final dalam Tuhan, suatu persatuan yang begitu sering diungkapkan oleh para Sufi dalam citraan cinta dan kebersatuan cinta. Dan secara pasti bukanlah kebetulan jika penyair Sindhi kita telah menerapkan nada Husaini, yang pada mulanya dimaksudkan untuk puisi-puisi ratapan bagi Husain, pada cerita tentang pahlawan wanita kesayangannya, Sassui, yang melenyapkan dirinya dalam pencariannya yang terus-menerus dan berani terhadap kekasihnya, dan akhirnya dia berubah menjadi kekasihnya itu.

Penafsiran Syah Abdul Lathif atas nasib Imam Husain sebagai model cinta yang menderita, dan dengan demikian sebagai model jalan mistik, merupakan sekeping kesusastraan yang sangat mengesankan. Ia belum pernah ada yang melebihi, meskipun sesudahnya sejumlah penyair dari kalangan kaum Syi’ah telah mengarang elegi-elegi tentang Karbala. Yang paling masyhur diantara mereka adalah Tsabit Ali Syah (1740-1810), yang spesialisasinya adalah genre suwari, yaitu puisi yang dialamatkan kepada sang pengendara kuda, Husain, yang dulu pernah menaiki punggung Nabi dan kemudian menunggangi kudanya dengan gagah berani di medan pertempuran. Genre ini, dan juga bentuk-bentuk lain yang lebih umum, tetap lestari dalam bahasa Sindhi sepanjang abad ke-18 dan 19, dan bahkan hingga masa kita sekarang ini (Sachal Sarmest, Bedil Rohriwaro, Mir Hasan, Syah Naser, Mirza Baddhal Beg, untuk menyebut sedikit nama saja, yang sebagian adalah sufi-sufi Sunni). Tema suwari diperinci dengan mudahnya oleh Sangi, yang adalah Abdul Husain, si pangeran dari Talpur, yang kepadanya balada Sindhi berutang budi berupa beberapa nyanyian yang sangat indah dan menyentuh hati yang dikarang untuk menghormati sang pangeran para syuhada (para martir), dan yang sangat menekankan segi-segi mistik dari peristiwa Karbala. Di sini Husain ditempatkan dalam hubungan dengan Nabi.

“Sang pangeran telah melakukan mikraj-nya di tanah Karbala,
Kuda Syah telah mencapai pangkat Buraq”.

Maut telah membawa Imam Husain, yang saat itu mengendarai kudanya yang bernama Dzuljanah, menuju hadirat Ilahi sebagaimana halnya Buraq yang bersayap telah membawa Nabi ke hadirat Tuhan dalam perjalanan malam dan kenaikannya ke langit.

Sangi juga tahu, sebagaimana banyak pengarang Syi’ah sebelum dia, bahwa menangis demi Imam Husain akan mendatangkan imbalan (pahala) berupa tertawa di Akhirat, dan bahwa perenungan sejati atas rahasia pengorbanan dalam cinta bisa membawa sang pencinta ke hadirat Ilahi, di mana pada akhirnya, seperti dikatakannya,

“Dualitas menjadi jauh, dan diapun mencapai kesatuan”.

Tema Husain sebagai model mistik bagi semua orang yang ingin menempuh jalan cinta sangat menonjol dalam puisi lembah Indus dan dalam puisi populer kaum India Muslim, yang pemikirannya diresapi oleh ajaran kaum Sufi, dan yang baginya, seperti halnya bagi para Sufi Turki dan bagi Fariduddin Attar (serta sejumlah besar sufi lainnya), penderitaan Imam Husain dan Husain bin Manshur Al-Hallaj merupakan paradigma kehidupan mistik. Namun ada juga cara lain untuk memahami peran Husain dalam sejarah masyarakat-masyarakat Islam. Lebih penting lagi, cara tersebut ditunjukkan oleh Muhammad Iqbal, yang tak pelak lagi adalah seorang filsuf dan penyair Sunni. Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa dialah yang memandang sejarah Ka’bah sebagai didefinisikan oleh dua pengorbanan, yaitu pengorbanan Islam pada awalnya, dan pengorbanan Husain bin Ali pada akhirnya (Bal i Jibril, halaman 92). Tetapi hampir dua dasawarsa sebelumnya Iqbal menulis baris-baris puisinya, dia telah mempersembahkan sebuah bab yang panjang kepada Husain dalam Rumuz-i bekhudi (halaman 126 dan seterusnya). Di sini, Husain dipuji, lagi-lagi dalam kosa-kata mistik, sebagai imam-nya para pecinta, anak laki-laki sang perawan, bunga kebebasan di taman Nabi. Sementara ayahnya, Hazrat Ali, dalam penafsiran mistik, adalah huruf ba’ dalam bismillah, maka sang anak (Husain) menjadi teridentifikasi dengan “sembelihan besar (kurban agung),” suatu campuran yang indah dari penafsiran mistik dan penafsiran Qur’ani. Tetapi, seperti halnya para pendahulunya, Iqbal juga hendak berisyarat kepada kenyataan bahwa Husain, sang pangeran dari umat terbaik, dulu biasa menggunakan punggung Nabi sebagai kendaraannya. Dan paling indah adalah gambaran cinta cemburu yang menjadi.

Bagi Iqbal, kedudukan Husain di komunitas Muslim adalah sama sentralnya dengan kedudukan surah Al-Ikhlas dalam Al-Qur’an.

Selanjutnya, Iqbal kembali kepada topik kesayangannya, yaitu pertentangan yang terus-menerus antara kekuatan positif dengan kekuatan negatif, antara nabi dan wali di satu pihak dengan para penindas dan kaum kafir di pihak lain. Husain dan Yazid berdiri pada jalur yang sama seperti Musa (Husain) dan Fir’aun (Yazid bin Muawwiyah). Selanjutnya, Iqbal menunjukkan bagaimana khilafah dipisahkan dari tuntunan-tuntunan Al-Qur'an dan berubah menjadi kerajaan yang bercorak duniawi dengan munculnya daulat Bani Umayyah, dan di sinilah Husain muncul bagaikan awan tebal pembawa hujan, lagi-lagi citraan hujan yang membawa rahmat yang selalu bertentangan secara mengesankan dengan kondisi kering-kerontang dan suasana penuh kehausan dalam adegan aktual Karbala. Darah Husain-lah yang turun sebagai hujan di padang pasir Karbala dan meninggalkan bunga-bunga tulip merak di sana.

Kaitan antara bunga-bunga tulip dalam pakaian mereka yang berwarna merah dengan pakaian syuhada (martir) yang berlumuran darah telah menjadi citraan favorit puisi Persia sejak paling tidak abad ke-15, dan manakala orang berpikir tentang posisi sentral yang ditempati bunga tulip dalam pemikiran dan puisi Iqbal sebagai bunga manifestasi api Ilahi, sebagai lambang semak yang Terbakar di Gunung Sinai, dan sebagai bunga yang melambangkan pertumbuhan khudi (diri) manusia yang mandiri dalam situasi dan kondisi yang paling sulit, manakala kita mempertimbangkan semua aspek bunga tulip ini, maka kita akan mengerti mengapa si penyair menjadikan Imam Husain “menanam bunga-bunga tulip di padang pasir Karbala.” Barangkali kemiripan antara bunyi la ilah dengan bunyi kata lala (bunga tulip), serta kenyataan bahwa kata ‘la’ memiliki nilai numerik yang sama dengan kata Allah, yaitu 66, mungkin telah meningkatkan penggunaan Iqbal atas citraan tersebut dalam kaitan dengan Imam Husain, yang darahnya “menciptakan padang rumput,” dan yang membangun bangunan “La ilaaha illa Allah.”

Tetapi sementara penyair-penyair mistik yang terdahulu biasa menekankan pesona Husain sebagai model bagi sang mistikus yang, melalui pengorbanan diri, akhirnya mencapai kesatuan dengan Tuhan, maka Iqbal –secara bisa dipahami—menekankan pokok persoalan lain: “Mengangkat pedang adalah pekerjaan mereka yang berperang demi kejayaan agama, dan melestarikan tata-tertib yang telah diciptakan Tuhan. Darah Husain, seperti adanya dia, telah menuliskan tafsir mengenai kata-kata ini, dan dengan demikian membangunkan suatu umat yang sedang tidur.”

Lagi-lagi, kesejajaran dengan Husain bin Manshur Al-Hallaj tampak nyata (setidaknya pada Husain bin Manshur dalam cara di mana Iqbal menafsirkan dia: dia juga mengklaim, dalam Falak-i musytari dalam Javidnama, bahwa dia telah datang untuk menghidupkan kembali manusia-manusia yang mati ruhaninya, dan karenanya dia harus menderita). Tetapi, ketika Husain bin Ali menghunus pedang, pedangnya Tuhan, dia menumpahkan darah manusia-manusia yang sibuk dengan, atau tertarik pada, hal-hal selain Allah. Secara grafis, kata ‘la’ pada awal kalimah syahadat menyerupai bentuk sebilah pedang (lebih tepatnya, pedang bermata dua, seperti Dzulfiqar), dan pedang ini memberantas segala sesuatu yang disembah selain Allah. ‘La’ adalah pernyataan profetik “Tidak” terhadap apapun yang mungkin dipandang oleh manusia, selain Allah. Dengan menggunakan pedang “Tidak” dan dengan kesyahidannya, Husain menuliskan kata-kata “kecuali Allah” (illa Allah) di atas pasir, dan dengan demikian menuliskan judul rancangan cerita yang dengannya kaum Muslimin mendapatkan keselamatan. 

Dari Husain-lah, kata Iqbal, kita mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an, dan meskipun kejayaan Syams dan Baghdad serta keindahan Granada mungkin bisa dilupakan orang, namun tali-tali senar alat-alat musik kaum Muslim masih akan tetap menyuarakan nada-nada Husain, dan imam akan tetap segar berkat seruan adzannya.

Jadi, Husain mengumpulkan dalam dirinya semua cita yang mesti dimiliki oleh seorang Muslim sejati, seperti yang digambarkan Iqbal: “keberanian dan kejantanan, dan lebih dari segalanya, pengabdian kepada pengakuan akan keesaan Tuhan yang mutlak; tidak dalam pengertian menjadi satu dengan-Nya dalam fana sebagaimana yang dinyanyikan oleh para penyair sufi, melainkan sebagai pembawa kabar gembira, yang dengan kesyahidannya tidak saja merupakan seorang pahlawan syahid, tapi pada saat yang sama juga seorang saksi akan keesaan Tuhan, dan dengan demikian menjadi model bagi semua generasi keum Muslim”.

Seperti yang dikatakan Iqbal, memang benar bahwa tali-tali gitar kaum Muslim masih menyuarakan nama Husain, dan kita bisa menutup uraian ini dengan bait yang terakhir dari bab yang dipersembahkan kepadanya dalam Rumuz-i Bekhudi:

“Duhai batu safir, duhai utusan dari mereka yang jauh,
Bawalah air mata kami ke debunya yang suci”.

Sumber: Jurnal Al-Serat Volume XII Tahun 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar