oleh Annemarie Schimmel (Islamolog
& pengkaji sufisme dari Jerman)
Saya masih ingat kesan mendalam yang saya rasakan
ketika membaca puisi pertama bahasa Parsi yang saya baca dalam kaitan dengan
kejadian-kejadian tragis di Karbala. Puisi tersebut adalah elegi karangan
Qa’ani, yang diawali dengan kata-kata berikut:
“Hujan apa? Darah
Siapa? Mata
Bagaimana? Siang-malam
Mengapa? Karena duka
Duka karena siapa?
Duka karena raja Karbala”.
Puisi ini, dengan gaya tanya-jawabnya yang indah,
mengungkapkan banyak hal dalam kejadian-kejadian dramatis Karbala dan
perasaan-perasaan yang dialami oleh seorang Muslim yang saleh manakala dia
memikirkan kesyahidan cucu tercinta Muhammad (Husain) di tangan tentara Bani
Umayyah.
Tema penderitaan dan kesyahidan menempati peran
sentral dalam sejarah agama sejak zaman yang paling dini. Sudah sejak dalam
mitos-mitos kuno di Timur Dekat, kita telah mendengar tentang seorang pahlawan
yang terbunuh, yang kematiannya menjamin lahirnya kembali kehidupan. Nama-nama
Attis dan Osiris dalam tradisi Babilonia dan Mesir masing-masing merupakan
contoh terbaik tentang tilikan tajam bangsa-bangsa kuno, bahwa tanpa kematian
tidak akan ada kelanjutan kehidupan, dan bahwa darah yang tertumpah demi tujuan
yang suci adalah lebih berharga daripada apapun yang lain. Pengorbanan adalah
sarana untuk mencapai tahap-tahap kehidupan yang lebih tinggi dan lebih luhur. Memberikan
dengan ikhlas sebagian dari harta kekayaan yang kita miliki, atau mengorbankan
anggota-anggota keluarga, akan meningkatkan derajat keagamaan seseorang. Kisah
Injil dan Al-Qur’an tentang Ibrahim yang demikian percaya kepada Tuhan
sehingga, tanpa menanyakan apapun, bersedia mengorbankan anak lelaki
satu-satunya, menunjuk kepada pentingnya pengorbanan seperti itu. Iqbal
pastilah benar ketika dia menggabungkan, dalam sebuah puisi yang terkenal
–Bal-I-Jibril-(1936)- pengorbanan Ismail dan kesyahidan Husain, yang keduanya
merupakan awal dan akhir kisah tentang Ka’bah.
Dengan memperhitungkan pentingnya pengorbanan dan
penderitaan bagi perkembangan manusia, tidaklah mengherankan jika sejarah Islam
telah memberikan tempat yang sentral kepada kematian cucu Nabi tercinta,
Husain, di medan perang, dan seringkali menggabungkan kejadian itu dengan
kematian saudara laki-lakinya, Hasan, yang diakibatkan oleh racun. Dalam
kesusastraan populer kita sering menemukan Hasan dan Husain ditampilkan sebagai
berperan serta dalam pertempuran Karbala, yang secara historis adalah keliru, namun
secara psikologis benar.
Di sini bukanlah tempatnya untuk mendiskusikan
perkembangan keseluruhan genre puisi martsiyah dan ta’ziyah di dunia Persia dan
Indo-Persia, atau dalam tradisi Turki populer. Tapi adalah menarik untuk
melihat sekilas beberapa bait puisi dalam tradisi Islam Timur yang umumnya
mengungkapkan kepedulian para penyair Sunni terhadap nasib Husain, dan
mengenakan, pada saat yang sama, kecenderungan kaum Sufi untuk memandangnya
sebagai model penderitaan yang begitu sentral dalam pertumbuhan jiwa.
Nama Husain muncul beberapa kali dalam karya penyair
sufi besar pertama Iran, Sana’i (wafat tahun 1131). Di sini, nama Husain dapat
ditemukan di sana-sini dalam kaitan dengan keberanian dan kerelaan berkorban,
dan Sana’i melihat dalam dirinya suatu prototipe sang syahid (martir), yang
jauh lebih tinggi dan lebih penting daripada semua syahid (martir) yang pernah
dan masih ada di dunia:
“Agamamu adalah Husain-mu,
kerakusan dan nafsu keinginanmu
adalah babi-babi dan angjing-anjingmu
Engkau bunuh agamamu,
dan kau pelihara babi-babi dan anjing-anjingmu”.
(Divan, halaman 655).
Ini berarti bahwa manusia telah terjerumus ke dalam
jurang kemerosotan yang sedemikian dalam sehingga dia hanya memikirkan
tujuan-tujuan dan keinginan-keinginannya sendiri saja, dan melakukan segala
sesuatu untuk memanjakan aspek-aspek kehidupan materialnya, sementara agamanya,
yakni aspek spiritual kehidupannya, ditelantarkan tanpa makanan, menjadi layu,
persis seperti halnya Husain dan para syuhada (para martir) Karbala terbunuh
setelah tak seorang pun mau memberi air minum kepada mereka di padang pasir.
Gagasan yang kuat ini menggema dalam bait-bait yang lain, baik dalam Divan
maupun Hadiqah Al-Haqiqah. Tetapi kita harus berhati-hati dalam menilai
pujian-pujian yang panjang kepada Husain dan penggambaran tentang Karbala
sebagaimana yang ditemukan dalam Hadiqah, karena tampaknya kedua unsur ini
tidak terdapat dalam manuskrip-manuskrip tertua dari karya tersebut, dan
mungkin telah disisipkan pada masa yang terkemudian. Akan tetapi, hal ini
tidaklah menjadi kepedulian kita di sini. Sebab nama sang pahlawan, yakni
Husain, ditemukan dalam salah satu puisi sentral Sana’i dalam Divan, di mana
sang penyair dalam citraan-citraan yang agung menggambarkan perkembangan
manusia dan masa-masa panjang penderitaan yang dituntut bagi perkembangan
segala sesuatu yang ingin meraih kesempurnaan, Di sinilah Sana’i melihat dalam
“jalan agama” syahid-syahid (para martir) yang dahulu mati dan kini hidup,
yaitu syahid-syahid (para martir) yang terbunuh oleh pedang seperti halnya
Husain, dan mereka yang mati oleh racun seperti halnya Hasan (Divan, 485).
Kecenderungan untuk melihat Husain sebagai model
kesyahidan dan keberanian tentu saja terus berlanjut dalam puisi yang dikarang
sesudah Sana’i oleh sufi-sufi Persia dan Turki, yang paling menarik diantaranya
adalah satu baris dalam Divan-nya `Attar (376 Hijriah) dimana dia menyeru sang
pemula yang baru menempuh jalan agar terus melangkah menuju tujuan. Katanya:
“Jadilah seorang Husain, atau seorang Manshur”.
Yang dimaksud Manshur di sini adalah Husain bin
Manshur Al-Hallaj, pemimpin para syuhada (para martir) sufi Islam, yang dibunuh
dengan kejam di Baghdad pada tahun 922 Masehi. Seperti nama julukannya, Husain
bin Ali, dia menjadi model bagi para sufi. Dia adalah pecinta yang menderita,
dan dalam sejumlah yang cukup banyak dari puisi-puisi sufi, namanya muncul
berdampingan dengan nama Husain. Keduanya tenggelam dalam cinta kepada Tuhan.
Keduanya mengorbankan diri di Jalan Cinta Ilahi. Karena itu keduanya merupakan
pecinta-pecinta Tuhan yang ideal, yang harus diteladani oleh setiap Muslim yang
saleh. Ghalib dengan piawainya mengisyaratkan kepada kombinasi ini dalam Tawhid
Qasidah-nya:
“Tuhan telah menempatkan para pecinta ekstatik seperti
Husain dan Manshur di kalung-kalung tali dan tiang gantungan, dan Dia
menempatkan para pejuang di Jalan Allah seperti Husain dan Ali di
pinggiran-pinggiran mata pedang dan ujung-ujung tombak. Dengan menjadi syuhada
(martir), mereka mendapatkan kehidupan dan kebahagiaan yang abadi dan menjadi
saksi-saksi atas kekuasaan Tuhan yang misterius”.
Tradisi ini khususnya terasa kuat dalam dunia Turki,
dimana nama Husain maupun nama Manshur sering muncul dalam nyanyian-nyanyian
sufi.
Tradisi Turki, terutama pada tarekat Bektasiyyah yang
belakangan, sangat berhutang budi kepada Islam Syi’ah. Tapi tampaknya sudah
sejak dalam beberapa nyanyian sufi populer yang paling awal di Turki, yakni
yang dikarang oleh Yunus Emre pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14,
cucu-cucu Nabi (Hasan dan Husain) memainkan peran khusus. Dalam sebuah nyanyian
indah karangan Yunus, mereka digambarkan sebagai “air mancurnya para syuhada”,
“air mata para wali” serta “anak-anak domba Bunda Fatimah.” Kedua cucu
Nabi itu, sebagai “raja delapan surga,” dipandang sebagai penolong-penolong
yang berdiri di pinggir telaga Al-Kawtsar dan membagi-bagikan air kepada
orang-orang yang kehausan, suatu kebalikan dari Husain yang menderita kehausan
di padang pasir Karbala yang kering-kerontang” (Yunus Emre Divani, halaman
569).
Dongeng terkenal yang menurutnya Nabi SAAW melihat
Jibril membawa dua helai pakaian, yang satu berwarna merah dan yang lain
berwarna hijau, untuk kedua orang cucunya, dan beliau diberitahu bahwa warna
kedua pakaian itu menunjuk kepada dua cara kematian mereka, yaitu masing-masing
oleh pedang (Husain) dan racun (Hasan), disebutkan dalam nyanyian-nyanyian
Turki masa awal, sebagaimana dongeng itu juga menjadi bagian pokok dari
manaqibah Sindhi populer yang hingga kini masih dinyanyikan di lembah Indus.
Hal yang sama-sama terdapat dalam kedua tradisi tersebut adalah cerita-cerita
tentang bagaimana kedua anak itu menaiki punggung kakek mereka, Nabi SAAW, dan
bagaimana beliau membelai-belai mereka. Jadi, dalam nyanyian-nyanyian awal
Turki, Hasan dan Husain muncul dalam berbagai citraan yang umumnya terkenal.
Namun untuk menekankan peran khusus mereka, Yunus Emre menyebut keduanya “kedua
cuping `Arasy Tuhan” (Divan, halaman 569).
Citraan tersebut bahkan menjadi lebih berwarna-warni
dalam abad-abad selanjutnya ketika watak Syi’ah dari tarekat Bektasyiyah
semakin meningkat dan dirasakan dalam ungkapan ritual maupun puitis. Husain bin
Ali adalah “rahasia Tuhan,” “cahaya mata Al-Musthafa” (demikian dikatakan oleh
Seher Abdal, abad ke-16), dan penyair sezamannya, Hayreti, dalam sebuah
martsiyah yang indah, menyebutnya “qurban perayaan jihad akbar.” Bukanlah
lehernya, yang dulu sering diciumi Nabi, telah dipenggal oleh pedang?
“Hari ini penghuni langit dan bumi
meneteskan air mata. Dan
mereka menjadi kacau-balau
seperti rambutmu, wahai Husain”.
“Fajar mengucurkan darahnya karena berduka bagi
Husain, dan bunga-bunga tulip merah menampakkan warna darah dan memperlihatkan
tanda-tanda kesedihan hati mereka....” (Ergun, Bektasi sairleri, halaman 95).
Tradisi Turki dan tradisi dalam bahasa-bahasa regional
di anak benua India adalah sangat mirip. Marilah kita menengok perkembangan
martsiyah, bukan dalam bahasa-bahasa sastra yang utama, melainkan di
bagian-bagian yang lebih terpencil dari anak benua tersebut. Sebab perkembangan
martsiyah bahasa Urdu sejak permulaannya pada akhir abad ke-16 hingga mencapai
titik puncaknya pada karya-karya Sauda dan khususnya karya-karya Anis dan Dabir
adalah terkenal. Di provinsi Sind, yang memiliki persentase penduduk Syi’ah
yang cukup besar, martsiyah berbahasa Parsi dikarang orang, sejauh yang kita
ketahui, sejak sekitar tahun 1700. Seorang bernama `Allamah (1682-1782) dan
Muhammad Mu’in Tharo adalah diantara pengarang-pengarang martsiyah yang
disebutkan namanya oleh para sejarawan. Tetapi khususnya adalah Muhammad
Muhsin, yang tinggal di Thatta, ibu kota provinsi Sind hilir yang megah, yang
namanya dikaitkan dengan martsiyah berbahasa Parsi di Sind. Selama masa
hidupnya yang singkat (1709-1750) dia mengarang sejumlah besar tarji’band,
khususnya salam, di mana citraan yang kuat dan indah bisa ditemukan:
“Perahu keluarga Al-Musthafa telah tenggelam
di lautan darah; Awan kekafiran
yang hitam
telah menutupi matahari; Pelita
Nabi telah tertiup mati
oleh angin yang dibawa orang-orang Kufah”.
Tetapi, jauh lebih menarik daripada tradisi Persia
adalah perkembangan martsiyah dalam bahasa Sindhi dan Siraiki. Karena
Christopher Shackle telah menulis sebuah artikel yang panjang dan sangat
informatif tentang martsiyah yang dikarang dalam bahasa Multan, maka di sini
saya hanya akan berbicara tentang beberapa aspek dari martsiyah Sindhi. Seperti
dalam banyak lapangan lain puisi Sindhi, Syah Abdul Lathif dari Bhit
(1689-1752) adalah penyair pertama yang mengungkapkan gagasan-gagasan yang
kemudian diambil oleh penyair-penyair lain. Dia mempersembahkan syair Sur
Kedaro dalam karyanya yang berbahasa Hindi Risab kepada kesyahidan (kemartiran)
sang cucu Nabi Muhammad (yaitu Husain), dan memandang kejadian Karbala sebagai
telah terkandung dalam keseluruhan tradisi mistik Islam. Sebagaimana
kebiasaannya, dia mengawali puisinya dalam media resmi dan membawa pendengarnya
kepada saat ketika tak ada berita yang datang dari para pahlawan yang berangkat
ke Kufah:
“Rembulan bulan Muharram telah muncul,
dan muncul pula kecemasan tentang para pangeran.
Apa yang telah terjadi?
Bulan Muharram telah datang lagi,
tapi para Imam belum datang.
Wahai para pangeran dari Madinah,
semoga Tuhan mengumpulkan kita”.
semoga Tuhan mengumpulkan kita”.
Penyair kemudian merenungkan alasan kebisuan mereka,
dan menyadari bahwa suatu tragedi telah terjadi:
“Para Mir telah keluar dari kota Madinah,
dan mereka belum kembali”.
Tetapi kemudian dia menyadari bahwa pada dasarnya
tidak ada alasan untuk bersedih atau berkabung, sebab:
“Derita kesyahidan, dengarlah, adalah hari
kegembiraan.
Yazid tidak mendapatkan sebutir atom pun dari cinta
ini.
Kematian adalah hujan bagi anak-anak Ali”.
Sebab, hujan oleh Syah Abdul Lathif khususnya, dan
kaum penyair Timur umumnya, dipandang sebagai tanda rahmat Tuhan, dan di negeri
yang begitu bergantung pada hujan, citraan ini memperoleh maknanya yang penuh.
“Derita kesyahidan adalah musin hujan
yang penuh kegembiraan.
Yazid tidak memperoleh jejak-bekas cinta ini.
Keputusan untuk mati terbunuh telah ada
bersama Imam sejak semula”.
Ini berarti sudah sejak lama zaman azali, Hasan dan
Husain telah memutuskan untuk mengorbankan hidup mereka demi meraih cita-cita
mereka. Ketika menjawab pertanyaan Tuhan: Bukankah Aku ini Tuhanmu? (Al-Qur’an
Surah Al-A’raf, 7:171), mereka menjawab “Ya” (Balaa) dan memikulkan ke atas
pundak mereka sendiri penderitaan (bala) yang nantinya akan menimpa mereka.
Niat mereka untuk menjadi modal bagi mereka yang ingin mendapatkan kehidupan
abadi melalui penderitaan dan pengorbanan, seperti diingatkan oleh Syah Abdul
Lathif kepada para pendengarnya, dinyatakan pada hari Perjanjian Azali
tersebut. Kemudian, dalam bab selanjutnya, penyair Sindhi kita memasuki
rincian-rincian kongkrit yang lebih banyak lagi:
“Manusia-manusia sempurna, para syahid
yang bagaikan singa, telah datang ke Karbala;
Setelah menebaskan pedang-pedang Mesir mereka,
mereka menciptakan tumpukan mayat;
Para pahlawan menjadi bingung
melihat Mir Husain menyerang”.
Tetapi dengan segera dia berpaling kepada makna abadi
pertempuran Karbala dan melanjutkan puisinya dalam semangat sufi yang baik:
“Derita kesyahidan adalah kecentilan (naz).
Orang yang mabuk pasti memahami rahasia Karbala”.
Dengan menjadikan kekasihnya menderita, sang Kekasih
tampak menunjukkan kecentilannya, mencobai dan memeriksa iman dan cinta mereka,
dan dengan demikian bahwa pernyataan-pernyataan yang paling kejam tantang
pertempuran Karbala di mana "para pahlawan muda” –sebagaimana Syah Abdul
Lathif menyebut mereka – dijaring, adalah tanda-tanda cinta Ilahi:
“Bumi berguncang, gempa; langit gempar
Ini bukanlah perang; ini adalah manifestasi cinta”.
Si penyair tahu bahwa penderitaan adalah hadiah khusus
Tuhan bagi sahabat-sahabat-Nya. Manusia-manusia yang paling menderita adalah
para nabi, disusul para wali, kemudian orang-orang lain pada derajat mereka
masing-masing. Maka diapun lalu melanjutkan syairnya:
“Sang sahabat membunuh para kekasih,
para pecinta dibantai, Bagi
sahabat-sahabat terpilih,
Dia menyediakan kesulitan-kesulitan.
Tuhan, yang Abadi; Dia melakukan apa
yang diinginkan-Nya, tanpa Dia butuh kepadanya”.
Syah Abdul Lathif menyedikan dua bab untuk berbicara
tentang pertempuran Karbala, dan tentang bagaimana Al-Hurr bergabung dengan
para pejuang “bagaikan seekor anai-anai bergabung ke api lilin.” Yakni
siap mengorbankan dirinya dalam pertempuran. Tapi menjelang akhir puisi, aspek
mistiknya sekali lagi menjadi menonjol; mereka yang “berperang di jalan
Tuhan” mencapai surga, dan para bidadari mengikatkan ikat-ikat pinggang
dari untaian mawar pada mereka, sebagaimana layaknya para mempelai pria. Bahkan
lebih dari itu:
“Surga adalah tempat mereka;
dengan berbondong-bondong mereka pergi
ke surga, Mereka telah
lenyap dalam Tuhan,
dengan-Nya mereka telah menjadi Dia.....”
Para pahlawan itu, yang tidak pernah memikirkan nasib
diri mereka sendiri, tapi hanya memikirkan cinta kepada Tuhan, yang membuat
mereka menghadapi semua kesulitan, akhirnya mencapai tujuan mereka, yaitu fana
fi Allah, yaitu lenyap dalam Tuhan dan tinggal terus di dalam-Nya. Syah Abdul
Lathif telah mengubah kehidupan para Imam, khususnya kehidupan Imam Husain,
menjadi model bagi semua sufi yang berjuang, entah dalam jihad kecil (jihad-i
asghar) ataupun jihad besar (jihad-i akbar), untuk mencapai kelenyapan final
dalam Tuhan, suatu persatuan yang begitu sering diungkapkan oleh para Sufi
dalam citraan cinta dan kebersatuan cinta. Dan secara pasti bukanlah kebetulan
jika penyair Sindhi kita telah menerapkan nada Husaini, yang pada mulanya
dimaksudkan untuk puisi-puisi ratapan bagi Husain, pada cerita tentang pahlawan
wanita kesayangannya, Sassui, yang melenyapkan dirinya dalam pencariannya yang
terus-menerus dan berani terhadap kekasihnya, dan akhirnya dia berubah menjadi
kekasihnya itu.
Penafsiran Syah Abdul Lathif atas nasib Imam Husain
sebagai model cinta yang menderita, dan dengan demikian sebagai model jalan
mistik, merupakan sekeping kesusastraan yang sangat mengesankan. Ia belum
pernah ada yang melebihi, meskipun sesudahnya sejumlah penyair dari kalangan
kaum Syi’ah telah mengarang elegi-elegi tentang Karbala. Yang paling masyhur
diantara mereka adalah Tsabit Ali Syah (1740-1810), yang spesialisasinya adalah
genre suwari, yaitu puisi yang dialamatkan kepada sang pengendara kuda, Husain,
yang dulu pernah menaiki punggung Nabi dan kemudian menunggangi kudanya dengan
gagah berani di medan pertempuran. Genre ini, dan juga bentuk-bentuk lain yang
lebih umum, tetap lestari dalam bahasa Sindhi sepanjang abad ke-18 dan 19, dan
bahkan hingga masa kita sekarang ini (Sachal Sarmest, Bedil Rohriwaro, Mir
Hasan, Syah Naser, Mirza Baddhal Beg, untuk menyebut sedikit nama saja, yang
sebagian adalah sufi-sufi Sunni). Tema suwari diperinci dengan mudahnya oleh
Sangi, yang adalah Abdul Husain, si pangeran dari Talpur, yang kepadanya balada
Sindhi berutang budi berupa beberapa nyanyian yang sangat indah dan menyentuh
hati yang dikarang untuk menghormati sang pangeran para syuhada (para martir),
dan yang sangat menekankan segi-segi mistik dari peristiwa Karbala. Di sini
Husain ditempatkan dalam hubungan dengan Nabi.
“Sang pangeran telah melakukan mikraj-nya di tanah
Karbala,
Kuda Syah telah mencapai pangkat Buraq”.
Maut telah membawa Imam Husain, yang saat itu
mengendarai kudanya yang bernama Dzuljanah, menuju hadirat Ilahi sebagaimana
halnya Buraq yang bersayap telah membawa Nabi ke hadirat Tuhan dalam perjalanan
malam dan kenaikannya ke langit.
Sangi juga tahu, sebagaimana banyak pengarang Syi’ah
sebelum dia, bahwa menangis demi Imam Husain akan mendatangkan imbalan (pahala)
berupa tertawa di Akhirat, dan bahwa perenungan sejati atas rahasia pengorbanan
dalam cinta bisa membawa sang pencinta ke hadirat Ilahi, di mana pada akhirnya,
seperti dikatakannya,
“Dualitas menjadi jauh, dan diapun mencapai kesatuan”.
Tema Husain sebagai model mistik bagi semua orang yang
ingin menempuh jalan cinta sangat menonjol dalam puisi lembah Indus dan dalam
puisi populer kaum India Muslim, yang pemikirannya diresapi oleh ajaran kaum
Sufi, dan yang baginya, seperti halnya bagi para Sufi Turki dan bagi Fariduddin
Attar (serta sejumlah besar sufi lainnya), penderitaan Imam Husain dan Husain
bin Manshur Al-Hallaj merupakan paradigma kehidupan mistik. Namun ada juga cara
lain untuk memahami peran Husain dalam sejarah masyarakat-masyarakat Islam.
Lebih penting lagi, cara tersebut ditunjukkan oleh Muhammad Iqbal, yang tak
pelak lagi adalah seorang filsuf dan penyair Sunni. Pada awal tulisan ini telah
disebutkan bahwa dialah yang memandang sejarah Ka’bah sebagai didefinisikan
oleh dua pengorbanan, yaitu pengorbanan Islam pada awalnya, dan pengorbanan
Husain bin Ali pada akhirnya (Bal i Jibril, halaman 92). Tetapi hampir dua
dasawarsa sebelumnya Iqbal menulis baris-baris puisinya, dia telah
mempersembahkan sebuah bab yang panjang kepada Husain dalam Rumuz-i bekhudi
(halaman 126 dan seterusnya). Di sini, Husain dipuji, lagi-lagi dalam kosa-kata
mistik, sebagai imam-nya para pecinta, anak laki-laki sang perawan, bunga
kebebasan di taman Nabi. Sementara ayahnya, Hazrat Ali, dalam penafsiran
mistik, adalah huruf ba’ dalam bismillah, maka sang anak (Husain)
menjadi teridentifikasi dengan “sembelihan besar (kurban agung),” suatu
campuran yang indah dari penafsiran mistik dan penafsiran Qur’ani. Tetapi, seperti
halnya para pendahulunya, Iqbal juga hendak berisyarat kepada kenyataan bahwa
Husain, sang pangeran dari umat terbaik, dulu biasa menggunakan punggung Nabi
sebagai kendaraannya. Dan paling indah adalah gambaran cinta cemburu yang
menjadi.
Bagi Iqbal, kedudukan Husain di komunitas Muslim
adalah sama sentralnya dengan kedudukan surah Al-Ikhlas dalam Al-Qur’an.
Selanjutnya, Iqbal kembali kepada topik kesayangannya,
yaitu pertentangan yang terus-menerus antara kekuatan positif dengan kekuatan
negatif, antara nabi dan wali di satu pihak dengan para penindas dan kaum kafir
di pihak lain. Husain dan Yazid berdiri pada jalur yang sama seperti
Musa (Husain) dan Fir’aun (Yazid bin Muawwiyah). Selanjutnya, Iqbal
menunjukkan bagaimana khilafah dipisahkan dari tuntunan-tuntunan Al-Qur'an dan
berubah menjadi kerajaan yang bercorak duniawi dengan munculnya daulat Bani
Umayyah, dan di sinilah Husain muncul bagaikan awan tebal pembawa hujan,
lagi-lagi citraan hujan yang membawa rahmat yang selalu bertentangan secara mengesankan
dengan kondisi kering-kerontang dan suasana penuh kehausan dalam adegan aktual
Karbala. Darah Husain-lah yang turun sebagai hujan di padang pasir Karbala dan
meninggalkan bunga-bunga tulip merak di sana.
Kaitan antara bunga-bunga tulip dalam pakaian mereka
yang berwarna merah dengan pakaian syuhada (martir) yang berlumuran darah telah
menjadi citraan favorit puisi Persia sejak paling tidak abad ke-15, dan
manakala orang berpikir tentang posisi sentral yang ditempati bunga tulip dalam
pemikiran dan puisi Iqbal sebagai bunga manifestasi api Ilahi, sebagai lambang
semak yang Terbakar di Gunung Sinai, dan sebagai bunga yang melambangkan
pertumbuhan khudi (diri) manusia yang mandiri dalam situasi dan kondisi yang
paling sulit, manakala kita mempertimbangkan semua aspek bunga tulip ini, maka
kita akan mengerti mengapa si penyair menjadikan Imam Husain “menanam
bunga-bunga tulip di padang pasir Karbala.” Barangkali kemiripan antara
bunyi la ilah dengan bunyi kata lala (bunga tulip), serta kenyataan bahwa kata ‘la’
memiliki nilai numerik yang sama dengan kata Allah, yaitu 66, mungkin telah
meningkatkan penggunaan Iqbal atas citraan tersebut dalam kaitan dengan Imam
Husain, yang darahnya “menciptakan padang rumput,” dan yang
membangun bangunan “La ilaaha illa Allah.”
Tetapi sementara penyair-penyair mistik yang terdahulu
biasa menekankan pesona Husain sebagai model bagi sang mistikus yang, melalui
pengorbanan diri, akhirnya mencapai kesatuan dengan Tuhan, maka Iqbal –secara
bisa dipahami—menekankan pokok persoalan lain: “Mengangkat pedang adalah pekerjaan mereka yang berperang demi kejayaan
agama, dan melestarikan tata-tertib yang telah diciptakan Tuhan. Darah Husain, seperti adanya dia, telah
menuliskan tafsir mengenai kata-kata ini, dan dengan demikian membangunkan
suatu umat yang sedang tidur.”
Lagi-lagi, kesejajaran dengan Husain bin Manshur
Al-Hallaj tampak nyata (setidaknya pada Husain bin Manshur dalam cara di mana
Iqbal menafsirkan dia: dia juga mengklaim, dalam Falak-i musytari dalam
Javidnama, bahwa dia telah datang untuk menghidupkan kembali manusia-manusia
yang mati ruhaninya, dan karenanya dia harus menderita). Tetapi, ketika Husain
bin Ali menghunus pedang, pedangnya Tuhan, dia menumpahkan darah
manusia-manusia yang sibuk dengan, atau tertarik pada, hal-hal selain Allah.
Secara grafis, kata ‘la’ pada awal kalimah syahadat menyerupai bentuk sebilah
pedang (lebih tepatnya, pedang bermata dua, seperti Dzulfiqar), dan pedang ini
memberantas segala sesuatu yang disembah selain Allah. ‘La’ adalah pernyataan
profetik “Tidak” terhadap apapun yang mungkin dipandang oleh manusia, selain
Allah. Dengan menggunakan pedang “Tidak” dan dengan kesyahidannya, Husain
menuliskan kata-kata “kecuali Allah” (illa Allah) di atas pasir, dan dengan
demikian menuliskan judul rancangan cerita yang dengannya kaum Muslimin
mendapatkan keselamatan.
Dari Husain-lah, kata Iqbal, kita mengetahui
rahasia-rahasia Al-Qur’an, dan meskipun kejayaan Syams dan Baghdad serta
keindahan Granada mungkin bisa dilupakan orang, namun tali-tali senar alat-alat
musik kaum Muslim masih akan tetap menyuarakan nada-nada Husain, dan imam akan
tetap segar berkat seruan adzannya.
Jadi, Husain mengumpulkan dalam dirinya semua cita
yang mesti dimiliki oleh seorang Muslim sejati, seperti yang digambarkan Iqbal:
“keberanian dan kejantanan, dan lebih dari segalanya, pengabdian kepada
pengakuan akan keesaan Tuhan yang mutlak; tidak dalam pengertian menjadi satu
dengan-Nya dalam fana sebagaimana yang dinyanyikan oleh para penyair sufi,
melainkan sebagai pembawa kabar gembira, yang dengan kesyahidannya tidak saja
merupakan seorang pahlawan syahid, tapi pada saat yang sama juga seorang saksi
akan keesaan Tuhan, dan dengan demikian menjadi model bagi semua generasi keum
Muslim”.
Seperti yang dikatakan Iqbal, memang benar bahwa
tali-tali gitar kaum Muslim masih menyuarakan nama Husain, dan kita bisa
menutup uraian ini dengan bait yang terakhir dari bab yang dipersembahkan
kepadanya dalam Rumuz-i Bekhudi:
“Duhai batu safir, duhai utusan dari mereka yang jauh,
Bawalah air mata kami ke debunya yang suci”.
Sumber: Jurnal Al-Serat
Volume XII Tahun 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar