Kamis, 31 Desember 2015

Kekejian Yazid bin Muawwiyah







Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

“Yazid bin Muawwiyah Membunuh Imam Husain Cucu Rasûl, Membunuh Muhâjirîn dan Anshâr, Memperkosa Seribu Wanita,  Membunuh 120.000 Orang”

Di masa pemerintahan Yazîd bin Muâwiyah, tahun 61 H, 681 M. pasukan yang dipimpin oleh Umar Sa’d bin Abî Waqqâsh yang berjumlah 4.000 orang telah membunuh Husain bin Alî bin Abî Thâlib dan keluarga serta sahabat-sahabatnya yang berjumlah 72 orang. Mereka digiring ke daerah tandus Karbala dan dicegah mengambil air dari sungai Efrat untuk diminum. Sebelum dibunuh tenda mereka yang sedang kehausan itu dibakar. Mereka menginjak-injak tubuh Husain dengan kaki kuda sampai hancur. Semua kepala mereka di pancung dan diarak di kota Kûfah. Wanita-wanita diarak sebagai tawanan, milik mereka termasuk pakaian dirampas.

Yang mengherankan mereka membunuh keluarga Rasûl Allâh saw ini dengan bangga sambil bersenandung.

Mas’ûdî melukiskan: Mereka membunuh dan membunuh sampai Husain terbunuh dan seorang lelaki dari suku Madzhaj memenggal kepalanya lepas dari tubuh sambil berteriak gembira:

Akulah pembunuh sang raja terselubung,
Putera terbaik telah luluh,
Turunan termulia telah kubunuh.

Setelah diarak sekeliling kota, Ziyâd, gubernur Kûfah mengirim kepala Husain ke Yazîd bin Muâwiyah di Damaskus. Bersama Yazîd ada Abû Burdah al-Islamî. Yazîd meletakkan kepala itu di depannya dan memukul-mukul mulut kepala itu dengan tongkat sambil bersenandung:

Pecah sudah bagian penting seorang tercinta,
Bagi kami mereka adalah lalim dan pemecah,

Abû Burdah lalu berkata: “Angkat tongkatmu. Demi Allâh, saya melihat Rasûl Allâh saw. menciumi bibir itu!”[1][1][1] Ada orang mengatakan bahwa Yazîd menyesali perbuatannya, tetapi ia tidak pernah menghukum, memecat bahkan tidak pernah mengecam Ibnu Ziyâd, gubernur Kûfah sebagai penanggung jawab pembunuhan terhadap cucu, buah mata Rasûl Allâh saw.
Contoh lain, betapa “sifat jahiliah” hampir melampaui keyakanan agama adalah apa yang dilakukan Amr bin Sa’îd bin Âsh. Amr bin Sa’îd bin Âsh menjabat gubernur Madînah tatkala Husain dibunuh. Ziyâd mengirim Abdul Mâlik bin Abî Hârits al-Sulamî ke Madînah untuk mengabarkan berita kematian itu kepada Amr bin Sa’îd.

Salmi masuk dan Amr bertanya: “Ada berita apa?”

Salmi: “Alangkah bahagianya wahai Pemimpin, Husain bin Alî bin Abî Thâlib telah dibunuh.”

Amr: “Sebarkan berita kematiannya!”

Dan aku menyebarkan berita kematiannya dan demi Allâh aku belum pernah mendengar tangisan memilukan seperti tangisan kaum wanita Banû Hâsyim mendengar kematian Husain. Dan Amr berkata sambil tertawa:

Bersoraklah hai Wanita Banû Ziyâd,
Bak sorakan wanita kami setelah perang Arnab.
Tangisan ini seperti tangisan untuk Utsmân.

Ia lalu naik mimbar dan memberi tahu jemaah akan kematian Husain. Kemudian ia menunjuk ke kubur Nabî dan berkata: “Ya, Muhammad. Sebuah pembalasan untuk Perang Badr.” Dan orangorang Anshâr mengingkarinya.

Ia juga memanggil Abû Rafi’, maulâ Rasûl Allâh: “Maulâ siapa engkau?”

Abû Rafi’: “Saya maulâ Rasûl Allâh saw!”

Dan ia lalu memecutnya seratus kali. Amr pergi. Setelah itu ia panggil lagi Abû Rafi’: “Maulâ siapa engkau?” Abû Rafi’: “Maulâ Rasûl Allâh!” Ia lalu dipecut seratus kali, dan pergi. Ia mengulanginya lagi sampai 500 kali cambukan. Akhirnya karena takut mati Abû Rafi’ berkata: “Aku maulâ paduka!”[2][2][2]

Hal serupa juga terjadi sebelum ini, yaitu pada Perang Shiffîn, dua orang yang membawa kepala Ammâr bin Yâsir kepada Muâwiyah, bertengkar, masing-masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala Ammâr yang oleh Rasûl dikatakan bahwa pembunuh Ammâr adalah komplotan pemberontak.

Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al-Ma’ârif bahwa yang mengaku membunuh Ammâr yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abû al-Ghâdiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala Ammâr dan memenggalnya kepalanya. Kepala Ammâr telah berubah rupa.”[3][3][3]

Abû Umar menceriterakan Ammâr dibunuh oleh Abû al-Ghâdiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz’a as-Saksakî.[4][4][4]

Yang lain lagi terjadi tahun 63 H, 683 M, pasukan Yazîd yang dipimpin Muslim bin Uqbah menyerbu kota Madînah dengan 12.000 anggota pasukan, yang terkenal dengan perang Harrah. Yazîd menyerbu dari arah Timur Madînah, yang disebut Harrah Syarqiyah, agar orang Madînah silau oleh sinar matahari.

Ia lalu membunuh 7.000 tokoh dan 10.000 rakyat jelata, di antaranya 80 sahabat pengikut Perang Badr, 1.000 orang Anshâr dan 800 kaum Quraisy. Ia membolehkan pasukannya menjarah dan merampok kota Madînah selama 3 hari dan menurut Ibnu Katsîr ada seribu gadis yang hamil akibat perkosaan pada masa itu.

Khalîfah Umar bin Abdul Azîz, khalîfah berhati mulia, yang memerintah dua setengah tahun dari 92 tahun pemerintahan dinasti Umayyah, mengatakan: “Bila ada pertandingan kekejaman pemimpin, maka kita kaum Muslimîn pasti akan jadi juara bila kita kirim Hajjâj bin Yûsuf.”

Seperti dicatat oleh Tirmidzî, Ibnu Asâkir, dalam 20 tahun sebagai gubernur “khalîfah” Abdul Mâlik bin Marwân di Iraq ia telah membunuh 120.000 Muslim dengan berdarah dingin, shabran[5][5][5], dan ditemukan dalam penjaranya 80.000 orang dan diantaranya 30.000 wanita yang dihukum tanpa diadili dan banyak yang sudah membusuk. Ia menembaki ka’bah dengan katapel (alat pelempar batu, manjaniq) pada musim haji dalam memerangi Ibnu Zubair. Ia melakukan tindakan kejam yang sukar dilukiskan, terutama terhadap pengikut-pengikut Imâm Alî dan memerlukan buku tersendiri untuk menulis riwayat Hajjâj bin Yûsuf. Ketika Abdul Mâlik akan meninggal ia berpesan agar berlaku baik terhadap Hajjâj bin Yûsuf “karena dia telah mengalahkan musuh-musuhmu.”[6][6][6]

Ia tidak segan menghina sahabat yang sudah meninggal sekalipun:

A’masy menceritakan: “Demi Allâh, aku mendengar Hajjâj bin Yûsuf berkata: “Mengherankan Abû Hudzail (maksudnya Abdullâh bin Mas’ûd). Ia mengatakan ia membaca Al-Qur’ân, demi Allâh ia hanya kotoran dari kotoran-kotoran orang Badwi. Demi Allâh bila aku bisa menemuinya, akan aku tebas lehernya.”[7][7][7] Di bagian lain, ia berkhotbah: “Demi Allâh, bertakwalah kepada Allâh sesanggupmu, tidak ada itu hari pembalasan. Dengar dan patuhlah kepada Amîru’l-mu’minîn Abdul Mâlik karena ia dapat membalas. Demi Allâh bila aku suruh kamu keluar melalui pintu itu dan kamu keluar dari pintu lain, aku akan ambil darah dan hartamu.”[8][8][8]

Hâfizh Ibnu Asâkir berkata: “Hajjâj berkhotbah di Kûfah dan setelah menyebut orang-orang yang berziarah ke kubur Nabî saw. di Madînah, ia berkata: “Mengapa mereka tidak mengunjungi dan bertawaf di istana Amîru’l-mu’minîn Abdul Mâlik, apakah mereka tidak tahu bahwa khalîfah Abdul Mâlik adalah orang yang lebih baik dari Rasûlnya.”[9][9][9]

Al-Hâfizh Ibnu Asâkir mengatakan : “Suatu ketika ada dua orang berbeda pendapat tentang Hajjâj. Seorang mengatakan Hajjâj kafir, dan yang lain mengatakan ia mu’min yang tersesat. Mereka lalu menanyakan pada asy-Syu’bah yang berkata kepada keduanya: “Sesungguhnya ia Mu’min di jubahnya tetapi ia sebenarnya adalah thâghût dan kafir sekafir-kafirnya.”

Tatkala Wâshil bin Abdul A’la bertanya kepadanya tentang Hajjâj bin Yûsuf ia menjawab: “Anda menanyaiku tentang si kafir itu?”

Di zaman itu, memenggal kepala seorang muslim oleh penguasa dianggap sebagai permainan anak-anak. Menyayat dan menginjak-injak jenazah Muslim adalah perbuatan sehari-hari. Rata-rata Hajjâj bin Yûsuf selama 20 tahun jadi gubernur Iraq membunuh 7 orang sehari secara berdarah dingin.

Di zaman itu, lebih baik orang mengaku zindîq atau kafir dari pada mengaku Syî’ah. Dan orang-orang Syî’ah yang terancam nyawanya melakukan taqiyah. Di zaman Banû Abbâs kekejaman terhadap Syî’ah lebih parah.

CATATAN:
[10][10][1] Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 90-91. Dengan sedikit berbeda, lihat juga Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 371; Dinawari, Kitâb al-Akhbâr atTiwal, hlm. 259; Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa’n-Nihâyah, jilid 7, hlm. 190.
[11][11][2] Al-Ishâbah, jilid 4, hlm. 68.
[12][12][3] Ibn Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 112.
[13][13][4] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 10, hlm. 105.
[14][14][5] Shahîh Tirmidzî, jilid 9, hlm. 64; Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 80; Tafsîr al-Wushûl, jilid 4, hlm. 36.
[15][15][6] Ibnu Atsîr, Târîkh, jilid 3, hlm. 103, Ibnu Khaldûn, Târîkh, jilid 3, hlm. 58.
[16][16][7] Al-Hâkim, Mustadrak, jilid 2, hlm. 556; Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 69.
[17][17][8] Ibnu _Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 69.
[18][18][9] Ibnu Aqil, an-Nashâyih, hlm. 81
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar