Dalam kegelapan yang
meliputi malam penindasan, fajar sedang menanti matahari lain yang akan terbit,
dunia sedang dalam ketenangan menjelang badai, dan sejarah merenungkan suatu
pemberontakan besar melawan dewa-dewa duniawi serta bayang-bayang dan
tanda-tandanya ―dewa-dewa langit: politeisme dan syirik.
Pada kedalaman dari
kesadaran-kesadaran yang ternaung dalam bayangan “kehendak Ilahi” dan dalam
ketersembunyian watak-watak fitriah, yang pada lahirnya tampak berhubungan
dengan hakikat wujud, perubahan-perubahan yang tidak dapat dilukiskan dan
ganjil, mulai muncul, hanya sebagai suatu pengertian berupa penciuman indera
rahasia burung-burung liar yang merasakan akan datangnya badai dan secara
tergesa-gesa berpindah dari tempatnya, sebagai naluri misterius dari seekor
kuda waspada yang bangkit menjelang peristiwa gempa bumi, memutuskan tali
kekangnya dan meninggalkan rumah tuanya, tanpa pelana, tanpa penunggang, menuju
padang pasir ―rohani-rohani yang kesepian merasakan bahwa ada sesuatu di udara,
sesuatu yang besar!
Kadang-kadang seorang
pribadi adalah suatu dunia, dan kadang-kadang seorang individu adalah suatu
masyarakat.
Dan Jundab putra Junadah,
seorang Arab Badui dari Ghifar, suku yang terlanda kemiskinan di Rabadzah,
suatu gurun di antara Makkah dan Madinah, di jalan kafilah perdagangan Quraisy
dan kafilah peziarah Ka’bah, bersama orang-orang yang tak tahu malu, tidak
mengenal takut akan adat istiadat, tak kenal tata aturan dan hukum, dan
karenanya, di mata orang yang tinggal dalam lindungan peraturan-peraturan dan
sistem-sistem ini dan menjadi makmur karena keuntungan dan keamanan ―terkenal
jahat, tidak peduli, dan berakhlak buruk! Karena akhlak atau etika di sini
berarti mengikuti adat istiadat, menaati hukum-hukum, yang semuanya melindungi
tembok-tembok yang meliputi eksklusivitas dan hak-hak istimewa: kebenaran dan
hak-hak, tata tertib dan keamanan, dan semua ini demikian adanya, supaya orang
ini dapat makan enak dan bersenang-senang sebagai kepala pada pesta-pesta mewah
dikitari sekelompok orang-orang lapar.
Ghifar, suku yang tekenal jahat, bandit-bandit! Para perampok barang-barang dan budak-budak kafilah dagang, ugal-ugalan, yang bahkan tidak menghormati keempat bulan suci. Mereka juga menganggu keamanan yang menguasai semenanjung itu. Ketika para kafilah dagang ―yang bergerak antara Roma, Makkah dan Iran, di bawah perlindungan agama sepanjang bulan-bulan ziarah ini― melintasi tempat yang berbahaya Rabadzah, mereka sekali lagi melihat orang Ghifar, dengan pedang di atas kepala, meluncur menyerang mereka dari tempat hadangan. Rakyat Ghifar, orang-orang miskin, pendosa, jahat, alih-alih menadahkan tangan bak mangkuk pengemis kepada kafilah-kafilah dagang, mereka memberikan pedangnya kepada para majikan itu!
Putra Junadah adalah salah
seorang dari mereka, dan inilah sebabnya mengapa kemudian ketika ia telah
menjadi Abu Dzar, “Ia bingung memikirkan seorang lapar yang tidak mempunyai
roti di rumahnya, tetapi tidak bangkit, menghunus pedang dan memberontak.”
Jundan putra Junadah, seperti setiap pria dari suku Ghifar, mengetahui bahwa
dalam suatu sistem tirani, setiap hukum dan peraturan, adat dan etika, tata
tertib dan keamanan, adalah pelindung tirani, dan menaatinya adalah kejahilan.
Namun ia mengambil suatu langkah ―maju lebih jauh dari siapa pun lainnya― ia
mengetahui bahwa di sini agama yang berkuasa mempunyai peranan yang sama, dan
menaatinya adalah kufur.
Dan berhala? Apakah itu?
Pada suatu malam, ketika suku itu pergi berziarah ke Manat ―berhala suku
Ghifar― dan dengan hasrat, bahagia, gairah dan semangat, berdoa, memuja,
bersumpah dan memohon, menghasratkan hujan untuk menyelamatkan mereka dari
kelaparan dan kekeringan yang mengancamkan maut kepada suku Ghifar, ia, dalam
kedalaman keyakinannya, merasakan api suci keraguan.
Api kearifan ini
dinyalakan selanjutnya dalam angin sepoi renungan dan pertimbangan yang
mendalam dan menerus ketika suku itu jatuh tidur; ketenangan yang misterius
menguasai lingkungan Manat, di padang gurun, malam dan langit; ia bangkit
dengan diam-diam, memungut sebongkah batu, dengan ketidakpastian dan
terombang-ambing antara keraguan dan keyakinan, ia maju; untuk sejenak ia
terpaku memandang kedua mata dewa zamannya. Ia tidak mendapatkan sesuatu,
kecuali dua biji mata yang tidak melihat; dengan segala kemarahan dan
kebenciannya, ia melempar berhala itu, yang diukir oleh kejahilan dan tirani,
dengan batin itu.
Bunyi batu yang menghantam
batu, dan...kemudian tidak ada apa-apa.
Kembali dalam keselamatan
kepada Yang Mutlak, setelah terbebas dan rantai, ikatan dan belenggu yang
seakan-akan telah melilit jiwanya selama berabad-abad, ia tiba-tiba merasakan
bahwa ia, sendirian dan tak dikenal telah meninggalkan suatu lobang yang dalam
dan gua yang sempit lagi gelap, di mana ia telah dipenjarakan sejak awal
penciptaan. Ia melihat ke padang gurun, suatu rentangan luas yang tidak
bertepian; sampai ke batas cakrawala, jauh, luas, dan angin! penuh kemuliaan,
indah, dalam dan misterius... seakan-akan ia melihat, dan baru dapat melihatnya,
untuk pertama kalinya.
Melalui keyakinan dan
kepastian, ia telah mencapai kebebasan dan kelegaan. Sedikit demi sedikit,
kuncup-kuncup baru iman dan kepastian, tetapi jelas, luas, dalam, sadar, apa
yang dipilihnya sendiri telah merekah!
Di bawah hujan pikiran
yang tidak putus-putusnya bertambah deras, ia merasakan bahwa sumber-sumber air
terbuka baginya dalam gurun batin yang gelap, kering dahaga, dan sekarang, suara
‘derap air!’ dan setiap saat makin lama makin cepat, meninggi dan terus semakin
tinggi dan menempati seluruh batinnya; ia dipenuhinya. Dalam pembakaran yang
perih dan kecemasan yang pedih dan suatu kelahiran, sendirian di dunia, hanya
suatu bayangan di padang pasir, di tengah malam, di bawah langit gurun yang
menyaksikan, seluruh wujudnya dialamatkan kepada ‘Dia!’, ia tiba-tiba
tersungkur ke pasir, kepalanya sujud di atas bumi. Dan suara kegelisahan,
sentimen-sentimen lama terlepas ―menangis.
Inilah sembahyang Abu Dzar
yang pertama.
“Tiga tahun sebelum saya
bertemu dengan Nabi Allah, saya menyembah Allah.”
“Ke arah mana engkau
menghadap?”
“Ke arah di mana Dia
menyadarkan saya akan Diri-Nya.” Tiga tahun kemudian ia mendengar bahwa seorang
laki-laki telah muncul di Makkah, yang mencela agama penduduk, yang menamakan
barang-barang suci dari penduduk itu “palsu”; yang menamakan segala berhala
besar di Ka’bah “batu-batu bisu dan bebal”; yang telah menempatkan Allah Yang
Esa mengatasi segala yang dipertaruhkan.
Para musafir dan pelancong
suku Ghifar menerima kabar ini seakan-akan suatu tragedi bagi agama dan etika
Arab. Mereka berbicara tentang dia dengan kata-kata yang dipenuhi ejekan dan
rasa tidak senang. Tetapi, Jundab, di tengah-tengah mereka, mendapatkan kembali
dirinya yang telah hilang. Ia tahu bahwa apa pun yang dikutuk, dikatakan oleh
para pemuja fosil ―yang telah menempelkan kecemaran syirik dan
takhayul-takhayul jahil kepada Ibrahim, si penghancur berhala― yang ditafsirkan
sebagai penyebab perpecahan dalam masyarakat, kelesuan kepercayaan,
penyelewengan pikiran para pemuda, kelancangan rakyat jelata, goncangan
terhadap basis moralitas dan keimanan, penyebab dari pesimisme dan keterpisahan
antara seorang remaja putra dan putri dengan ibu dan ayahnya, sebab dari ejekan
terhadap bangsawan, para muliawan dan tokoh-tokoh keagamaan, lenyapnya
penghormatan terhadap para leluhur, keotentikan mitos-mitos dan adat istiadat
lama dari nenek moyang dan datuk kakek dan... semuanya adalah isyarat-isyarat yang
jelas akan suatu revolusi penyelamatan dan tanda-tanda yang kukuh akan
kebenaran Ilahi.
Dan Jundab ―yang berasal
dan kalangan jiwa-jiwa revolusioner yang bergelora, yang tidak menjadi kaku membatu
dalam adonan sempit tradisi-tradisi sosial dan keturunan, tidak ketinggalan
dari gerakan, kreatifitas, kemampuan untuk berubah, transformasi dan kemampuan
untuk memilih― merasakan bahwa ada sesuatu di udara; inilah tepatnya apa yang
dicari-cari oleh rohaninya yang tidak terpelajar dan oleh pikirannya yang telah
bebas dalam kesunyian gurun pasir, dalam kesepian batinnya.
Ia tidak diam mendengar
‘berita’ ini. Tanggung jawab mewajibkan dia mulai mencari, dan bukan untuk
mendasarkan keyakinan dan penilaiannya atas desas-desus, propaganda,
kebohongan, fitnah-fitnah dan pemalsuan yang beruntun, yang dibangun oleh kaum
elite yang hanya mementingkan diri sendiri dan disiarkan oleh penduduk yang
telah merosot; ia sendiri harus bangkit dan menyelidik, karena penilaian
seseorang adalah tanda yang paling dapat dimengerti dari kepribadiannya.
Barangsiapa memberi penilaian terhadap seseorang, sesuatu pikiran, sesuatu
tindakan, sesuatu gerakan dan terhadap setiap realitas, mendasarkannya pada apa
yang telah dikatakan orang ― dan sumber dari semua pemikiran dan penilaian
mereka ialah ‘Si Anu dan Fulan mengatakan...’ ― sebelum mereka secara jahil dan
tidak adil mengutuk sesuatu kebenaran, mereka adalah orang-orang tertindas yang
telah mengutuk dirinya sendiri ke dalam jeratan perbudakan intelektual dari
kekuatan-kekuatan zamannya, para majikan pembuat takhayul dan sarana propaganda
mereka yang nyata dan tersembunyi ― mereka telah menunjukkan dirinya sebagai
para pembuat desas-desus, fitnah dan kebohongan-kebohongan, yang impoten, yang
telah diberikan tugas khusus oleh musuh, struktur-struktur munafik; si
penghasut menyebarkan dan rakyat menerima!
Namun, putra Junadah
mengutus saudara lelakinya, Anis, ke Makkah, untuk melihat dari dekat si pria ―
yang dikutuk sebagai pembohong, gila, penyihir, penyair dan kafir, yang kata
mereka telah datang untuk mencemarkan kehormatan rumah Tuhan, mengubah kesatuan
masyarakat menjadi pembentrokan dan perpecahan, serta solidaritas keluarga
menjadi perselisihan dan permusuhan ― memperhatikan kata-katanya, menangkap
pesannya dan memberikan laporan kepadanya.
Anis datang ke Makkah. Ia
tidak menemukan laki-laki itu. Tiada seorang pun menunjukkan kepadanya, orang
asing yang tidak bernama, dan tidak bertempat ini. Dengan putus asa ia mencari
di seluruh kota. Ia tidak mendengar sesuatu selain caci maki, ejekan, sikap
tidak suka dan kebencian, terhadap laki-laki ini. Setiap tempat ― masjid, pasar
― dan orang, terutama “orang-orang yang terhormat”, “tokoh-tokoh ternama”,
“gembong-gembong keagamaan dan dunia”, dan juga, pada khususnya “para pemuja
yang beriman dan orang-orang yang berprasangka religius”, “orang-orang yang
percaya akan tradisi-tradisi Ibrahim dan rumah Ibrahim!” mengulangi kata-kata
dan desas desus yang senada tentang dia, yang mencapai tingkat jalinan yang
beruntun:
“Ia gila, ia ahli sihir.
Godaan kata-katanya bukanlah gaya tarik dari wahyu; itu sihir, itu bukan
keindahan dari kebenaran, itu syair; ia tidak menerima kata-katanya dari
Jibril; kata-katanya bukan pula kata-katanya sendiri; seorang ulama asing
mengatakan apa yang harus dikatakannya, ia mendapatkannya dari seorang rahib
Kristen, seorang cendekiawan Iran; ia adalah malapetaka yang menimpa umat
Ibrahim; ia memorak-porandakan kehormatan masjid, kesucian Rumah Tuhan, tradisi
ziarah ke Ka’bah, pemuja dewa-etika, penghormatan atas keluarga, serta semua
kehormatan dan nilai-nilai dari nenek moyang kita.”
Tiba-tiba, serentak, di
salah satu dari lorong-lorong sempit Makkah, ia melihat sekumpulan besar orang
sedang berkerumun di suatu sudut. Ia ke sana: seorang pria sendirian, berwajah
cerah, dengan pandangan yang membangunkan kedalaman jiwanya, alis yang terbuka
dan tenang, sosok tubuh yang berukuran sedang, bentuk agresif, dan dalam pada
itu, keramahan dan kasih sayang yang memberi inspirasi; dengan suara jantan,
tegas dan pasti, dan, pada saat yang sama, manis dan penuh kehalusan; dengan
kata-kata yang mendalam, nada yang menyedapkan dan lebih indah dari seni syair,
penuh takwa dan harapan. Anis berdiri di hadapannya. Ia tidak tahu: apakah akan
mendengarkan kata-katanya, memberikan hatinya kepada karismanya, atau sekadar
memperhatikan segala keindahan dan keramahan posturnya, pandangannya, perilakunya
atau kata-katanya?
Ia masih dalam kebingungan
melihat pria ini, ketika sekelompok laki-laki membuat huru-hara. Tanpa
memperhatikan kata-katanya dan mendengarkan jawabannya, mereka menciptakan
banjir caci maki dan fitnah yang diulang-ulang, yang telah dipersiapkan
sebelumnya, ke arah kepala dan wajahnya; dan, kejahilan dari orang-orang tidak
berprasangka yang tidak mempunyai apa-apa sehingga tidak akan kehilangan
apa-apa dalam “penerangan risalah” itu; dan “revolusi dari misi itu”, yang
mereka sendiri terkutuk oleh sistem kekuasaan dan pengorbanan-pengorbanan dari
status quo itu, telah membuat mereka menjadi boneka-boneka dari tirani dan
terperangkap oleh penjara-penjara mereka sendiri, massa rakyat, dengan
kegairahan yang jelek dan pembiusan, memekikkan apa yang telah dimasukkan oleh
orang-orang yang berperasangka ke dalam mulut mereka.
Mereka mendorong “rasul
yang sendirian” itu dengan kemarahan atau keberangan, atau mereka menarik diri
darinya dengan caci maki dan ejekan, dan meninggalkannya sendirian. Karena ia
memiliki ketabahan dan ketenangan surgawi serta neraca kesabaran, dan kekukuhan
bak gunung ― karena ia telah turun dari Hira’ dan telah membawa risalah ilahi ―
maka pukulan kemarahan dan gelapnya kejahilan tidak mempengaruhi, tidak
meninggalkan garis kemarahan pada wajahnya yang berlimpah-limpah dengan
keramahan dan kasih sayang. Ia bergegas ke suatu tempat lain dan, di tengah
suatu kelompok lain, kata-katanya mulai lagi, sekali lagi, setelah orang
menutup kuping dan otak, caci maki dan tuduhan fitnahan dan ejekan, lagi ia ke
tempat-tempat lain, dan sekali lagi, memulai kata-katanya!
Ia berkelana di sepanjang
wilayah kota itu, di jalan dan pasar, tempat berkumpul dan masjid; ia pergi ke
mana-mana mencari manusia. Ia berdiri di sepanjang jalan orang, dan tanpa
memikirkan jawaban-jawaban memberi ketakutan kepada mereka, memberikan kabar
gembira kepada mereka, memperingatkan mereka akan suatu bahaya, menunjukkan
kepada mereka jalan keselamatan, karena ia mengemban suatu pesan, karena ia
mengemban suatu misi, bahwa Allah ‘Sahabat orang-orang terhormat’ dan ‘Musuh orang-orang
yang sombong’, telah berseru kepadanya, “Hai orang yang berselimut! Bangunlah,
dan berilah peringatan!” Peringatkanlah orang-orang yang terlena dalam
ketenangan jahiliah dan keamanan tirani, yang membuat srigala menjadi gembala
pengusap kemiskinan dan kehinaan! Wahai, gembala yang ditunjuk! Bebaskan
biri-biri itu dari gurun pasir Qarar, karena di kota Tuhan, manusia menjadi
gembala! Tuhannya Ibrahim membuat seluruh malaikat bersujud ke bumi di hadapan
kaki Adam, dan sekarang, di rumah Ibrahim, anak-anak Adam dibuat bersujud di
muka bumi, di hadapan kaki fosil-fosil Iblis pelindung suku dan golongan.
Walaupun adanya badai
fitnah, persekongkolan, ancaman dan ejekan yang ditimbulkan oleh para
aristokrat nista serta sekutu-sekutu bebal untuk membungkamkannya, membuatnya
diam, ia tetap bicara, ‘Tuhan kaum mustadh’afin, kaum tertindas, telah
mengatakan, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas
di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka para pewaris.”
Anis melihat kepada pria
ini, mengikuti dia, mendengarkan kata-katanya dan memikirkan tentang
kehidupannya, kehidupan yang membingungkan dan menakjubkan, namun
keajaiban-keajaiban dari wujud pria itu sendiri, daya tarik dari kehadirannya,
karisma perilaku dan keindahannya begitu memukau dan menawan dia, sehingga ia
lebih menjadi penonton pria ini ketimbang sebagai pendengar.
Segala keramahan dalam
segala kesulitan ini, segala keindahan dalam segala kekukuhan ini, segala
ketegasan dalam segala kecemasan ini; segala pengabdian dalam segala
pemberontakan ini, segala ketekunan dalam segala kepedihan ini, segala kekuatan
dari segala kelemahan ini, segala yang memalukan dalam segala keberanian ini,
segala ketenangan dalam segala keresahan ini, segala kesabaran dalam segala
ketidaksabaran ini, segala kerendahan dalam segala yang mencengangkan ini,
segala-gala dari cinta, ilham, dan emosi, keindahan dan kejutan perasaan dan
hati dalam segala kebijakan, logika, kewaspadaan, kesungguhan, kepahlawanan dan
kecerdasan, dan akhirnya, dengan segala ‘yang samawi’ dan segala yang ‘nampak
sebagai duniawi’; segala peribadatan kepada Tuhan ini, dan apa yang dapat saya
katakan? Segala sikap agresif dan kepastian dan segala ini... dan ia sendirian.
Keajaiban seorang pria
ini, melemparkan hingar bingar dan jeritan ke dalam diri Anis. Sehingga ia
tidak mendengarkan kata-katanya dan keajaiban nada suaranya menyebabkan rasa
takjub muncul dalam dirinya ― karena ia sedang mendengarkan Kata-Kata Tuhan
untuk pertama kalinya ―sehingga ia tidak mampu memahami artinya; Anis ― saudara
Jundab ― adalah seorang badui muda, ‘tidak mengetahui’ apa yang yang dikatakan
pria itu, namun melalui nalurinya yang kuat, melalui watak fitriah yang jelas
dari ‘rohani badui’, ‘pribadi fitriah’ di mana ‘logika’ belum pernah
menggantikan ‘kesadaran’, ia mendapatkan bahwa pria itu adalah suatu ‘event’.
Ia menyadari, melalui indera perasaannya, bahwa kata-kata ini datang dari suatu
dunia lain, ia tidak memahami kebenaran itu, ia tidak mengerti arti dari
kata-kata itu, ia tidak sampai mengenal pria itu, namun ia mencium wanginya
wahyu, merasakan selera kebenaran dan merasakan kehangatan iman yang tak
terlukiskan.
Dan Abu Dzar, resah di
gurun pasir, dengan cemas menanti di jalan ke Arab Makkah. “Anis, saudaraku,
apakah engkau melihatnya? Adakah engkau mendengarkan kata-katanya? Apa yang
dikatakannya? Siapakah ia?” “Ia seorang laki-laki yang sendirian. Sukunya
menyusahkan dia, dan menunjukkan permusuhan, tetapi ia sabar dan ramah; apabila
suatu kerumunan manusia menolak dia atau meninggalkan dia dengan caci maki dan
ejekan, ia berpindah ke kelompok lain dan mulai bicara lagi.”
“Katakan kepada saya,
Anis! Katakan apa yang dikatakannya! Untuk apa dia mengajak manusia?” “Saya
bersumpah demi Tuhan, betapa pun saya berusaha untuk memahami apa yang
dikatakannya, saya tidak mengerti, tetap kata-katanya bagaikan penawar yang
sangat lezat dan lari masuk menembus jiwa saya!”
Abu Dzar, dalam mencari
pesan itu, tidak mempunyai rasa ingin tahu sebagai seorang ilmuwan atau untuk
hiburan intelektual. Ia gelisah dan haus, dan Anis bahkan tidak membawa setetes
air pun baginya dari sumber. Ia bergegas bangkit, dan tanpa duduk sejenak untuk
merenungkan mengapa dan untuk apa perjalanan itu serta akibatnya, ia menempuh
perjalanan panjang dari tanah suku Ghifar ke Makkah. Sepanjang jalan, musafir
itu, perjalanan itu, jalan dari perjalanan itu, dan tujuan yang terakhir,
semuanya adalah ‘ia’.
Ia pergi dan iman pun
datang. Ya, keimanan datang padanya. Lalu ia sampai di Makkah. Seorang
laki-laki dari suku Ghifar di tengah-tengah para pemimpin kafilah Quraisy, dan
para kapitalis! Ia mencari seorang laki-laki, yang menyebutkan namanya saja
sudah merupakan kejahatan di kota ini. Ia mencari sepanjang hari di
lorong-lorong kota Makkah, pasar dan Masjid al-Haram. Ia tidak mendapatkan apa
pun. Ia pergi tidur di Masjid al-Haram, sendirian dan kelaparan, ketika Ali,
yang setiap malam, sebelum pulang ke rumah, datang ke masjid itu dan melakukan
tawaf ― sesuai dengan tradisi Ibrahim ― dan kemudian ke rumah, melihat Abu Dzar
sedang sendirian, tertidur di atas debu.
“Anda nampaknya seperti
orang asing!”
Ali lalu membawa Abu Dzar
ke rumahnya. Tanpa saling berbicara, Abu Dzar tidur di sana. Gagasan apa yang
direncanakan takdir?! Rumah ini, ini rumah Nabi, karena Ali, pada masa itu,
adalah seorang laki-laki yang masih muda usia, yang tinggal di rumah Nabi.
Peristiwa-peristiwa permulaan dalam perjalanan ini, yang menentukan nasib Abu
Dzar dan dia, untuk pertama kalinya, datang dari gurun kepada Islam, inilah:
orang pertama yang berbicara dengan dia di Makkah ialah Ali; rumah yang pertama
di mana ia tidur ialah rumah Muhammad; orang pertama yang membawa dia dari
keterasingan dan keterpencilan di kota itu ke rumah Muhammad, adalah Ali. Dan
pertemuan-perteman serta peristiwa-peristiwa pertama ini yang memberikan bentuk
kepada seluruh kehidupan Abu Dzar dan tinggal tetap bersama wujudnya sampai
pada ajalnya.
Besok paginya, dalam mencari Muhammad, ia meninggalkan rumah Muhammad. Hari itu, tanpa hasil. Pada malam hari, sekali lagi, Ali yang datang untuk bertawaf, membawanya ke rumah, dan lagi, pagi berikutnya dan malam berikutnya, dan sekali ini ― pada malam ketiga ― Ali menambahkan sepatah kata kepada pertanyaan pendek yang diulang-ulang pada setiap malam, Apakah belum tiba saatnya bagi Anda untuk memberikan nama Anda dan mengatakan mengapa Anda datang ke kota ini?”
Abu Dzar, dengan
hati-hati, mengatakan rahasianya kepada Ali, “Saya mendengar bahwa di kota ini
telah muncul seseorang dan...”
Seberkas senyum, dari rasa
gairah dan bahagia, memancar dari wajah Ali yang muda. Dalam nada yang penuh
keramahan dan keakraban, ia berbicara kepadanya tentang Muhammad. Ia mengatur
pertemuan bersamanya, “Malam ini saya akan membawa Anda ke tempat persembunyiannya.
Saya berjalan lebih dahulu. Anda mengikuti dari jauh. Apabila saya melihat
mata-mata, saya akan ke dinding dan membungkuk ke sepatu saya seakan-akan
hendak mengikatnya. Anda berjalanlah meneruskan perjalanan Anda. Apabila bahaya
telah berlalu, saya akan menyusul Anda.”
Inilah hari-hari Nabi yang
sulit. Kota itu sepenuhnya merupakan ancaman dan bahaya. Musuh, satu front, dan
para sahabat ― hanya tiga orang! Dan pada malam ini, Islam akan mendapatkan
Muslim yang keempat.
Muhammad saw berada di
rumah Arqam bin Abi Arqam di bukit Safa, beberapa langkah dari Masa’. Dalam
kegelapan malam yang menakutkan, remaja putra Abi Thalib di depan dan putra
Junadah Ghifari di belakangnya, mereka mendaki Safa, menuju Muhammad. Malam ini
tampaknya seperti suatu pemandangan yang indah meliputi takdir mereka, suatu
nasib yang segera akan dimulai. Selangkah demi selangkah, ia tumbuh makin
akrab, dan pembakaran, nafas demi nafas, makin resah; iman dan keyakinan telah
menaklukkannya. Ia tidak akan pergi sebelum melihat si pria yang mengaku Nabi
itu, mengenalinya dan menguji dia. Ia mengemban janji untuk melihat kecintaan
hatinya dan hasrat imannya. Sekarang ia hanya beberapa langkah dari rumah
Arqam. Betapa sulit saat-saat ini! Menanggung saat-saat pertama dari kunjungan
ini terasa seram. Cinta telah menawan Jundab. Putra Junadah telah dipenuhi
dengan ‘dia’. Lebih banyak Muhammad berada dalam dirinya ketimbang dirinya
sendiri. Putra Junadah bagai tertinggal di kejauhan dan terlupa dari ingatan
pikiran Jundab. Hatinya telah terpaut pada bidang magnet yang bertenaga tinggi.
Setiap detik, aroma yang akrab menghidupkan indera penciumannya, dan tepat pada
detik ini, ia merasakan gaya tarik eksistensi Muhammad dengan seluruh wujudnya.
Kehadirannya memenuhi area di sekitar Safa. Jundab tahu siapa Muhammad itu. Ia
tahu apa yang dikatakannya... namun seperti apakah dia! Wajahnya? Bentuknya?
Caranya berbicara? Kehidupannya? Apakah yang dapat dikatakannya kepadanya? Akan
ada apa? Apa yang akan terjadi?
“Salam ‘alaik.” “Alaika
salam wa rahmatullah.”
Dan, inilah salam yang
pertama yang dilakukan dalam Islam. Kita tidak tahu berapa lamanya kunjungan
ini. Sekalipun umpamanya sejarah telah mengatakan kepada kita, kita pun tidak juga
akan tahu, karena pada detik-detik ini, waktu tidak berarti. Yang kita ketahui
ialah bahwa putra Junadah masuk ke dalam rumah Arqam dan hilang di sana. Tiada
seorang pun yang tahu ke mana ia pergi. Ia tidak pernah meninggalkan rumah
Arqam. Jundab bin Junadah pergi, dan tiba-tiba, di samping Ka’bah, di puncak
Safa, dari tempat persembunyian wahyu, cakrawala pagi Islam, bangkit suatu
wajah, bersuluh fajar, berhenti sejenak. Dengan dua biji mata yang dipenuhi
nyala api padang pasir, ia bergegas berpaling ke atas tembok yang membukit di
lembah Makkah, dan melihat ke arah berhala-berhala di Ka’bah.
Patung-patung tolol itu
seluruhnya telah menjamin pencarian syaitani akan keekslusifan dari
‘pemuja-pengukir’ mereka. Inilah saat pertama Abu Dzar melihat seperti itu, dan
dengan rasa takjub dan marah, bertanya kepada dirinya, “Apakah yang sedang
dilakukan oleh tiga ratus sekian berhala syirik di rumah tauhid Ibrahim?”
Ia bergegas turun dari
Safa, seorang musafir, sendirian, terbakar dan penuh tekad. Nampak seakan-akan
ia adalah Muhammad yang terbakar malam itu, bangkit dari api wahyu yang pertama
meninggalkan gua itu, turun dari Hira; atau, ia laksana sebongkah batu yang
digilas oleh gempa bumi, dari sebuah bukit, jatuh ke lembah Makkah yang dalam,
ke atas kepala-kepala syirik, kemunafikan, dan kehinaan.
Islam masih tersembunyi di
rumah Arqam. Rumah ini merupakan seluruh dunia Islam dan Ummah, yang dengan
datangnya Abu Dzar, menjadi empat orang. Suasana taqiyyah menguasai perjuangan itu. Ia telah diminta meninggalkan
Makkah, tanpa ragu- ragu, untuk kembali ke Ghifar dan menunggu perintah. Tetapi
dada bertulang dari putra gurun ini lebih lemah dari kemampuan menyembunyikan
api itu dalam dirinya. Abu Dzar ― yang bertubuh tinggi semampai itu, adalah
menara dari rumah suci keimanannya, yang tidak lain dari corong suara pekikan,
dan bentuknya dengan hatinya yang bernyala-nyala dan dalam penyerahan kepada
gurun pasir luas, nampak seakan-akan penuh pemberontakan, tiba-tiba mengental
dan menjadi Abu Dzar ― tidak mampu
bertaqiyyah; ia adalah pemberontakan itu sendiri ― situasi semacam itu
menuntut kemampuan dan ia tidak mampu. “Allah tidak membebani seseorang,
melainkan sesuai dengan kemampuannya.”
Di depan Ka’bah, di
hadapan berhala-berhala yang mengerikan, di samping Dar Al-Najua (Nadwa), senat
Quraisy, ia bediri dan meneriakkan pekikan tauhid, ia menyerukan kepercayaannya
akan misi Muhammad; ia menamakan berhala-berhala itu ‘batu-batu bisu yang telah
mereka ukir sendiri’. Dan ini seruan pertama yang telah dibawa Islam; untuk
pertama kalinya, seorang Muslim memberontak terhadap syirik. Jawaban dari
syirik sudah jelas, maut! Kematian yang akan menjadi pelajaran syirik sudah
jelas, maut! Kematian yang akan menjadi pelajaran bagi yang lain-lainnya.
Tenggorokan pertama dari pekikan ini harus digorok sampai putus. Tanpa
ragu-ragu, mereka menyerbunya, memukul kepalanya, mukanya, dadanya dan
pinggangnya, sampai mereka memutuskan pekikan-pekikannya yang ‘seperti kafir’
ini.
Abbas tiba. Paman Nabi
itu, yang pada waktu itu adalah pengumpul bunga uang dan segolongan dengan para
aristokrat Quraisy serta kapitalis musyrikin, menakuti mereka dengan
mengatakan, “orang ini dari Ghifar. Apabila kamu membunuh dia, maka
pedang-pedang Ghifar akan menuntut balasnya terhadap kafilah dagangmu!” Mereka
harus membuat keputusan antara agamanya atau dunianya, tuhan atau barang?
Kiblat cinta atau kafilah uang. Yang mana?
Mereka mundur tanpa ragu-ragu. Abu Dzar, seperti suatu patung, tercemar darah dan patuh, di tengah lingkaran suatu gerombolan ketakutan yang hanya melihat kepada tawanannya; dengan kesulitan, ia berusaha bangkit. Garis menengah lingkaran itu makin membesar. Ia bangkit, menopang dirinya pada kedua kakinya sendiri. Kerumunan itu makin padat; seakan-akan mereka mencari perlindungan antara satu sama lainnya. Di sinilah jalan kekerasan takut akan keimanan. Ia adalah satu wajah, dan mereka tidak berwajah, tidak berkepribadian, semua sendirian, semua tanpa identitas, ternak yang berlimpah-limpah; dan yang sedang menghadapi mereka, seorang manusia, satu pribadi-pribadi yang oleh iman telah diberi makna, isi, ideal-ideal, orientasi, serangan dan kekuatan yang menakjubkan, laksana mukjizat, tidak terkalahkan, yang telah dianugerahkan oleh syahadah kepada seorang mukmin.
Ia pergi. Ia membawa
dirinya ke sumur zamzam. Ia membasuh luka-lukanya. Ia membersihkan bekas-bekas
darahnya. Besoknya ia kembali ke gelanggang itu, sekai lagi ia menuju ke tepian
maut. Abbas datang dan memperkenalkannya, “Ia dari suku Ghifar...”, dan sekali
lagi, begitu pun esok harinya.
Sampai Nabi, sekali ini
bukan untuk menyelamatkan nyawa Abu Dzar tetapi dengan suatu perintah,
menggerakkan si pemberontak yang resah ini dari kota penindasan dan bahaya, dan
memberikan kepadanya tugas untuk berdakwah kepada suku Ghifar.
Abu Dzar membawa seluruh
keluarganya masuk Islam, dan, sedikit demi sedikit, seluruh sukunya masuk
Islam. Ia sedang bersama-sama suku Ghifar ketika kaum Muslimin melewati
kesulitan-kesulitan perjuangan di Makkah, ketika mereka berhijrah, dan di
Madinah, ketika mereka bergerak dari tahap individualisasi ke tahap pembentukan
sistem kemasyarakatan, dan sebagai akibatnya, peperangan pun dimulai.
Di sinilah Abu Dzar merasa
bahwa ia barus berada di gelanggang; ia pergi ke Madinah, dan di sana, karena
tidak mempunyai tempat atau pekerjaan, ia menjadikan Masjid Nabi sebagai
rumahnya ― yang pada waktu itu adalah rumah manusia, dan bergabung dengan para
sahabat Ahlu Shuffah. Ia mengorbankan kehidupan, demi akidah. Dalam melayani
gerakan itu ―pada masa damai ― pikiran, pengetahuan dan sembahyang. Dan ―dalam
masa peperangan ― pertempuran jasmani.
Islam, di bawah pimpinan
Nabi, memuaskan segala kebutuhan manusiawi dan hasrat-hasrat sosial Abu Dzar;
Islam, berdasarkan tauhid, membuka gerbang perjuangan. Di satu pihak adalah
Tuhan, persamaan, agama, roti, cinta dan kekuatan, dan, pada pihak lain,
kesombongan, tiran yang despotis, diskriminasi, kufur, kelaparan, dan, agamanya
yang menuntut kelemahan dan kehinaan. Islam, untuk pertama kalinya, mengakhiri dongengan
dari para penindas perampok yang telah membuat slogan untuk ‘menghendaki dunia
ini atau akhirat’ menjadi kepercayaan rakyat, sehingga ‘dunia yang akan datang’
adalah untuk rakyat, dan dunia ini bagi dirinya sendiri, dan, dengan cara ini,
mereka menganugerahkan kesucian Ilahi kepada kemiskinan.
Dalam persepsi yang tidak manusiawi ini, Islam membawa suatu revolusi yang sesungguhnya menjadi kenyataan yang mengatakan, ‘Kemiskinan itu kufur.’ “Barangsiapa tidak bernafkah, tidak akan terselamatkan.”
Dalam persepsi yang tidak manusiawi ini, Islam membawa suatu revolusi yang sesungguhnya menjadi kenyataan yang mengatakan, ‘Kemiskinan itu kufur.’ “Barangsiapa tidak bernafkah, tidak akan terselamatkan.”
Karunia Allah, kekayaan
yang besar (bagi masyarakat), kebaikan dan kebajikan, adalah bagian dari
kehidupan jasadi, dan ‘roti’ adalah infrastruktur bagi peribadatan kepada
Allah.” “Kemiskinan, kehinaan dan kelemahan, dan dengan semua ini, agama,
kerohanian dan ketakwaan dalam suatu masyarakat?” Itu bohong! Karena inilah
maka Nabinya Abu Dzar adalah seorang Nabi yang bersenjata; tauhidnya bukanlah
falsafah subyektif individual spiritual. Tauhid harus terwujud dengan dukungan
terpadu dari kesatuan ras dan bangsa-bangsa, kesatuan kelas, dan persamaan ―
setiap orang menurut andil dan haknya ― yakni, suprastruktur yang deterministik
dari tauhid tidak akan terwujud hanya dengan kata-kata; pedang harus menyertai
amanat itu.
Karena inilah maka Abu
Dzar membebaskan kehidupan pribadi jasadinya ― karena orang yang memerangi
kelaparan harus menanggung laparnya sendiri, dan lapar itu dapat memberikan
kebebasan kepada masyarakatnya yang telah mengalami pembebasannya sendiri ― dan
menyerukan ‘peribadatan revolusioner’ yang merupakan kecermatan Islami dan
kecermatan Ali, sehingga rakyat akan dipersiapkan dengan kebutuhan material dan
persamaan ekonomik, bukan kecermatan mistik ala Kristen atau ala Budha.
Seperti inilah maka agama
revolusioner ini, agama ‘dunia maupun akhirat’, agama yang bukan kelemahan dan
bukan kebiharaan, bukan deprivasi dan bukan pemencilan dan alam dan ‘kecanduan
Hari Terakhir’ dari makhluk manusia dalam alam, adalah agama ‘yang membuat
manusia menjadi suci di dalam alam’, ‘khalifah Allah’ di bumi yang jasadi.
Pemimpinnya, dan sebelum segala sesuatu, Nabinya, sedang hidup di masjid Tuhan
dan di tengah manusia: Muhammad, Ali dan para Sahabat Shuffah: para Salman dan
para Abu Dzar.
Abu Dzar sendiri dapat
ditemui di serambi berpelindung (shuffah) di sudut masjid pada ketinggian
sukses; ia telah menjadi salah satu dari sahabat akrab Nabi. Apabila ia tidak
tampak dalam satu kelompok, Nabi akan menanyakannya; apabila ia ada dalam
kelompok, beliau akan berpaling kepadanya di tengah-tengah pembicaraan. Di bawah
pimpinan Nabi, dalam Perang Tabuk, ketika pasukan dalam kesulitan, melintasi
gurun pasir utara yang membakar, untuk mencapai perbatasan (timur) empirium
Romawi, Abu Dzar tercecer. Untanya yang kurus terhenti. Ia memerdekakan unta
itu di bawah panggangan mentari dan meneruskan pejalanan seorang diri! Ia
mendapatkan air; ia mengambil air itu untuk diberikan kepada ‘sahabatnya’ yang
juga pasti sedang menderita kehausan di padang pasir seperti itu.
Nabi dan para mujahidin
melihat bahwa ada suatu titik yang tidak jelas sedang bergerak maju pada
kedalaman gurun pasir yang ganas itu. Sedikit demi sedikit, mereka menyadari
bahwa itu seorang manusia! Siapakah itu? Berjalan kaki di gurun yang membakar
semacam itu, sendirian? Nabi, dengan kegairahan yang berlimpah dengan hasrat,
berseru, “Semoga itu Abu Dzar!” Satu jam berlalu. Itu memang Abu Dzar. Ketika
ia sampai kepada mujahidin itu, ia jatuh karena kehausan dan kelelahan.
“Anda membawa air, dan kehausan,
Abu Dzar?” tanya Nabi. “Saya pikir, di gurun seperti ini, dan di bawah terik
matahari seperti ini, Engkau...” “Semoga Allah memberkati Abu Dzar! Ia berjalan
sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian!” sabda Nabi.
Sumber: Dr. Ali Syari’ati, Abu Dzar, Muthahhari
Paperbacks, April 2001 M/Muharram 1422 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar