“Seorang pendeta yang
bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di
Suriah (Bostra). Tiba-tiba ia memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti
biasanya—yang menghiasi langit yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga
munculnya awan tersebut sangat mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang
tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu
menyerupai burung yang putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah
utara. Buhaira memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah”
Muhammad saw al Mustafa
adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka beliau bekerja
sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi yang
lain. Kemudian beliau melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya, Abu
Thalib, menuju Syam saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan
keadaan umat-umat yang lain. Pada saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi
suatu peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah
kebingungannya. Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela rumah
yang menjadi tempat peribadatannya di Suriah (Bostra). Tiba-tiba ia
memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasi langit
yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut
sangat mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini
tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung yang putih yang
menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahwa
awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung Buhaira berdebar
dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku peninggalan kaum Masehi
(Nashrani) yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia setelah Isa.
Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno yang disimpan
Buhaira. Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan
untuk menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk
menemui kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah
seorang mereka berkata dengan nada bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata dan
'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan
demikian kepada kami, padahal kami telah melewati dan singgah di tempat ini
lebih dari sekali. Ada peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab:
"Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang tersebut tidak
dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan tidak
menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira memberi
makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang
memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang
seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya
kepada mereka: "Wahai kaum Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir
bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang
tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya karena ia masih kecil."
Buhaira berkata: "Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia
supaya hadir bersama kami dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki
dari kaum Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami
untuk meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf
karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan
menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad,
sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati tujuannya. Buhaira terpaku
ketika memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka
berpisah.
Muhammad bin Abdillah
duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai anak kecil,
sudikah kiranya engkau memberitahu aku terhadap apa yang aku tanyakan
kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap anak ini terhadap berhala
kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang
Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada
keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin bertanya
kepadamu." Anak kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas
di benakmu."
Buhaira bertanya kepada
anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya,
mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut terjadi jauh dari pantauan
kaum karena mereka tidak akan diam ketika mendengar bahwa Muhammad membenci
berhala-berhala mereka. Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan
Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk
bersama seorang Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa
sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa.
Setelah itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib,
dan Buhaira bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin
ayahnya masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku.
Ayahnya dan ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engkau benar,
kembalilah kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib
bertanya tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu
mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia
berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu berlalulah peristiwa
tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa menggugah kesadaran di
antara mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau
kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada
Muhammad bin Abdillah dan memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya
adalah semata-mata basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika
para tamu memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang
mengundang akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa tersebut
tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat
yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak mengetahui rahasia perkataan
pendeta dan mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar darinya.
Peristiwa itu tersembunyi meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang terjadi
antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta perlu mengingatkan
pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan diembannya seperti yang
diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua ini dengan
kesedihan-kesedihannya yang dalam serta kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sedikit demi sedikit berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya
kafilah tersebut kembali ke Mekkah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia
memperhatikan keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali
penderitaannya, ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya, ia mengabdi kepada
manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari berlalu.
Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan, kasih sayang, dan amanah serta
cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga kejujurannya terkenal
di tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan amanatnya tidak bakal diragukan
oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika beliau datang dengan membawa
risalahnya dan beliau ditentang mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun
yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena sihir
atau kesadarannya telah hilang.
Pada tahun ketiga belas
dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk membunuhnya dan
mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan mereka mengepung rumahnya, maka
di saat situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk berhijrah. Tetapi
sebelumnya beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk
tetap tinggal di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan
oleh semua musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat
menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda dapat
melihat betapa para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga
oleh Muhammad saw.
Hari demi hari berlalu dan
tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu, kesucian dan kejujuran Muhammad saw
semakin meningkat. Dan di tengah lautan keheningan yang mencekam, ketika
Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia harus
menemui hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad
bin Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur dan
Pencipta, Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad dijauhkan dari
suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para pemuda
seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya minuman
keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait syair yang mereka katakan
tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah telah menemukan jati dirinya di
suatu gua yang tenang di gunung yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan
waktunya di dalam keheningan gua tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang
keadaan alam, ia memikirkan keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya
serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua
puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang pertama, yaitu
Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh tahun. Khadijah
adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup harta. Ia berdagang dan suaminya
telah meninggal. Banyak orang yang mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan
kekayaannya. Khadijah mencari seseorang laki-laki yang dapat membawa harta
dagangannya menuju Syam, lalu Khadijah mendengar berita yang cukup banyak
berkenaan dengan kejujuran dan amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah.
Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya.
Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau berusia
dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalanannya di mana beliau kembali
dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang diserahkannya kepada
Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli
kepada kecantikannya, Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang dipegangnya.
Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya,
ia mengutarakan keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun
setuju.
Paman Muhammad saw, Abu
Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat perayaan perkawinannya:
Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan seorang pun dari kaum Quraisy
karena ia adalah seorang yang mulia, baik dari sisi akal maupun ruhani.
Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah naungan yang akan hilang dan
benda yang bersifat sementara.
Setelah menikah, Muhammad
saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk merenung dan
menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang dijalaninya justru
meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di sana sini. Beliau
tidak pernah terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan
materi-materi dunia. Beliau selalu menggunakan akal sehatnya daripada terlibat
dalam kesesatan mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada
saat itu. Kemudian usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah merasakan
kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk menjauh dari
mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT membimbingnya untuk
menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat keluar dari Mekah. Beliau berjalan
beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki dan mendaki. Setiap kali ia mendaki
gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara tampak lembut dan tersingkaplah
hijab, dan pandangan semakin terbentang. Kemudian beliau memasuki gua.
Keheningan menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan tidak ada
sesuatu yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam
suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang
kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di atas
angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak ada sesuatu
pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita tidak mengetahui
pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia termulia dan terbesar di atas
bumi itu saat beliau duduk di gua Hira beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan
dan apa gerangan yang beliau risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan
perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu
yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya
menyahuti tasbihnya yang diam, seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan
bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kita tidak mengetahui
secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam dirinya. Yang kita ketahui
adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang kenabian dan beliau tidak berpikir
untuk memberikan petunjuk kepada manusia, beliau tidak melakukan
praktek-praktek sufisme karena beliau sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus
di tengah-tengah manusia. Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu
beliau meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau
mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula
lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang, tetapi
ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang bersangkutan
menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela manusia dan kehormatannya.
Pada suatu hari beliau
duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan dengan kedatangan Jibril yang
berdiri di depan pintu gua. Malaikat tersebut memeluknya erat-erat lalu
memerintahkannya untuk membaca sambil berkata: "Bacalah!" Muhammad
bin Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu membaca." Beliau ingin
mengatakan bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa
yang harus beliau baca? Malaikat kembali memeluknya dengan kuat sehingga
Rasulullah saw menganggap bahwa ia meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan
memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa
membaca." Malaikat yang mulia kembali memeluknya dan kembali memerintahkan
untuk membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah saw menjawab dengan gemetar: "Apa
yang aku baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan ayat-ayat yang turun
kepada beliau: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS.
al-'Alaq: 1-5)
Setelah peristiwa itu,
Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara tiba-tiba.
Rasulullah saw merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang pernah
dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci di
lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah
pun segera menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan
kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar
dengan keras dan beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah beliau kali ini
berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah mengigau
sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah yang belum pernah
dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena beliau sangat benci
kepada perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau
berkata kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah aku!"
Kemudian isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap
keringat yang berada di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah
beliau yang mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya
kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata:
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia
sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira yang ia
tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang seharusnya tidak
dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatiran dan kegelisahan. Khadijah berkata
dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah, Allah
SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah seorang yang
baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan jujur, dan yang
menghormati tamu."
Meskipun kalimat-kalimat
tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi kegelisahan Rasul saw
juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama beliau ke rumah Waraqah bin
Naufal, yaitu anak dari paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia
mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab
Taurat dan Injil di mana matanya telah buta karena masa tua. Khadijah berkata
kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak saudaramu."
Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?"
Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna. Waraqah
berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu adalah
Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai seorang yang
mengerti, Waraqah bin Naufal mengetahui bahwa ia berada di hadapan seorang Nabi
yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah keheningan sesaat,
Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika kaummu mengeluarkanmu
dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa aku harus diusir
oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada seorang pun yang akan
datang seperti dirimu kecuali engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran.
Seandainya aku hadir di saat itu niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya
Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah
memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang pertama.
Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam? Apabila Muhammad saw
sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita
mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat
dikatakan mendahului mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim yang
pertama?
Islam yang dibawa oleh
Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan Islam yang dibawa oleh Nabi
Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain, tetapi yang berbeda adalah
bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti semula, yakni berdasarkan tauhid.
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam
yang dibawa nabi-nabi sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam
ini merupakan ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi.
Islam tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua
golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk kabilah
tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan tertentu atau
zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau dengan kata lain, ia
merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia di mana saja mereka berada
tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran Islam
tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap risalah itu
diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat
yang mengagumkan yang bersifat temporal seringkali mendukung risalah-risalah
yang dahulu. Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal
manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa mukjizat yang
mengagumkan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah
dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"' (bacalah).
Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Coba Anda renungkan
permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang
hakiki jika Anda berusaha mencari mukjizat yang hakiki. Bacalah, dan Tuhanmu
Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta rahmat dan
kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang tidak
diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia
adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang
berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut kepada Allah SWT
tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan dengan bentuk
apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam ilmu
adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya perhiasan. Kaum
Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka berhasil
menguasai bumi ketika mereka memahami Islam secara benar, tetapi ketika
pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang paling
buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliyah. Jadi, ilmu dalam Islam
merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud. Kisah Nabi
Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah bukan semata-mata
kisah kesalahan memakan pohon tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki
dimensi-dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika Anda
menyclami kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari
makna-makna yang lebih penting.
Dialog internal yang
dialami oleh para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam untuk
memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang
diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau
mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, serta ketidaktahuan
mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka
tentang apa yang diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia
pemilihan Nabi Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini
menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah
secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT: "Dan
Ahu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS.
adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita
memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama dari kaum Muslim dan
dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya memahaminya? Saat ini kita memahaminya
dengan pemahamam yang sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk
menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam beribadah dan aspek-aspek
lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa, haji, zakat
dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang salat diperbolehkan untuk menyembah
Allah SWT di negeri mereka atau di rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di
bawah pemikiran orang-orang Barat dan membeli produk-produk yang dibuat mereka
serta memanfaatkan ilmu dan kecanggihan tehnologi orang-orang Barat. Namun
mereka sendiri tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan
kontribusi kepada kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti bulu dan buih yang
dimainkan oleh ombak. Sedangkan pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat
tersebut sebagai berikut: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas
membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka
mengetahui). Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara praktek-praktek
ibadah dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang
menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama meyakini
bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT atau agar ia
mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang pertama sangat
mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia semuanya: satu tangan
berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain memegang pedang untuk
menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret manusia kepada kemunduran serta
tirani yang memperbudaknya dari
pencapaian kebebasan dan kemerdekaan. Kemudian jatuhlah dari Islam hakikat
ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat memimpin kehidupan dan mereka justru
men-dapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman: "Allah menyatakan bahwasannya
tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang
diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar