Kamis, 13 November 2014

Mencari Manusia Autentik –dari Heidegger ke Levi-Strauss




Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmiah di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia. Tulisan ini hendak mendiskusikan pergeseran yang terjadi pada kajian metafisika dari eksistensialisme fenomenologis ke strukturalisme. Dengan membandingkan, melihat kelemahan dan kekuatan serta kritik yang satu terhadap yang lain dari kedua aliran pemikiran tersebut. Dua pemikir yang akan mewakili alirannya masing-masing yaitu Martin Heidegger (1889-1976) dan Claude Levi-Strauss (1908- ).

Manusia yang Autentik Menurut Heidegger

Heidegger melakukan kritik terhadap jaman metafisika yang menurutnya masih berlangsung. Metafisika, menurut Heidegger, meliputi seluruh pemikiran filsafat barat sejak Plato dan memuncak pada Hegel dan Nietzche. Pada jaman itu metafisika justru lupa-akan-Ada, Ada diperlakukan sebagai adaan dengan mengasalkan Ada pada ide, Allah, materi, roh, kehendak dan lain sebagainya. Metafisika tersebut menuntut suatu dasar keberadaan yang penuh dan mampu menjelaskan segala sesuatu serta menjadi alat pembenaran. Pemikiran seperti ini oleh Heidegger disebut sebagai “pemikiran yang memperhitungkan”. Artinya cara berpikir yang mencoba menerangkan adaan dengan mengasalkan pada adaan lain . Cara pemikiran ini mencari penyebab atau alasan. Melaluinya segala sesuatu dapat dikalkulir, diatur, dikuasai, dimanipulasi. “Pemikiran yang memperhitungkan” metafisika dianggap gagal, tidak mampu melakukan penjelasan terhadap segala sesuatu. Atas kegagalan itu nalar ilmiah teknologis muncul dan mengakhiri peran metafisika. Tetapi nalar ilmiah teknologis ini sebenarnya adalah wujud lain dari metafisika. Jika sejak Descartes adaan dipandang sebagai obyek dan manusia adalah subyek maka dengan berkuasanya nalar ilmiah teknologis maka adaan tidak hanya dikenal tapi dapat ditangani, dimanipulasi, dikuasai, dimiliki. Manusia menguasai segala sesuatu. Mengenal berarti menguasai.

Lama kelamaan teknik tidak lagi menjadi sarana bagi manusia untuk mengenal adaan tetapi akan menjadi sulit dikendalikan dan manusia terjebak di dalamnya. Teknik berkuasa atas manusia. Manusia menjadi obyek. Meskipun Heidegger melakukan kritik terhadap nalar ilmiah teknologis yang mendominasi hidup manusia tetapi tidak berarti filsuf ini anti teknologi. Dalam kaitannya dengan teknik sebagai sarana atau alat, filsuf ini menggunakan suatu istilah untuk menunjuk suatu alat yaitu Zuhandenes dan, yang dibedakan dengan Vorhandenes. Zuhandenes adalah sesuatu yang “ada bagi tangan”, sesuatu yang dapat dipergunakan atau,dengan kata lain, alat atau instrumen. Sedangkan Vorhandenes adalah sesuatu yang terdapat di depan saya, sesuatu yang hanya tampak bagi subyek yang mengenali. Setiap benda dapat digunakan sebagai alat dan, melalui abstraksi, secara potensial adalah Vorhandenes.

Heidegger mengkhawatirkan bahaya teknik yang merajalela akan menghilangkan hakikat manusia, yaitu keterarahan pada ketidaktersembunyian. Tetapi di sisi lain filsuf ini juga optimis bahwa teknik dapat digunakan untuk mengarahkan manusia menuju ketidaktersembunyian. Heidegger menyebut manusia dengan Dasein (ada di situ atau ada di sini). Dasein adalah khas manusia sebagai mahluk yang memiliki pengertian tentang Ada. Tiga sifat yang menandai keberadaan Dasein yaitu “faktisitas”, “eksistensialitas” dan “kemerosotan”. Faktisitas adalah kenyataan bahwa manusia, diluar kemauannya, terdampar di dunia dengan kondisi dan situasi tertentu. Faktisitas ini mengandaikan kebebasan eksistensial manusia untuk mewujudkan kemampuan dan menentukan diri, masuk ke eksistensialitas dimana manusia memikul tanggung jawab pribadi untuk membentuk hidupnya sendiri. Sedangkan “kemerosotan” adalah keadaan ketika manusia cenderung untuk menyesuaikan diri dengan dunia sekitar, akibat kurang penghayatan terhadap eksistensialitasnya. Di sini manusia tidak autentik lagi. Untuk mengatasi kemerosotan ini, menurut Heidegger, adalah dengan mengenal Angst (rasa takut tak berobyek). Angst dapat muncul jika manusia membuka diri bagi suara hati. Suara hati dapat mengingatkan manusia dari kelupaannya dan kembali menerima eksistensialitasnya sehingga kembali menjadi manusia autentik.

Membandingkan Strukturalisme Levi-Strauss Dengan Eksistensialisme Heidegger

Levi-Strauss seorang pemikir strukturalis, meskipun ia menolak “stukturalisme” yang oleh kaum intelektual waktu itu diangkat menjadi filsafat hidup dan pandangan dunia ideologi dekade 1960-an, yang dipengaruhi pemikir-pemikir sebelumnya seperti Marx, Freud, Saussure, bahkan Kant. Strukturalisme berkembang pesat di Perancis dengan tokoh-tokoh utama selain Levi-Strauss, yaitu Foucault, J. Lacan, dan R. Barthes. Aliran ini muncul ketika eksistensialisme pudar. Masyarakat yang semakin kaya dan dikendalikan oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis mapan dan terkomputerisasi memudarkan aliran humanisme romantis eksistensialis yang berkisar pada subyek otonom, daya cipta peorangan, penciptaan makna, dan pilihan proyek masa depan serta dunia bersama sebagai tempat tinggal yang manusiawi. Usaha eksistensialisme untuk mengubah dan memperbaiki tidak berdaya dihadapan kenyataan-kenyataan struktur yang makin kuat yang mengutamakan kemantapan dan keseimbangan struktural daripada dinamika kreatif dari si subyek. Dengan diilhami oleh Marx dan Freud, para strukturalis mencurigai istilah-istilah kunci eksistensialis seperti ,”manusia”, “kesadaran intensional”, “subyek”, “kebebasan”, “otonomi” dan menggantinya istilah-istilah mereka “ketidaksadaran”, “struktur”, “diskursus”, “penanda”, “petanda”.

Meskipun banyak pertentangan antara eksistensialisme dan strukturalisme tapi ada juga yang saling melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia terjebak dalam suatu struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika manusia lahir ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki peran, meskipun kemudian ia mampu memilih atau membuat sendiri sebuah struktur tapi ia kembali akan terjebak di dalamnya. Pandangan ini mirip dengan faktisitasnya Heidegger dimana manusia terlempar ke dunia tanpa bisa dirundingkan lebih dulu. Perbedaannya faktisitas mengandaikan adanya kebebasan yang menegaskan eksistensialitas manusia sedangkan keterjebakkan manusia dalam jaring-jaring struktur mengandaikan hilangnya unsur subyek dan obyek, semua hanyalah bagian dari tenunan struktur.

Dengan menggunakan teori linguistik dari Saussure (semiologi), Levi-Strauss melakukan analisis terhadap masalah kekerabatan. Sistem kekerabatan terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi, seperti misalnya suami-istri, anak-bapak, saudara lelaki, saudara perempuan, paman-keponakan. Hubungan ini sama seperti bahasa, kekerabatan pun merupakan sistem komunikasi. Bahasa adalah sistem komunikasi, karena informasi atau pesan-pesan yang disampaikan oleh satu individu pada individu lain. Kekerabatan adalah suatu sistem komunikasi, karena klen-klen atau famili-famili lain tukar-menukar wanita-wanita mereka. Sebagaimana halnya bahasa, kekerabatan pun dikuasai oleh aturan-aturan yang tidak disadari. Ketidaksadaran menjadi sebuah unsur pokok yang menandai keberadaan manusia, hubungan antar manusia berada dalam sistem yang tidak disadarinya. Berbeda dengan pandangan Heidegger bahwa harus memiliki tanggung jawab pribadi untuk membentuk hidupnya sendiri, manusia mempunyai putusan sendiri, ia bukan manusia “massal” atau diombang-ambingkan arus mode dan kecenderungan sosial. Supaya tidak menjadi manusia “massal” tentu dituntut kesadaran penuh tentang lingkungannya yang menurut strukturalis mustahil untuk disadari secara penuh. 

Mencari Manusia Autentik

Perbedaan lain yang cukup mendasar, terutama dengan pemikiran fenomenologi, adalah pencapaian makna atau kebenaran atas yang Ada. Bagi Heidegger, Ada itu sendiri tampak sebagai tidak tersembunyi (aletheia). Ini didapat dari Husserl, fenomenolog, yang mengatakan obyek kesadaran adalah fenomen dalam arti: apa yang menampakkan diri. Ada sendiri menampakkan diri, terbuka. Sedangkan Levi-Strauss dengan mengacu pada Kant (P. Ricoeur menjuluki Levi-Strauss sebagai “kantianisme tanpa transendental”) bahwa akal budi manusia memiliki sejumlah paksaan, ketentuan dan aturan (bentuk mental apriori, kategori, ide regulatif dan sebagainya) yang dikenakan pada kenyataan empiris. Namun kenyataan itu tidak pernah dimengerti seluruhnya sebab tiap usaha merepresentasikannya pada dasarnya kurang memadai, kendatipun kenyataan konkret tidak bisa dipahami secara lain kecuali lewat paksaan mental tersebut. Menurut Levi-Strauss, “Pemahaman” berarti mengasalkan sesuatu yang spontan dan tampak bagi kita itu kepada suatu taraf yang lebih dalam, sambil menyadari bahwa realitas yang sebenarnya tidak pernah tampak sendiri dan langsung kelihatan, tetapi justru suka menyembunyikan diri. Dan sisa-sisa penyembunyian diri itulah yang merupakan bekas-bekas yang hendak “dibaca” sebagai tanda penyingkapan diri yang tak langsung dari kenyataan dan kebenaran yang sesungguhnya. Makna yang dicari sembunyi dalam benda-benda yang tampak, tugas strukturalislah untuk mengorek makna yang laten tersebut. Seperti sudah diuraikan sebelumnya bahwa Levi-Strauss enggan menggunakan nama “strukturalisme” yang terlalu ideologis, ia memang menolak beberapa pandangan umum mengenai strukturalisme bahwa aliran ini anti humanisme, mengabaikan manusia dan melarutkannya dalam struktur yang berkuasa. Melalui kajian Antropologi budaya, Levi-Strauss membentuk strukturalisme sebagai “humanisme integral baru” yang mengkritik dan mengatasi humanisme klasik barat. Humanisme klasik dianggap mangancam kehidupan manusia karena menciptakan pemisahan dan pertentangan antara manusia dan alam, antara budaya barat dan budaya lain yang dianggap inferior. Sebaliknya “humanisme baru” dengan pola strukturalisme ini tidak mengadakan garis pemisah dan penggusuran yang fatal, tetapi justru menekankan sifat saling terkait dan mencakup segala sesuatu.

Ada persamaan dengan pemikiran Heidegger yang juga mengkritik metafisika barat yang memisahkan subyek (manusia) dan obyek (alam). Penguasaan subyek atas obyek ini dibenahi dengan istilah menggembalakan Ada, tidak menguasai adaan. Persamaan lain adalah keduanya sama-sama menentang bentuk teknik (Kemajuan teknologi di barat) yang jika tidak diwaspadai akan menjadi subyek baru dan menindas keberadaan manusia. Levi-Strauss menyatakannya dengan keprihatinan terhadap nasib masyarakat primitif yang dilenyapkan oleh kekuasaan kolonial barat demi keuntungan ekonomis (penjajahan yang menggunakan penemuan-penemuan alat /teknik modern).

Kebudayaan primitif menurut Levi-Strauss memiliki keaslian dalam menciptakan patokan keselarasan manusia dengan alam dan sesamanya. Rasa kagumnya tertuang dalam Mythologica III, “Suatu humanisme yang seimbang, tidak bermula dengan hidup manusia sendiri, tetapi mengutamakan dunia dan alam semesta atas hidup, mengutamakan hidup atas manusia sendiri dan mengutamakan rasa hormat terhadap mahluk-mahluk lain melampaui rasa cinta diri”.

Kedua pemikir memiliki beberapa perbedaan dan kesamaan. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak dilihat sebagai bertentangan tapi justru saling melengkapi. Ketika Levi-Strauss dengan strukturalismenya berusaha menghilangkan dualisme subyek dan obyek yang dianggap mengancam kehidupan manusia maka ia meleburkannya dalam kesatuan struktur yang tak terpilah. Bahaya baru dapat saja muncul dengan tidak ditekankannya pribadi kreatif manusia dan bisa terjebak menjadi manusia “massal”. Kekurangan ini dapat dilengkapi dengan pemikiran Heidegger yang meski mengkritik dualisme tersebut, ia tetap menekankan sosok manusia yang autentik. Meski tidak mungkin juga manusia menghindari sepenuhnya arus massa tapi dengan bantuan kesadaran dengan hati nurani manusia tidak mudah hanyut.

(Ditulis Oleh Tim Jurnal “Parodi” (Pancaran Roda Dialektika), Kelompok Studi Filsafat – Semarang School Jl. Kertanegara IV No. 7, Semarang, 50241).

Kepustakaan  

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta. 1990
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Perancis. Gramedia. Jakarta. 1996.
Cremers, Agus. Antara Alam dan Mitos, Memperkenalkan Antropologi struktural Levi-Strauss. Nusa Indah. Flores. NTT. 1997
Soerjanto Poespawardjono & K. Bertens (ed.). Sekitar Manusia. Gramedia. Jakarta. 1978.
Sudarminta, J. “Beberapa Gagasan Pokok Metafisika Heidegger”. Makalah Extension Course Filsafat. STF Driyarkara. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar