Strukturalisme begitu
berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmiah di tahun 1960-an, terutama di
Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak
setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap
eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap
menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk
dunia. Tulisan ini hendak mendiskusikan pergeseran yang terjadi pada kajian
metafisika dari eksistensialisme fenomenologis ke strukturalisme. Dengan
membandingkan, melihat kelemahan dan kekuatan serta kritik yang satu terhadap
yang lain dari kedua aliran pemikiran tersebut. Dua pemikir yang akan mewakili
alirannya masing-masing yaitu Martin Heidegger
(1889-1976) dan Claude
Levi-Strauss (1908- ).
Manusia yang Autentik Menurut Heidegger
Heidegger melakukan kritik
terhadap jaman metafisika yang menurutnya masih berlangsung. Metafisika,
menurut Heidegger, meliputi seluruh pemikiran filsafat barat sejak Plato dan memuncak
pada Hegel dan Nietzche. Pada
jaman itu metafisika justru lupa-akan-Ada, Ada diperlakukan sebagai adaan
dengan mengasalkan Ada pada ide, Allah, materi, roh, kehendak dan lain
sebagainya. Metafisika tersebut menuntut suatu dasar keberadaan yang penuh dan
mampu menjelaskan segala sesuatu serta menjadi alat pembenaran. Pemikiran
seperti ini oleh Heidegger disebut sebagai “pemikiran yang memperhitungkan”.
Artinya cara berpikir yang mencoba menerangkan adaan dengan mengasalkan pada
adaan lain . Cara pemikiran ini mencari penyebab atau alasan. Melaluinya segala
sesuatu dapat dikalkulir, diatur, dikuasai, dimanipulasi. “Pemikiran yang
memperhitungkan” metafisika dianggap gagal, tidak mampu melakukan penjelasan
terhadap segala sesuatu. Atas kegagalan itu nalar ilmiah teknologis muncul dan
mengakhiri peran metafisika. Tetapi nalar ilmiah teknologis ini sebenarnya
adalah wujud lain dari metafisika. Jika sejak Descartes adaan dipandang sebagai
obyek dan manusia adalah subyek maka dengan berkuasanya nalar ilmiah teknologis
maka adaan tidak hanya dikenal tapi dapat ditangani, dimanipulasi, dikuasai,
dimiliki. Manusia menguasai segala sesuatu. Mengenal berarti menguasai.
Lama kelamaan teknik tidak
lagi menjadi sarana bagi manusia untuk mengenal adaan tetapi akan menjadi sulit
dikendalikan dan manusia terjebak di dalamnya. Teknik berkuasa atas manusia.
Manusia menjadi obyek. Meskipun Heidegger melakukan kritik terhadap nalar ilmiah
teknologis yang mendominasi hidup manusia tetapi tidak berarti filsuf ini anti
teknologi. Dalam kaitannya dengan teknik sebagai sarana atau alat, filsuf ini
menggunakan suatu istilah untuk menunjuk suatu alat yaitu Zuhandenes dan, yang
dibedakan dengan Vorhandenes.
Zuhandenes adalah
sesuatu yang “ada bagi tangan”, sesuatu yang dapat dipergunakan atau,dengan
kata lain, alat atau instrumen. Sedangkan Vorhandenes
adalah sesuatu yang terdapat di depan saya, sesuatu yang hanya tampak bagi
subyek yang mengenali. Setiap benda dapat digunakan sebagai alat dan, melalui
abstraksi, secara potensial adalah Vorhandenes.
Heidegger mengkhawatirkan
bahaya teknik yang merajalela akan menghilangkan hakikat manusia, yaitu
keterarahan pada ketidaktersembunyian. Tetapi di sisi lain filsuf ini juga
optimis bahwa teknik dapat digunakan untuk mengarahkan manusia menuju
ketidaktersembunyian. Heidegger menyebut manusia dengan Dasein (ada di situ
atau ada di sini). Dasein
adalah khas manusia sebagai mahluk yang memiliki pengertian tentang Ada. Tiga
sifat yang menandai keberadaan Dasein
yaitu “faktisitas”, “eksistensialitas” dan “kemerosotan”. Faktisitas adalah
kenyataan bahwa manusia, diluar kemauannya, terdampar di dunia dengan kondisi
dan situasi tertentu. Faktisitas ini mengandaikan kebebasan eksistensial
manusia untuk mewujudkan kemampuan dan menentukan diri, masuk ke
eksistensialitas dimana manusia memikul tanggung jawab pribadi untuk membentuk
hidupnya sendiri. Sedangkan “kemerosotan” adalah keadaan ketika manusia
cenderung untuk menyesuaikan diri dengan dunia sekitar, akibat kurang
penghayatan terhadap eksistensialitasnya. Di sini manusia tidak autentik lagi.
Untuk mengatasi kemerosotan ini, menurut Heidegger, adalah dengan mengenal Angst (rasa takut tak
berobyek). Angst dapat muncul jika
manusia membuka diri bagi suara hati. Suara hati dapat mengingatkan manusia
dari kelupaannya dan kembali menerima eksistensialitasnya sehingga kembali
menjadi manusia autentik.
Membandingkan Strukturalisme Levi-Strauss Dengan
Eksistensialisme Heidegger
Levi-Strauss seorang
pemikir strukturalis, meskipun ia menolak “stukturalisme” yang oleh kaum
intelektual waktu itu diangkat menjadi filsafat hidup dan pandangan dunia
ideologi dekade 1960-an, yang dipengaruhi pemikir-pemikir sebelumnya seperti Marx, Freud, Saussure, bahkan Kant.
Strukturalisme berkembang pesat di Perancis dengan tokoh-tokoh utama selain
Levi-Strauss, yaitu Foucault,
J. Lacan, dan R. Barthes. Aliran
ini muncul ketika eksistensialisme pudar. Masyarakat yang semakin kaya dan dikendalikan
oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis mapan dan terkomputerisasi
memudarkan aliran humanisme romantis eksistensialis yang berkisar pada subyek
otonom, daya cipta peorangan, penciptaan makna, dan pilihan proyek masa depan
serta dunia bersama sebagai tempat tinggal yang manusiawi. Usaha
eksistensialisme untuk mengubah dan memperbaiki tidak berdaya dihadapan
kenyataan-kenyataan struktur yang makin kuat yang mengutamakan kemantapan dan
keseimbangan struktural daripada dinamika kreatif dari si subyek. Dengan
diilhami oleh Marx dan Freud, para strukturalis mencurigai istilah-istilah
kunci eksistensialis seperti ,”manusia”, “kesadaran intensional”, “subyek”,
“kebebasan”, “otonomi” dan menggantinya istilah-istilah mereka
“ketidaksadaran”, “struktur”, “diskursus”, “penanda”, “petanda”.
Meskipun banyak
pertentangan antara eksistensialisme dan strukturalisme tapi ada juga yang
saling melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia terjebak dalam suatu
struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika manusia lahir ia sudah ada
dalam suatu struktur, ia memiliki peran, meskipun kemudian ia mampu memilih
atau membuat sendiri sebuah struktur tapi ia kembali akan terjebak di dalamnya.
Pandangan ini mirip dengan faktisitasnya Heidegger dimana manusia terlempar ke
dunia tanpa bisa dirundingkan lebih dulu. Perbedaannya faktisitas mengandaikan
adanya kebebasan yang menegaskan eksistensialitas manusia sedangkan
keterjebakkan manusia dalam jaring-jaring struktur mengandaikan hilangnya unsur
subyek dan obyek, semua hanyalah bagian dari tenunan struktur.
Dengan menggunakan teori
linguistik dari Saussure (semiologi),
Levi-Strauss melakukan analisis terhadap masalah kekerabatan. Sistem
kekerabatan terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi, seperti misalnya
suami-istri, anak-bapak, saudara lelaki, saudara perempuan, paman-keponakan.
Hubungan ini sama seperti bahasa, kekerabatan pun merupakan sistem komunikasi.
Bahasa adalah sistem komunikasi, karena informasi atau pesan-pesan yang
disampaikan oleh satu individu pada individu lain. Kekerabatan adalah suatu
sistem komunikasi, karena klen-klen atau famili-famili lain tukar-menukar
wanita-wanita mereka. Sebagaimana halnya bahasa, kekerabatan pun dikuasai oleh
aturan-aturan yang tidak disadari. Ketidaksadaran menjadi sebuah unsur pokok
yang menandai keberadaan manusia, hubungan antar manusia berada dalam sistem
yang tidak disadarinya. Berbeda dengan pandangan Heidegger bahwa harus memiliki
tanggung jawab pribadi untuk membentuk hidupnya sendiri, manusia mempunyai putusan
sendiri, ia bukan manusia “massal” atau diombang-ambingkan arus mode dan
kecenderungan sosial. Supaya tidak menjadi manusia “massal” tentu dituntut
kesadaran penuh tentang lingkungannya yang menurut strukturalis mustahil untuk
disadari secara penuh.
Mencari Manusia Autentik
Perbedaan lain yang cukup
mendasar, terutama dengan pemikiran fenomenologi, adalah pencapaian makna atau
kebenaran atas yang Ada. Bagi Heidegger, Ada itu sendiri tampak sebagai tidak
tersembunyi (aletheia). Ini didapat
dari Husserl, fenomenolog,
yang mengatakan obyek kesadaran adalah fenomen dalam arti: apa yang menampakkan
diri. Ada sendiri menampakkan diri, terbuka. Sedangkan Levi-Strauss dengan
mengacu pada Kant (P. Ricoeur
menjuluki Levi-Strauss sebagai “kantianisme tanpa transendental”) bahwa akal
budi manusia memiliki sejumlah paksaan, ketentuan dan aturan (bentuk mental
apriori, kategori, ide regulatif dan sebagainya) yang dikenakan pada kenyataan
empiris. Namun kenyataan itu tidak pernah dimengerti seluruhnya sebab tiap
usaha merepresentasikannya pada dasarnya kurang memadai, kendatipun kenyataan
konkret tidak bisa dipahami secara lain kecuali lewat paksaan mental tersebut.
Menurut Levi-Strauss, “Pemahaman” berarti mengasalkan sesuatu yang spontan dan
tampak bagi kita itu kepada suatu taraf yang lebih dalam, sambil menyadari
bahwa realitas yang sebenarnya tidak pernah tampak sendiri dan langsung
kelihatan, tetapi justru suka menyembunyikan diri. Dan sisa-sisa penyembunyian
diri itulah yang merupakan bekas-bekas yang hendak “dibaca” sebagai tanda
penyingkapan diri yang tak langsung dari kenyataan dan kebenaran yang
sesungguhnya. Makna yang dicari sembunyi dalam benda-benda yang tampak, tugas
strukturalislah untuk mengorek makna yang laten tersebut. Seperti sudah
diuraikan sebelumnya bahwa Levi-Strauss enggan menggunakan nama
“strukturalisme” yang terlalu ideologis, ia memang menolak beberapa pandangan
umum mengenai strukturalisme bahwa aliran ini anti humanisme, mengabaikan
manusia dan melarutkannya dalam struktur yang berkuasa. Melalui kajian
Antropologi budaya, Levi-Strauss membentuk strukturalisme sebagai “humanisme
integral baru” yang mengkritik dan mengatasi humanisme klasik barat. Humanisme
klasik dianggap mangancam kehidupan manusia karena menciptakan pemisahan dan
pertentangan antara manusia dan alam, antara budaya barat dan budaya lain yang
dianggap inferior. Sebaliknya “humanisme baru” dengan pola strukturalisme ini
tidak mengadakan garis pemisah dan penggusuran yang fatal, tetapi justru
menekankan sifat saling terkait dan mencakup segala sesuatu.
Ada persamaan dengan
pemikiran Heidegger yang juga mengkritik metafisika barat yang memisahkan
subyek (manusia) dan obyek (alam). Penguasaan subyek atas obyek ini dibenahi
dengan istilah menggembalakan Ada, tidak menguasai adaan. Persamaan lain adalah
keduanya sama-sama menentang bentuk teknik (Kemajuan teknologi di barat) yang
jika tidak diwaspadai akan menjadi subyek baru dan menindas keberadaan manusia.
Levi-Strauss menyatakannya dengan keprihatinan terhadap nasib masyarakat primitif
yang dilenyapkan oleh kekuasaan kolonial barat demi keuntungan ekonomis
(penjajahan yang menggunakan penemuan-penemuan alat /teknik modern).
Kebudayaan primitif
menurut Levi-Strauss memiliki keaslian dalam menciptakan patokan keselarasan
manusia dengan alam dan sesamanya. Rasa kagumnya tertuang dalam Mythologica III,
“Suatu humanisme yang seimbang, tidak bermula dengan hidup manusia sendiri,
tetapi mengutamakan dunia dan alam semesta atas hidup, mengutamakan hidup atas
manusia sendiri dan mengutamakan rasa hormat terhadap mahluk-mahluk lain
melampaui rasa cinta diri”.
Kedua pemikir memiliki
beberapa perbedaan dan kesamaan. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak dilihat
sebagai bertentangan tapi justru saling melengkapi. Ketika Levi-Strauss dengan
strukturalismenya berusaha menghilangkan dualisme subyek dan obyek yang
dianggap mengancam kehidupan manusia maka ia meleburkannya dalam kesatuan
struktur yang tak terpilah. Bahaya baru dapat saja muncul dengan tidak
ditekankannya pribadi kreatif manusia dan bisa terjebak menjadi manusia
“massal”. Kekurangan ini dapat dilengkapi dengan pemikiran Heidegger yang meski
mengkritik dualisme tersebut, ia tetap menekankan sosok manusia yang autentik.
Meski tidak mungkin juga manusia menghindari sepenuhnya arus massa tapi dengan
bantuan kesadaran dengan hati nurani manusia tidak mudah hanyut.
(Ditulis Oleh Tim Jurnal “Parodi” (Pancaran Roda
Dialektika), Kelompok Studi Filsafat – Semarang School Jl.
Kertanegara IV No. 7, Semarang, 50241).
Kepustakaan
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX
Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta. 1990
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Perancis.
Gramedia. Jakarta. 1996.
Cremers, Agus. Antara Alam dan Mitos,
Memperkenalkan Antropologi struktural Levi-Strauss. Nusa Indah.
Flores. NTT. 1997
Soerjanto Poespawardjono
& K. Bertens (ed.). Sekitar Manusia.
Gramedia. Jakarta. 1978.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar