Pembahasan mengenai manusia
sejak dulu telah dilakukan –artinya saat manusia pertama kali diciptakan, dan sebagaimana
banyak dijelaskan dalam kitab suci agama-agama –manusia juga mengalami proses
yang disebut ‘pengenalan’. Beberapa sumber dan rujukan yang menjelaskan tentang
proses kejadian manusia ternyata sedikit banyak mengalami perkembangan yang
menunjukkan relevansi dasar dengan dunia. Sejauh apa yang dialami oleh manusia
itu sendiri, tak pernah lepas dari kehidupan sekitarnya. Manusia menyimpan
banyak alasan, arti, kecenderungan, maksud, dan sebagainya.
Banyak pertanyaan filosofis yang mengemuka ketika membahas tentang manusia. Ernst Cassirer, salah satunya yang mempertanyakan ‘apakah manusia’. Ia mengakui adanya ‘pokok persoalan’ yang sukar dan abstrak. Atas pengajuan teman-temannya dari Inggris dan Amerika (p.ix), ia menuliskan kembali sebuah buku yang berasal dari Philosophy of Symbolic Forms (judul aslinya Philosophie und Wisshenschaft der neuereun Zeit), filsafat tentang bentuk-bentuk simbolis, yaitu An Essay on Man.
Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya itu, ia mengikuti apa yang dikatakan Lessing, “A big book is a big evil”. Kalimat ini tidak hanya membuat Cassirer merubah cara pemaparan (gaya bahasa) dalam karya tulisnya, namun juga membuat pembaca merasa dipermudah untuk memahami buku karya Ernst Cassirer ini. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (1987) meski rentang waktunya jauh dari versi Inggrisnya (1944). Dapat kita katakan filsafat manusia Cassirer ini justru yang paling mudah untuk dicerna dan tampak kental filsafatnya, dan Cassirer sendiri adalah seorang Profesor Filsafat di Universitas Hamburg.
Awal memasuki pokok persoalan sebelum membuat kita terjun dalam kajian-kajian filsafat manusia dan budaya-nya Cassirer, terlebih dulu perlu kiranya mengetahui alasan Cassirer menerbitkan buku An Essay on Man (1944) tersebut. Buku yang diterjemahkan pada tahun 1944 ini sebenarnya adalah hasil ringkasan dari buku monumentalnya Philosophy of Symbolic Forms (PSF) dalam tiga jilid, antara lain Die Sparache (1923) Bahasa, Das mythische Denken (1929) alias Pemikiran Mistis, dan Phanomenologie der Erkenntnis (1929) atau Fenomenologi Pengetahuan. Tidak hanya sekedar ringkasan, buku ini merupakan lanjutan telaah dengan mereduksi fakta-fakta baru dan persoalan baru yang belum terproyeksikan dari buku PSF tersebut. Kutipan ini disampaikan Cassirer dalam kata pengantarnya:
“Saya mempelajari fakta baru dan menghadapi persoalan baru. Bahkan, persoalan-persoalan lama saya lihat dari sudut yang berbeda dan muncul penilaian baru atas persoalan-persoalan tersebut”. (p.ix)
Konsep diri manusia dalam filsafat tradisional banyak diungkapkan melalui kenyataan kodrati, seperti yang disebutnya Allah, Roh, dan seterusnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Galileo, Bacon, dan Descartes. Refleksi atas manusia bergeser dengan segala kemampuan kodratinya, semisal teosentrisme bergeser ke antroposentrisme. Kemampuan manusia sebagai subjektivitas dapat menjalankan fungsi rasio, persepsi, afeks,i dan kehendaknya. Jauh sebelum mereka, ada Socrates, Plato, dan Aristoteles yang telah merumuskan ‘metode’ bagi pengenalan subjek manusia.
Cassier tidak semata menuangkan ‘metode’ dari filsuf Yunani ratusan abad silam tersebut untuk mengulas berbagai persoalan dasar manusia. Ia bahkan mengutipkan kata-kata Montaigne dalam hal ini. Soal yang paling besar di seluruh dunia ialah mengenali diri sendiri. Pandangan tersebut didifusikan dari pemikiran Descartes (filsafat modern), sehingga prinsip ini dikenal dengan Cartesianisme. Selain itu, penggunaan metode introspektif merefleksikan model pemahaman filosofis Cassirer. Socrates sendiri menawarkan sebuah metode ‘bertanya’. Sekedar bertanya mungkin tidak akan menyelesaikan masalah, sehingga diupayakan penggunaan rasio atas refleksi (perenungan) yang akan membuka persoalan dasar tersebut.
Filsafat Klasik, Renaisans, dan Stoa
Banyak pertanyaan filosofis yang mengemuka ketika membahas tentang manusia. Ernst Cassirer, salah satunya yang mempertanyakan ‘apakah manusia’. Ia mengakui adanya ‘pokok persoalan’ yang sukar dan abstrak. Atas pengajuan teman-temannya dari Inggris dan Amerika (p.ix), ia menuliskan kembali sebuah buku yang berasal dari Philosophy of Symbolic Forms (judul aslinya Philosophie und Wisshenschaft der neuereun Zeit), filsafat tentang bentuk-bentuk simbolis, yaitu An Essay on Man.
Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya itu, ia mengikuti apa yang dikatakan Lessing, “A big book is a big evil”. Kalimat ini tidak hanya membuat Cassirer merubah cara pemaparan (gaya bahasa) dalam karya tulisnya, namun juga membuat pembaca merasa dipermudah untuk memahami buku karya Ernst Cassirer ini. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (1987) meski rentang waktunya jauh dari versi Inggrisnya (1944). Dapat kita katakan filsafat manusia Cassirer ini justru yang paling mudah untuk dicerna dan tampak kental filsafatnya, dan Cassirer sendiri adalah seorang Profesor Filsafat di Universitas Hamburg.
Awal memasuki pokok persoalan sebelum membuat kita terjun dalam kajian-kajian filsafat manusia dan budaya-nya Cassirer, terlebih dulu perlu kiranya mengetahui alasan Cassirer menerbitkan buku An Essay on Man (1944) tersebut. Buku yang diterjemahkan pada tahun 1944 ini sebenarnya adalah hasil ringkasan dari buku monumentalnya Philosophy of Symbolic Forms (PSF) dalam tiga jilid, antara lain Die Sparache (1923) Bahasa, Das mythische Denken (1929) alias Pemikiran Mistis, dan Phanomenologie der Erkenntnis (1929) atau Fenomenologi Pengetahuan. Tidak hanya sekedar ringkasan, buku ini merupakan lanjutan telaah dengan mereduksi fakta-fakta baru dan persoalan baru yang belum terproyeksikan dari buku PSF tersebut. Kutipan ini disampaikan Cassirer dalam kata pengantarnya:
“Saya mempelajari fakta baru dan menghadapi persoalan baru. Bahkan, persoalan-persoalan lama saya lihat dari sudut yang berbeda dan muncul penilaian baru atas persoalan-persoalan tersebut”. (p.ix)
Konsep diri manusia dalam filsafat tradisional banyak diungkapkan melalui kenyataan kodrati, seperti yang disebutnya Allah, Roh, dan seterusnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Galileo, Bacon, dan Descartes. Refleksi atas manusia bergeser dengan segala kemampuan kodratinya, semisal teosentrisme bergeser ke antroposentrisme. Kemampuan manusia sebagai subjektivitas dapat menjalankan fungsi rasio, persepsi, afeks,i dan kehendaknya. Jauh sebelum mereka, ada Socrates, Plato, dan Aristoteles yang telah merumuskan ‘metode’ bagi pengenalan subjek manusia.
Cassier tidak semata menuangkan ‘metode’ dari filsuf Yunani ratusan abad silam tersebut untuk mengulas berbagai persoalan dasar manusia. Ia bahkan mengutipkan kata-kata Montaigne dalam hal ini. Soal yang paling besar di seluruh dunia ialah mengenali diri sendiri. Pandangan tersebut didifusikan dari pemikiran Descartes (filsafat modern), sehingga prinsip ini dikenal dengan Cartesianisme. Selain itu, penggunaan metode introspektif merefleksikan model pemahaman filosofis Cassirer. Socrates sendiri menawarkan sebuah metode ‘bertanya’. Sekedar bertanya mungkin tidak akan menyelesaikan masalah, sehingga diupayakan penggunaan rasio atas refleksi (perenungan) yang akan membuka persoalan dasar tersebut.
Filsafat Klasik, Renaisans, dan Stoa
Pada tataran ini filsafat
klasik telah mempengaruhi banyak filsuf modern (Eropa) jaman Renaisans yang
merasuki sisi kehidupan dan pemikiran Cassirer tentang filsafat manusia dan
kebudayaan. Antara lain, Giordano Bruno, Schelling, Bacon, Descartes, Spinoza,
Leibniz, Pascal, Kant, Nietzsche, dan lain sebagainya. Maka, hal ini diambilnya
sebagai bahan dan dasar perumusan kerangka dasar filsafat kebudayaan Cassirer
mengenai proses simbolisasi dan reaksi-reaksi manusia terhadap ‘dunia’-nya. Di
dalamnya terdapat proyek-proyek subjektivitas, kritik, dan kemajuan yang
merupakan ciri dari modernitas. Subjectum, yaitu sebagai pusat realitas menjadi
ukuran segala sesuatu. Di sini, filsafat Cassirer mencerminkan bagian dari
bentuk kesadaran manusia yang simbolik.
Pertanyaan “apakah manusia” yang menjadi judul bab pertama An Essay on Man sebenarnya telah mengikuti metode yang dijalankan Socrates. Cassirer menuangkan tambahan soal kisah dalam dialog Plato yang menggambarkan pembicaraan Socrates dengan Phaidros (p.8). Menurut Cassier, pendekatan yang dilakukan Socrates yang mungkin dianggap sekedar menyinggung tanpa membuatnya menukik ke dasar permasalahan, justru memberikan nilai positif atas konsepsinya tentang manusia. “Benda-benda fisik dapat diterangkan berdasarkan sifat-sifat objektifnya, tetapi manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya.” (p.9)
Cassirer nampak membela Socrates, bahwa yang menjadi ciri khas filsafat Socrates bukan pada kebaruan isi objektif, namun pada kebaruan aktivivitas dan fungsi pemikiran –dari monolog menjadi dialog. Lebih jelas lagi, Cassirer mengambil dasar Plato mengenai hakikat kebenaran sebagai buah hasil pemikiran yang dialektis. Sehingga jawaban atas pertanyaan “apakah manusia”, bagi Cassirer adalah bahwa, “Manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang setiap saat harus terus menerus mencari dirinya—makhluk yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya”. (p.10)
Filsafat Stoa juga menjadi sumbangan penting pada dasar pemikiran Cassirer. Ia mengutip Marcus Aurelius sebagai bentuk pengkajian kritis atas pertimbangan-pertimbangan manusia dalam hidupnya yang terus berubah dan mengalir agar menuju pada tatanan abadi. “Manusia menemukan dirinya dalam keseimbangan sempurna dengan alam; dan ia tahu bahwa keseimbangan itu tidak boleh digoyahkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar”. (p.14) Selain itu Cassirer memuji Pascal mengenai kelebihannya pada kejernihan prinsip-prinsipnya dan kepastian deduksi-deduksinya, artinya tidak semua persoalan (objek) dapat diperlakukan demikian (unsur geometris dengan aksioma dan hukum). Pascal telah melampui itu, dengan “semangat akut atau rumitnya” karena variasinya dan usaha analisis logis menggunakan hukum kontradiksi. Dalam hal ini Cassirer mengkritik keras, katanya, “Filsuf tidak boleh membangun gambaran artifisial tentang manusia, ia harus membeberkan manusia nyata” (p. 18).
“Unsur penting dalam eksistensi manusia adalah konstradiksi...manusia adalah campuran ajaib dari ada dan tiada. Ia terletak di antara dua kutub yang saling berlawanan itu.” Preskripsi atas jawaban tentang manusia telah meletakkan dasar filsafat yang cukup dalam bagi diri Ernst Cassirer dalam karya-karya dan pemikirannya. Saat pencapaian itu, Cassirer menempatkan dunia kosmologis dan manusia pada sudut yang linier (searah dan lurus). Merujuk pada pemikiran Montaigne, kritiknya atas rasio manusiawi adalah bahwa prasangka itu yang melengkapi pandangan alam fisis. Filsafat modern dan ilmu pengetahuan modern mengambilnya sebagai “roh” baru yang mampu dikembangkan bagi kelanjutan hidup manusia, Giordano Bruno menjadi pembuka pintu ini.
Arah Psikologis dan Antropologi
Pertanyaan “apakah manusia” yang menjadi judul bab pertama An Essay on Man sebenarnya telah mengikuti metode yang dijalankan Socrates. Cassirer menuangkan tambahan soal kisah dalam dialog Plato yang menggambarkan pembicaraan Socrates dengan Phaidros (p.8). Menurut Cassier, pendekatan yang dilakukan Socrates yang mungkin dianggap sekedar menyinggung tanpa membuatnya menukik ke dasar permasalahan, justru memberikan nilai positif atas konsepsinya tentang manusia. “Benda-benda fisik dapat diterangkan berdasarkan sifat-sifat objektifnya, tetapi manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya.” (p.9)
Cassirer nampak membela Socrates, bahwa yang menjadi ciri khas filsafat Socrates bukan pada kebaruan isi objektif, namun pada kebaruan aktivivitas dan fungsi pemikiran –dari monolog menjadi dialog. Lebih jelas lagi, Cassirer mengambil dasar Plato mengenai hakikat kebenaran sebagai buah hasil pemikiran yang dialektis. Sehingga jawaban atas pertanyaan “apakah manusia”, bagi Cassirer adalah bahwa, “Manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang setiap saat harus terus menerus mencari dirinya—makhluk yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya”. (p.10)
Filsafat Stoa juga menjadi sumbangan penting pada dasar pemikiran Cassirer. Ia mengutip Marcus Aurelius sebagai bentuk pengkajian kritis atas pertimbangan-pertimbangan manusia dalam hidupnya yang terus berubah dan mengalir agar menuju pada tatanan abadi. “Manusia menemukan dirinya dalam keseimbangan sempurna dengan alam; dan ia tahu bahwa keseimbangan itu tidak boleh digoyahkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar”. (p.14) Selain itu Cassirer memuji Pascal mengenai kelebihannya pada kejernihan prinsip-prinsipnya dan kepastian deduksi-deduksinya, artinya tidak semua persoalan (objek) dapat diperlakukan demikian (unsur geometris dengan aksioma dan hukum). Pascal telah melampui itu, dengan “semangat akut atau rumitnya” karena variasinya dan usaha analisis logis menggunakan hukum kontradiksi. Dalam hal ini Cassirer mengkritik keras, katanya, “Filsuf tidak boleh membangun gambaran artifisial tentang manusia, ia harus membeberkan manusia nyata” (p. 18).
“Unsur penting dalam eksistensi manusia adalah konstradiksi...manusia adalah campuran ajaib dari ada dan tiada. Ia terletak di antara dua kutub yang saling berlawanan itu.” Preskripsi atas jawaban tentang manusia telah meletakkan dasar filsafat yang cukup dalam bagi diri Ernst Cassirer dalam karya-karya dan pemikirannya. Saat pencapaian itu, Cassirer menempatkan dunia kosmologis dan manusia pada sudut yang linier (searah dan lurus). Merujuk pada pemikiran Montaigne, kritiknya atas rasio manusiawi adalah bahwa prasangka itu yang melengkapi pandangan alam fisis. Filsafat modern dan ilmu pengetahuan modern mengambilnya sebagai “roh” baru yang mampu dikembangkan bagi kelanjutan hidup manusia, Giordano Bruno menjadi pembuka pintu ini.
Arah Psikologis dan Antropologi
Pandangan psikologis Ernst
Cassirer bermula pada penerapan teori evolusi yang menjelaskan “being human”
(proses menjadi manusia). Dan pengetahuan ini didasarkan pada seorang filsuf
Yunani, seperti Aristoteles. Filsafat Aristoteles kemudian ditelaah lebih
lanjut oleh para filsuf abad ke-19 sehingga melahirkan teori evolusi modern
Darwin, teori matematis Spinoza, penemuan teropong Galileo, filsafat
etika-fenomenologi Marx Scheler dan “ketakterbatasan” Bruno. Lingkaran
fungsional yang dipopulerkan oleh Uexkull juga mempengaruhi penemuan Cassirer
dalam merumuskan sebuah konsep animale symbolicum.
Pertama,
penelitian Uexkull terhadap spesies binatang yang memiliki keterlibatan
(jalinan) fungsi bagian-bagian tubuh lainnya. Artinya, prinsip lingkaran
fungsional binatang dikonsepsikan melalui dunia manusia. Mulailah Cassirer
menuangkan logika ini pada diri manusia yang juga menjadi bagian dari makhluk
makrokosmos dalam sistem dunia.
Kedua,
penggunaan sistem reseptor dan afektor pada binatang (dalam penelitian Uexkull)
telah mengubah peranan manusia yang dapat menciptakan sistem simbol. Di sini,
Cassirer menekankan pentingnya dimensi realitas yang memiliki reaksi dan respon
manusiawi. Bahasa, mite, sejarah, seni,
agama dan ilmu pengetahuan menjadi bagian dari dunia simbolis ini (p.39).
Realitas fisik yang dinegasikan merangkai kegiatan simbolik dan menjadi ruang
yang terbuka, seperti bentuk-bentuk bahasa, citra-citra artistik, pralambang
mitis atau ibadah-ibadah.
Ketiga, Cassirer membuat batasan yang tegas mengenai animale rasionale, meskipun ia tidak benar-benar meninggalkan penafsiran istilah ini. Bahasa konseptual dan sistematis sebagai sumber rasio dianggapnya tidak dipandang menyeluruh sehingga Cassirer menambahkan unsur simbolik, yaitu bahasa emosional. Bahasa bukanlah ekspressi pikiran atau gagasan, melainkan ekspresi perasaan-perasaan (p.40). Lebih jelasnya, Cassirer menyangsikan unsur “rasio” yang tidak memadai bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia. Dengan demikian kita dapat menunjukkan ciri-ciri, jalan baru memahami manusia.
Penggunaan Data dan Percobaan Psikobiologi
Ketiga, Cassirer membuat batasan yang tegas mengenai animale rasionale, meskipun ia tidak benar-benar meninggalkan penafsiran istilah ini. Bahasa konseptual dan sistematis sebagai sumber rasio dianggapnya tidak dipandang menyeluruh sehingga Cassirer menambahkan unsur simbolik, yaitu bahasa emosional. Bahasa bukanlah ekspressi pikiran atau gagasan, melainkan ekspresi perasaan-perasaan (p.40). Lebih jelasnya, Cassirer menyangsikan unsur “rasio” yang tidak memadai bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia. Dengan demikian kita dapat menunjukkan ciri-ciri, jalan baru memahami manusia.
Penggunaan Data dan Percobaan Psikobiologi
Pada bab tiga secara rinci
Cassirer memberikan penjelasan atas istilah animale symbolicum. Sistem bahasa
sebagai sebuah simbol menunjukkan ciri dan pembedaan terhadap hasil kebudayaan.
Sehingga perilaku simbolis manusia yang sederhana dan konkret dapat disaksikan
pada tindakan-tindakan binatang. Hal ini diambil dari contoh Pavlov (rangsang
representatif), sedangkan pada Wolfe dan Yerkers percobaan-percobaan
memperlihatkan proses simbolis dari binatang sukar untuk diamati.
Inti point dari Yerkers
rupanya dicerna betul oleh Cassirer –sehingga data-data dan hasil uraian
Yerkers ini mengembangkan pemikiran dasar Cassirer tentang proses simbolis
manusia. Selain itu Georg Revesz mengidentifikasikan fungsi bahasa binatang
yang tak mengandung banyak makna (dibalik simbol), sebab hanya bentuk
komunikasi dan kemahiran-kemahiran melalui latihan. Menambahkan ciri-ciri yang
berbeda dari hasil penelitian Wolfgang Koehler bahwa pada tingkat tertentu
bianatang hanya memainkan gerak-gerik atau tingkah laku untuk mengekspresikan
kemarahan, rasa takut, sakit, canda dan gembira secara spontan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan: Pertama, bahasa emosional membedakan secara jelas antara manusia dan hewan (alam dunia dan alam hewani). Kedua, intelegensi-simbolis dan imajinasi simbolis hanya bisa dikembangkan oleh manusia. Dasar ini mengutip karya E.L. Thorndike tentang intelegensia binatang. Ketiga, manusia dalam membentuk nilai-nilai moral dan intelektualnya hanya mampu dilakukan jika ada struktur dan arsitekturnya. Penggambaran ini secara lebih rinci diambil dari kasus juga kisah Helen Keller dan Laura Bridgman. Dan terakhir point yang didapat adalah relasi pemikiran simbolis yang dibentuk dari proses pengandaian (prasangka) dan penyadaran.
Dunia Ruang dan Waktu Manusiawi
Bentuk-bentuk kebudayaan tidak bisa dilepaskan
dari sifat ruang dan waktu dalam pengalaman manusiawi –di mana yang demikian
itu disebut oleh Cassirer sebagai ruang dan waktu organis. Pengalaman
(manusiawi) menggunakan sistem reaksi-reaksi, diferensiasi rangsang fisik dan
respons yang akan menemukan bentuk spasial dalam menggunakan proses ideasional
dan ruang perseptual. Cassirer memberikan contoh sederhana dari seekor anak
ayam yang mencoba keluar dari cangkang telur untuk menemukan ruang kehidupan
yang lain. Hewan yang sudah memiliki sistem reaksi, diferensiasi dan respon
dengan mudah beradaptasi karena sudah dibekali sifat naluri yang kuat dan
langsung bisa menyesuaikan dengan habitatnya. Berbeda dengan manusia, meski
memiliki naluri juga namun ada sistem-sistem yang lebih kompleks dari manusia. Sehingga
manusia sendiri harus menemukan ‘dunia’-nya yang lebih nyaman, aman, tentram
dan bahagia. Maka dari itu bahasa, mitis, ilmu pengetahuan, agama, seni
merupakan proses manusia untuk menemukan hidupnya (habitat) yang manusiawi.Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan: Pertama, bahasa emosional membedakan secara jelas antara manusia dan hewan (alam dunia dan alam hewani). Kedua, intelegensi-simbolis dan imajinasi simbolis hanya bisa dikembangkan oleh manusia. Dasar ini mengutip karya E.L. Thorndike tentang intelegensia binatang. Ketiga, manusia dalam membentuk nilai-nilai moral dan intelektualnya hanya mampu dilakukan jika ada struktur dan arsitekturnya. Penggambaran ini secara lebih rinci diambil dari kasus juga kisah Helen Keller dan Laura Bridgman. Dan terakhir point yang didapat adalah relasi pemikiran simbolis yang dibentuk dari proses pengandaian (prasangka) dan penyadaran.
Dunia Ruang dan Waktu Manusiawi
Sedangkan “Waktu” bagi Cassirer adalah ruang organis itu sendiri yang arusnya terus berjalan namun tidak bisa kembali dengan sama persis. Artinya organisme tidak berada pada “lokasi tunggal”, meminjam istilah Whitehead. Fungsi ingatan pada makhluk organis adalah ‘rekaman’ pengalaman dari kejadian-kejadian yang berpengaruh terhadap reaksi-reaksi selanjutnya (masa depan). Ingatan ini merupakan proses pengakuan dan identifikasi, suatu proses ideasional yang amat kompleks (hal.76). Jadi, waktu dan fungsi ingatan merangkai sebuah konsepsi tata rangkai dengan kerangka lain yang disebut ‘ruang’. Singkatnya, makhluk simbolis manusia tidak hanya merangkai ingatan-ingatan (kesadaran) namun juga bisa merangsang pengalaman-pengalaman menjadi pelajaran yang berarti. Dimensi masa kini, depan dan lampau yang tak terpisahkan dari proses simbolis makhluk organis mencirikan manusia dengan hewan melalui struktur dimensi waktu tersebut. Alhasil, kekuatan simbolis manusia bisa mengembara melawati batas keberadaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar