Suatu saat
ketika shalat Jum’at, saya membaca sebuah buletin dakwah. Saya tertarik
dengan tema yang diangkat buletin tersebut. Temanya mengenai “Nikah Mut’ah”.
Membaca paragraf pertama saja saya sudah tersenyum bahkan sampai-sampai ingin
tertawa. Betapa tidak, pada paragraf pertama tersebut dikatakan bahwa nikah
mut’ah itu disejajarkan dengan perzinahan atau dalam artian lain bahwa nikah
mut’ah sama dengan perzinahan, tidak ada beda di antara keduanya.
Saya yakin
orang yang berpikir jernih dan tidak mendahulukan hawa nafsunya akan menganggap
bahwa pernyataan seperti itu adalah keliru. Nikah mut’ah adalah ikatan tali
pernikahan antara seorang laki-laki dan wanita dengan mahar yang telah
disepakati dalam akad, sampai pada batas waktu tertentu. Sedangkan perzinahan
adalah hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim dan merupakan
perbuatan dosa besar.Pernah ada teman saya yang bertanya apakah nikah mut’ah
itu bisa tanpa wali, saksi, dan pemberian nafkah? Mendengar pertanyaan seperti
itu, saya teringat dengan perkataan seorang ustadz yang mengatakan bahwa tidak
wajib adanya wali dan saksi, tetapi alangkah baiknya jika ada wali dan saksi.
Mengenai pemberian nafkah – masih menurut ustadz itu – tergantung perjanjian
ketika akad.
Hukum Nikah
Mut’ah dalam Al-Qur’an
Allah
berfirman, “…Maka istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka mahar (mas kawin) dengan sempurna…” (Q.S. An-Nisa: 24)
Al-Qurthubi,
Al-Syaukani dan orang-orang yang sependapat dengan mereka mengatakan bahwa
hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah mut’ah yang sudah
ditetapkan sejak permulaan Islam. (Tafsir Qurthubi, juz 5, hlm. 130; Ma’a
Al-Qur’an karangan Baquri, hlm. 167; Al-Ghadir, juz 6, saduran dari tafsir
Syaukani, juz 1, hlm. 144).
Dalam
Mustadrak Al-Hakim dan kitab-kitab yang lain disebutkan bahwa Ibnu Abbas
bersumpah bahwa Allah menurunkan ayat tersebut untuk pembatasan waktu dalam
mut’ah. (Mustadrak Al-Hakim, juz 2, hlm. 305 berikut keterangan Al-Dzahabi yang
terdapat di tepi kitab tersebut pada hlm. Yang sama).
Ibnu Abbas,
Ubai bin Ka’ab, Said bin Zubair, dan Ibnu Mas’ud membaca ayat tersebut dengan
menyisipkan tafsirnya dengan bacaan sebagai berikut: “Barangsiapa di antara
kalian melakukan perkawinan dengan menggunakan batas waktu maka bayarlah
maharnya.”
Al-Razi dan
Al-Naisaburi setelah meriwayatkan bacaan tesrebut dari Ibnu Abbas dan Ubai bin
Ka’ab berkata, bahwa seluruh sahabat tidak ada yang menyalahkan bacaan kedua
sahabat itu sehingga dapat dikatakan bahwa bacaan tersebut telah disepakati
kebenarannya oleh seluruh umat. (Tafsir Al-Naisaburi yang terdapat di tepi
kitab Tafsir Al-Thabari juz 5, hlm. 18 dan dalam Kitab Tafsir Al-Razi, juz 10,
hlm. 51, cet. Th. 1357 H).
Berdasarkan
ayat al-Qur’an di atas dan beberapa tafsirnya diketahui bahwa Islam telah
mensyariatkan nikah mut’ah. Namun, ada sebagian orang yang menganggap bahwa
nikah mut’ah telah dinasakh oleh ayat al-Qur’an yang lain.
Untuk menjawab
pernyataan seperti itu, cukuplah saya mengutip perkataan Al-Zamakhsyari dalam
buku tafsirnya A-Kasysyaf “Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut’ah
sudah dihapus, maka akan kujawab ‘tidak’, karena seorang wanita yang dinikahi
secara mut’ah dapat disebut sebagai istrinya.” (Al-Kasysyaf juz 3, hlm. 177,
cet. Beirut).Anehnya lagi, ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa nikah
mut’ah telah dinasakh (dihapus) oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Aalihi
wassalam. Tetapi pendapat kebanyakan sahabat dan pengikut Al-Zhahiri, Syafi’I,
dan Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa hadits tidak
dapat menasakh Al-Qur’an. (Al-Mustashfa juz 1, hlm. 124).
Hadits-hadits
yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan – menurut saya – tidak
dapat kita ikuti, karena terjadi kontradiksi antara hadits yang satu dengan
yang lain mengenai waktu pengharamannya, diantaranya sebagai berikut:
Ø Nikah
mut’ah halal pada permulaan Islam, diharamkan pada saat perang Khaibar. (Zad
Al-Ma’ad, hlm. 183)
Ø Dihalalkan
pada permulaan Islam, diharamkan pada Fath Mekkah.Diharamkan pada hari Haji
Wada’ (Al-Sirah Al-Halabiyah, juz 3, hlm. 104)
Ø Diharamkan
pada saat perang Tabuk, dll.
Bahkan ada
yang mengatakan bahwa nikah mut’ah dibolehkan sebanyak 7 kali dan dilarang 7
kali, yakni pada saat perang Khaibar, Perang Hunain, saat Rasulullah melakukan
Umrah Qadha’, Fath Mekkah, Perang Authas, Perang Tabuk, dan Haji Wada’.
Untuk anggapan
yang seperti ini cukuplah kita kutip perkataan Ibnu Qoyyim, “Tidak pernah
terjadi dalam syariat penghapusan dua kali dalam satu masalah, dan tidak pernah
terjadi penghapusan tentang mut’ah.” (Zad Al-Ma’ad, juz 2, hlm. 183).
Siapa yang
Mengharamkan Nikah Mutah?
“Kita, para
sahabat di zaman Nabi Sawaw dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan
segenggam kurma dan tepung sebagai mas kawinnya, kemudian Umar mengharamkannya
karena ulah Amr bin Khuraits.” (Shahih Muslim, juz 4, hlm. 131, cet. Masykul
Th. 1334 H). Al-Hakam, Ibnu
Juraij dan sesamanya meriwayatkan bahwa Imam Ali kw berkata, “kalau bukan
karena Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang berzina kecuali
orang-orang yang benar-benar celaka.”
Dalam riwayat
lain Imam Ali berkata, “Kalau pendapatku tentang nikah mut’ah tidak kedahuluan
Umar, aku akan perintahkan nikah mut’ah. Setelah itu, jika masih ada orang yang
berzina dia memang benar-benar celaka.” (Tafsir Thabari, juz 5, hlm. 9)
SANADNYA SHAHIH. Umar adalah
yang pertama kali melarang nikah mut’ah. (Tarikh Khulafa’, Imam as-Suyuthi, Bab
II, hlm. 158).
Dari
riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal di zaman Nabi
Sawaw dan zaman Abu Bakar, tetapi ketika Umar menjadi khalifah, ia mengharamkan
nikah mut’ah hanya karena ulah seseorang. Tentunya pendapat Umar ini tidak
pantas kita ikuti, apalagi pengharaman atas nikah mut’ah hanya karena adanya
penyelewengan yang dilakukan perorangan. Apakah jika ada orang yang
menyalahgunakan nikah da’im kita akan mengharamkan nikah da’im (nikah
permanen)?
Ada beberapa
kawan kita yang ”shaleh” sering kali mengatakan bahwa bukan Umar yang
mengharamkan nikah mut’ah. Umar hanya mempertegas apa yang telah diharamkan
oleh Rasulullah.
Marilah kita
menyimak secara seksama apa yang diucapkan oleh Umar, ”Dua mut’ah yang
dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku
akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut’ah perempuan dan mut’ah haji.””
Silakan Anda
cermati, disitu Umar dalam mengharamkan nikah mut’ah tidak mengatasnamakan
Rasulullah, tetapi mengatasnamakan dirinya sendiri (ra’yu), terlihat dalam
kalimat, “Dua mut’ah yang dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi aku
melarang kedua-duanya.”
Umar sendiri
dalam suatu riwayat mengakui bahwa ia yakin betul Allah telah mensyariatkan
nikah mut’ah di dalam Al-Qur’an.
“Saya melarang
nikah mut’ah walaupun nikah itu disebut dalam al-Qur’an dan juga haji tamattu’
walaupun haji itu dikerjakan oleh Nabi Sawaw.” (Sunan An-Nasai juz 5, hlm. 153;
Al-Ghadir, juz 6, hlm. 205, di situ disebutkan bahwa keseluruhannya hasil
ijtihad Umar). Bahkan, Ibnu
Umar ketika di tanya, “Bukankah ayahandamu mengharamkannya (nikah mut’ah)? Ia
menjawab, “Benar! Tetapi itu pendapatnya sendiri. (Dalail Al-Shidq, juz 3, hlm.
97)
Hadits-hadits
Ahlulbait Tentang Nikah Mut’ah
Imam Ja’far
Shadiq meriwayatkan dari ayah-ayahnya bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah
berkata, “Farji-farji wanita bisa menjadi halal dengan tiga cara, yaitu nikah
da’im, nikah mut’ah, dan dengan memilikinya sebagai budak.”Diriwayatkan bahwa
Imam Ali pernah melakukan mut’ah dengan seorang wanita dari Bani Nasyhal di
kota Kufah. (Al-Wasa’il bab Nikah Mut’ah)
Abi Bashir
berkata dalam shahihnya: Aku bertanya kepada Imam Baqir tentang halalnya nikah
mut’ah. Beliau menjawab: Halalnya nikah mut’ah tercantum dalam Al-Qur’an Surat
An-Nisa ayat 24. (Al-Wasa’il bab Nikah Mut’ah).
Dan masih
banyak lagi hadits dari keluarga Rasulullah yang suci mengenai halalnya nikah
mut’ah. Untuk mengakhiri tulisan saya kali ini, saya akan mengutip tulisan
Prof. Sachiko Murata, “Nikah mut’ah adalah cara yang paling tepat dalam
menyelesaikan krisis seksual generasi muda Amerika, saya cukup heran dengan
bangsa muslim yang menolak cara paling sehat, aman, dan melindungi hak
perempuan. Jika bangsa Islam menolak maka saya menyerukan kepada bangsa Eropa dan
Amerika mengadopsi mut’ah sebagai alternatif paling solusif dan sehat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar