Membaca Konde Penyair Han* (Esai ini merupakan bagian kesimpulan dari esai panjang
berjudul Narasi Kuliner dan Problem Identitas, Membaca Konde Penyair Han yang
ada dalam buku Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Kritik
Sastra DKJ 2013)
Oleh Sulaiman Djaya
Refleksi Bersama
Membaca puisi-puisi Hanna
Fransisca yang menarasikan diri mereka dengan ujaran reflektif dan sindiran
halus itu, meski berangkat dari latar belakang kehidupan si penyairnya, entah
kenangan dan ingatannya tentang tanah kelahiran plus kampung halaman dan sosok
ibunya, dan upayanya menggunakan adat tradisi dan mitologi etnik Tionghoa
sebagai reference dan kiasan puisi-puisinya, tersebut sebenarnya dapat dibaca
sebagai refleksi bersama dalam konteks budaya dan lanskap kewargaan kita di
Indonesia. Salah-satu contohnya, yang dengan mempersembahkan beberapa puisinya,
yang merupakan dialog fiktif dan upaya mempersembahkan kepada sosok Gus Dur,
itu seakan berusaha mengajak dan menegur kita secara halus untuk belajar “bagaimana
menjadi manusia” dari figur KH. Abdurrahman Wahid, yang memang telah kita kenal
sebagai figur pembela humanisme yang teguh dan lantang, seperti terlihat dalam
perjuangan dan upayanya menolak dan melawan diskriminasi SARA dalam konteks
politik dan budaya Indonesia.
Berangkat dari dan
berdasar aras wawasan tersebut, sejumlah puisi yang termaktub dalam Konde
Penyair Han-nya Hanna Fransisca pada dasarnya datang dari seorang wakil warga
Negara Indonesia, dari salah-satu etnik dari sekian banyak etnik di negeri
kita, ketika ia merasa ada “ketidakadilan”, “prasangka negatif”, dan “tuduhan
sepihak” yang merasa perlu ia hadirkan dan ia wacanakan ke hadapan kita semua
demi mendapatkan “pemahaman” dan “empati”. Maka wajar, jika dalam beberapa
puisinya di buku Konde Penyair Han, itu Hanna Fransisca tak segan-segan
menghadirkan dan menggambarkan etnik Tionghoa sebagai korban, utamanya korban
amok politik pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta.
Peristiwa Mei 1998
tersebut bahkan dapat dikatakan sebagai inspirasi dan rujukan penting bagi kreativitas
penulisan beberapa puisinya. Dengan latar dan rujukan itu pulalah kemudian si
penyairnya berusaha merefleksikannya dengan jalan menengok atau berziarah
kembali ke “genealogy” wangsa dirinya, adat istiadat, dan mitologi Tionghoa,
yang tentu saja, sangat ia kenal dan sangat ia akrabi, karena ia sendiri hidup
bersama dan menghidupi adat istiadat, tradisi, dan mitologi etnik Tionghoa itu.
Inilah salah-satu pijakan dan latar-belakang yang tak dapat diabaikan ketika
kita membaca puisi-puisinya Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han.
Penerokaan dan refleksi
seputar identitas dan etnisitas yang terpancar lewat dan dalam sejumlah puisi
Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han itu mengingatkan saya pada
refleksi-refleksi diarisnya Amin Maalouf yang cukup investigatif dan
mencerahkan saat Amin Maalouf mencoba mengangkat dua isu penting tersebut dalam
hidup kita secara politik dan kultural. Amin Maalouf dan Hanna Fransisca bahkan
memiliki kemiripan reflektif, meski Amin dan Hanna menggunakan media yang
berbeda untuk mengangkat soal-soal tersebut, esai dan puisi. Keduanya pun
berangkat dari dunia politik-kultural dan pengalaman mereka masing-masing, yang
karena sifatnya yang universal itu, kemudian memiliki nada keprihatinan yang
tak jauh berbeda. Lewat esai-esai diaris-reflektifnya dalam bukunya yang
berjudul In the Name of Identity itu, seperti halnya kemudian nada serupa
tampak dalam sejumlah puisi Hanna, Malouf memaklumkan kita bahwa soal identitas
dan etnisitas kerapkali menjadi sumber kekerasan dan pertikaian, meski apa yang
kita sebut “identitas” itu sendiri sesungguhnya tak pernah ajeg. “Orang bertanya pada saya”, tulis Maalouf, “apakah
saya lebih Perancis atau lebih Lebanon? Dan saya selalu melontarkan jawaban
yang sama: Keduanya! Saya berkata demikian tidak memaksudkan supaya jawaban
saya terdengar adil dan berimbang, tetapi karena jawaban yang lain sama artinya
dengan kebohongan” (Amin Maalouf, 2004: 1-5).
Dilema
identitas sebagaimana yang diungkapkan Maalouf tersebut serupa dengan dilema
yang dialami dan dihidupi oleh Hanna Fransisca, seperti tergambar dalam
sejumlah puisinya, di mana ia seorang etnik Tionghoa sekaligus “hidup” di
Indonesia, hingga tak teringkari bahwa Hanna adalah seorang Tionghoa sekaligus
Indonesia, dan itulah identitasnya, bila kita meminjam logika dan wawasannya
Amin Maalouf.
Seperti
halnya Maalouf, Hanna pun seakan-akan hendak mengatakan bahwa menetapkan
identitas seseorang atau pun kelompok masyarakat secara ajeg bisa menimbulkan
masalah dan mengingkari realitas dunia dan hidup saat ini, di mana banyak orang
menyandang sematan identitas yang beragam secara bersamaan. Dalam dunia saat
ini, sebagaimana diungkapkan Amin Maalouf dan Amartya Sen, misalnya, tak lagi
bisa dipahami sebagai konsep general yang mengingkari pengalaman-pengalaman
khusus dan unik setiap individu. Sebagai contoh, Kartu Identitas semisal KTP,
mestilah lebih dipandang sebagai kebutuhan statistik saja ketimbang sebagai
definisi substantif seseorang yang menyandangnya. Sebab, seperti telah kita
maphumi bersama, di jaman ini sudah banyak sekali individu-individu yang
sebenarnya hidup dengan sekian identitas campuran dan menghidupinya dengan
sukarela atau terpaksa, seperti Amin Maalouf yang keturunan Arab-Libanon,
beragama Kristen, mengenal bahasa Arab secara fasih yang juga merupakan bahasanya
banyak kaum muslim, tapi pada saat bersamaan adalah seorang warga-negara
Perancis dan menulis dalam bahasa Perancis. Kenyataan serupa juga dapat kita
kiaskan pada kasus Hanna, seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Singkawang,
Kalimantan Barat, dan kini hidup di Jakarta, akrab dan menghidupi adat istiadat
dan budaya Tionghoa, namun pada saat bersamaan tinggal di Indonesia dan menulis
juga berbicara dengan dan dalam Bahasa Indonesia.
Selain
Amin Maalouf dan Amartya Sen, kita juga bisa menimba refleksi bersama ini dari
tulisan-tulisan dan wawasan filosofisnya Richard Rorty, tentu sebagai cermin
untuk menilai dan melihat arti refleksi yang dihadirkan oleh sejumlah puisi
Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han itu. Dalam esai panjangnya yang berjudul
Consequences of Pragmatism itu, Richard Rorty, yang diinspirasi oleh
renungan-renungan filsafatnya Adorno dan Hannah Arendt, dan pengalaman sejarah
nasionalisme modern dan rezim kekuasaan politik otoritarianismenya, kita diajak
menengok sebuah masa ketika kesadaran kita tergiring kepada pengalaman pahit
abad 20, ketika kepercayaan ideologis yang dogmatis malah memanen kekejaman dan
kemalangan bagi jutaan ummat manusia. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences
of Pragmatism itu, contohnya, Rorty menginterupsi kepercayaan dan pemahaman
kita tentang apa yang kita terima dan kita percayai sebagai kebenaran yang
masih berbasis pendasaran metafisik dan universalisme yang mengatasi sejarah
alias tidak didasarkan pada pengalaman kefanaan kita yang lebih nyata. “Truth
is not the sort of thing one should expect to have a philosophically
interesting theory about”, tulis Rorty, “truth is just the name of a property
which all true statements share” (Richard Rorty, 1991: xiii-xxi).
Di sini,
dialog dan sharing pemahaman merupakan media dan jalan yang mesti dipilih dalam
lingkungan sosial dan situasi epistemik dunia modern saat ini, termasuk melalui
tulisan dan penyebaran dan publikasi wacana. Menurut Rorty, contohnya, sudah
bukan saatnya lagi bagi kita untuk bertanya “apakah kita” seperti lazimnya
filsafat tradisional, tetapi lebih baik bertanya “siapakah kita”, di mana
dengan pertanyaan kedua itu kita akan lebih menyadari eksistensi dan posisi
kita dalam keragaman dan situasi epistemik jaman ini. Singkatnya lebih
realistis, sebagaimana yang juga dibayangkan oleh Amartya Sen dan Amin Maalouf.
Tapi, sepertinya, meski hanya tersirat saja, dalam beberapa puisi Hanna
Fransisca, pertanyaan dan refleksi “apakah kita” dan “siapakah kita” sama-sama
penting. Lebih khusus dan spesifik, dalam kasus sejumlah puisi Hanna Fransisca
sebagaimana yang termaktub dalam buku Konde Penyair Han itu, pertanyaan dan
refleksinya menjadi “Apakah Tionghoa” dan “Siapakah Tionghoa”, yang kemudian
seakan-akan hendak merenungkan, merefleksikan, dan mempertanyakan kembali “Apakah
Indonesia” dan “Siapakah Indonesia”.
Dari
sinilah kita dapat juga menilai kekhasan sejumlah puisi Hanna Fransisca,
minimal dalam pemilihan tema dan isu pergulatan puisi-puisinya dalam buku Konde
Penyair Han itu, di tengah dunia penulisan yang berjuang untuk tidak menjadi
sekadar “hiburan” dan “propaganda” semata, jika saya meminjam istilahnya
Daniele Sallenave, di tengah serbuan kamuflase (rekayasa) buku-buku yang
melabelkan best sellers, di mana sastra atau penulisan rentan menjadi komoditas
sesaat saja. Di sini, dengan meminjam langsung penuturannya Daniele Sallenave,
sastra mendapati fungsi dirinya lebih pada upaya membuka suatu “renungan”, yang
tak bakal berakhir dan tak bakal diakhiri, tentang makna kehadiran manusia-manusia konkret (Kalam
Edisi 9, 1997: 63-64).
Setidak-tidaknya,
apa yang “diidealkan” Daniele Sallenave tentang di mana sastra, yang dalam
konteks tulisan ini dapat dikatakan di mana puisi, mesti menempati dirinya atau
“menjalankan” fungsinya sebagai usaha membuka kemungkinan bagi “renungan” akan
manusia-manusia atau subjek-subjek konkret itu tercermin juga dalam sejumlah
puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han. Sejumlah puisi Hanna
Fransisca dalam buku Konde Penyair Han, meski tentu saja tak luput menjadi
“pembelaan” subjektif dan sepihak, berusaha menempatkan dan memposisikan diri
sebagai suara-suara “perenungan” dan “refleksi-investigatif” dalam soal-soal
identitas, kewargaan, dan etnisitas, yaitu “Tionghoa” dan “Indonesia” pada saat
bersamaan.
Pustaka
Buku:
Amin
Maalouf, In the Name of Identity, Alih Bahasa: Ronny Agustinus, Resist Book
2004.
Amartya
Sen, Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas, Alih Bahasa: Arif Susanto,
Marjinkiri 2007.
Hanna
Fransisca, Konde Penyair Han, KataKita 2010.
Jung
Chang, Angsa-Angsa Liar, Alih Bahasa: Honggo Wibisana, Gramedia 2005.
Richard
Rorty, Consequences of Pragmatism, Harvester 1991.
Risalah
Dari Ternate, Ummu Press Oktober 2011.
Sauk
Seloko, Dewan Kesenian Jambi 2012.
Tan Lioe
Ie, Malam Cahaya Lampion, Bentang 2005.
Toety
Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, Yayasan Obor Indonesia 2000.
Tuah Tara
No Ate, Ummu Press Oktober 2011.
Wahyu
Arya, Sebuah Pintu yang Terbuka, Kubah Budaya 2012.
Jurnal
dan Majalah:
Majalah
BASIS Edisi Maret-April 2007.
Jurnal
Kalam Edisi 9, 1997.
Majalah
INTISARI Edisi Agustus 2004.
*Edisi yang
utuh dan lengkap esai ini dapat dibaca di buku Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara
Kritik Sastra DKJ 2013 halaman 145-167.