Oleh Ignatius
Donnelly (Sumber: “ATLANTIS – The
Antediluvian World”, New York: Harper & Brothers, 1882)
Tidak ada yang improbabel dalam cerita ini, sepanjang melukiskan bangsa hebat,
kaya, beradab, dan berpendidikan. Hampir setiap bagian dalam kisah Plato bisa
disejajarkan lewat deskripsi bangsa Mesir atau Peru; padahal, dalam beberapa
hal, keterangan Plato tentang Atlantis tidak menyamai deskripsi Herodotus
tentang keagungan Mesir, atau gambaran Prescott tentang kemakmuran dan
peradaban Peru. Contoh, Prescott, dalam Conquest of Peru-nya (vol. I
hal. 95), mengatakan:
“Yang paling mahsyur dari kuil-kuil Peru, kebanggaan
ibukota dan keajaiban kerajaan, berada di Cuzco, di mana, di bawah kemurahan
hati penguasa yang berturut-turut, ia telah menjadi begitu kaya sehingga
mendapat nama Coricancha, atau ‘Place of Gold’. ….Interior kuil itu
betul-betul tambang emas. Di dinding barat dihiasi lambang Dewa, terdiri dari
sebuah wajah manusia yang menatap ke depan dari tengah-tengah sorot cahaya yang
tak terkira banyaknya, yang memancar darinya ke setiap arah. Seperti matahari
yang sering dipersonifikasikan dengan kita. Sosok itu terukir pada pelat emas
raksasa, berdimensi besar, bertaburkan zamrud dan batu mulia… Dinding dan atap
di mana-mana dilapisi ornamen emas; setiap bagian interior kuil penuh dengan
pelat yang dipelitur dan tiang logam mulia; perhiasan temboknya juga terbuat
dari material yang sama.”
Dalam cerita Plato tak ada keajaiban, tak ada mitos,
tak ada kisah dewa, gorgon (tiga bersaudari berambut ular yang mempunyai
kemampuan mengubah seseorang yang memandang mereka menjadi batu—penj), goblin
nakal, atau raksasa. Ini adalah sejarah sederhana dan masuk akal tentang sebuah
bangsa yang membangun kuil, kapal, dan kanal; yang hidup lewat pertanian dan
perdagangan; yang, dalam mengejar perdagangan, menjangkau semua negeri di
sekeliling mereka. Sejarah awal kebanyakan bangsa dimulai dengan dewa dan
setan, sementara di sini kita tidak menemukan yang seperti itu; kita melihat
seorang imigran memasuki negeri tersebut, menikahi wanita pribumi, lalu
menetap; perlahan-lahan sebuah bangsa besar tumbuh di sekeliling dia. Itu
mengingatkan kita pada informasi yang diberikan oleh para pendeta Mesir kepada
Herodotus. “Selama jangka waktu 11.340 tahun, tegas mereka,” kata Herodotus,
“tidak ada dewa yang muncul dalam bentuk manusia,…mereka sama sekali menolak
kemungkinan seorang manusia adalah keturunan dewa.” Jika Plato berupaya menarik
sebuah kisah ajaib dan menyenangkan dari imajinasinya sendiri, kita semestinya
tidak mendapatkan kisah yang begitu sederhana dan masuk akal. Dia bisa memberi
kita sebuah sejarah seperti legenda mitologi Yunani, penuh dengan petualangan
para dewa dan dewi, peri, faun (dewa pedesaan yang memiliki tanduk,
kaki, dan ekor kambing—penj), dan satyr (dewa hutan yang sebagian
wajahnya mirip kambing atau kuda—penj).
Juga tidak ada bukti dalam sejarah ini bahwa Plato
berupaya menyampaikan pelajaran moral atau politik di dalamnya, dalam samaran
fabel, sebagaimana dilakukan Bacon dalam New Atlantis dan More dalam Kingdom
of Nowhere. Tak ada cita-cita republik yang dilukiskan di sini. Ini adalah
sejarah terus-terang dan masuk akal tentang sebuah bangsa yang diatur oleh
raja-raja mereka, hidup dan berkembang sebagaimana bangsa-bangsa lain.
Plato mengatakan bahwa di Atlantis terdapat “kerajaan
besar dan menakjubkan”, yang “mengagresi seluruh Eropa dan Asia tanpa alasan”,
menjadi saksi luasnya kekuasaannya. Ia tak hanya menundukkan Afrika sampai
Mesir, dan Eropa sampai Italia, tapi “juga menguasai bagian-bagian benua itu”,
yakni “benua sebrang”, Amerika, “yang mengelilingi samudera sungguhan”.
Bagian-bagian Amerika yang dikuasainya adalah, sebagaimana akan kami tunjukkan
nanti, Amerika Tengah, Peru, dan Lembah Mississippi, yang ditempati oleh “Mound
Builder” (Pembangun Gundukan).
Lebih jauh, dia memberitahu kita bahwa “kekuasaan luas
ini terhimpun menjadi satu”; yakni, dari Mesir sampai Peru merupakan satu
kerajaan gabungan. Kita akan menyimak nanti bahwa legenda Hindu mengenai Deva
Nahusha dengan jelas merujuk pada kerajaan luas ini, yang meliputi seluruh
dunia yang dikenal.
Bukti kuat lain soal kebenaran cerita Plato ditemukan
dalam fakta bahwa di atas Azores kini ditemukan bebatuan lava hitam, dan
bebatuan berwarna merah dan putih. Dia mengatakan bahwa mereka membangun dengan
batu putih, merah, dan hitam. Sir C. Wyville Thomson menggambarkan leher sempit
tanah di antara Fayal dan Monte da Guia, disebut “Monte Queimada” (gunung yang
terbakar), sebagai berikut: “Sebagiannya terbentuk dari tufa bertingkat-tingkat
yang berwarna cokelat gelap, dan sebagiannya dari bongkahan lava hitam,
berpori, dan masing-masing memiliki rongga besar di tengahnya, yang pasti
disemburkan sebagai bom vulkanis dalam pertunjukan kembang api meriah pada
suatu periode melebihi catatan sejarah Acorea, tapi di akhir tarikh geologis
pulau itu.” (Voyage of the Challenger, vol. II, hal. 24). Dia juga
menggambarkan dinding amat besar dari batu vulkanis hitam di pulau tersebut.
Daratan Atlantis, cerita Plato, “diolah selama
berabad-abad oleh bergenerasi-generasi raja.” Jika, sebagaimana kita yakini,
pertanian, penjinakan kuda, lembu jantan, domba, kambing, dan babi, dan
penemuan atau pengembangan terigu, gandum, gandum hitam, dan gerst (gandum
untuk membuat bir—penj) bermula di kawasan ini, maka bahasa Plato berkenaan
dengan “berabad-abad, dan generasi raja berturut-turut” selaras dengan periode
panjang yang diperlukan untuk membawa manusia dari kondisi biadab menuju
beradab.
Di parit besar yang mengelilingi seluruh daratan
seperti lingkaran, dan yang menjadi tujuan aliran dari pegunungan, barangkali
kita melihat asal-usul empat sungai Firdaus, dan emblem salib yang dikelilingi
oleh lingkaran, yang, sebagaimana akan kami tunjukkan nanti, sejak zaman
terdahulu pra-Kristen, diakui sebagai emblem Taman Eden.
Kita tahu bahwa Plato bukan penemu nama Poseidon,
sebab penyembahan Poseidon adalah lazim di zaman terdahulu Eropa; “Penyembahan
Poseidon tampaknya menjadi istimewa di semua koloni sebelum zaman Solon.” (Prehistoric
Nations, hal. 148). Penyembahan ini “dibawa ke Spanyol, dan ke Afrika
Utara, tapi paling melimpah ke Italia, ke banyak pulau, dan ke kawasan-kawasan
sekitar Laut Aegea; juga ke Thrace.” (Ibid, hal. 155).
Poseidon, atau Neptunus, dilambangkan dalam mitologi
Yunani sebagai dewa laut; tapi dia difigurkan berdiri di kereta perang yang
ditarik oleh kuda. Pengaitan kuda (hewan darat) dengan dewa laut tidak bisa
dipahami, kecuali dengan keterangan yang diberikan oleh Plato. Poseidon adalah
dewa laut lantaran dia memerintah daratan besar di laut, dan dia adalah dewa nasional
sebuah bangsa maritim; dia dikaitkan dengan kuda, sebab di Atlantis kuda
merupakan hewan pertama yang dijinakkan; dan, sebagaimana ditunjukkan Plato,
penduduk Atlantis memiliki gelanggang pacuan kuda besar untuk peningkatan
kecepatan kuda; dan Poseidon dilambangkan berdiri di kereta perang, pasti
karena kendaraan beroda ditemukan pertama kali oleh orang yang menjinakkan
kuda; dan mereka mewariskan kereta perang ini kepada keturunan mereka dari
Mesir sampai Inggris. Kita tahu bahwa kuda merupakan objek favorit untuk
pengorbanan kepada Poseidon oleh bangsa-bangsa purba dalam Periode Sejarah;
kuda dibunuh, lalu dilemparkan ke laut dari tebing tinggi. Pesta kuda keagamaan
pada masyarakat pagan Skandinavia merupakan sisa tradisi penyembahan Poseidon,
yang dahulu berlaku di sepanjang seluruh pantai Eropa; itu berlanjut sampai
masuknya masyarakat ke dalam agama Kristen, dan kemudian diberangus dengan
banyak kesulitan.
Kita menemukan dalam cerita Plato nama-nama beberapa
dewa Pheonician di antara raja-raja Atlantis. Dari mana Plato, seorang Yunani,
mendapatkan nama-nama ini kalau kisah tersebut fabel?
Apakah Plato,
saat menyatakan “buah-buahan yang berkulit keras, menghasilkan minuman, daging,
dan urap”, merujuk pada kelapa?
Sekali lagi: Plato menceritakan kepada kita bahwa
Atlantis berlimpahkan mata air dingin dan panas. Bagaimana dia bisa sampai
mendapatkan ide mata air panas sekiranya dia menarik gambaran dari imajinasinya
sendiri? Ada satu konfirmasi atas ceritanya, yaitu bahwa mata air panas sangat
berlimpah di Azores, yang merupakan potongan Atlantis yang masih bertahan; dan
pengalaman yang lebih luas daripada milik Plato telah mengajarkan orang ilmiah
bahwa mata air panas merupakan fitur lazim kawasan yang terkena ledakan
vulkanis.
Plato memberitahu kita, “Seluruh negeri sangat tinggi
dan terjal di sisi laut, tapi negeri itu sendiri, di sekitar dan sekeliling
kota adalah tanah datar, dikelilingi oleh pegunungan yang menurun ke arah
laut.” Kita mau tak mau harus memperhatikan profil “Bubungan Dolphin” (Dolphin’s
Ridge), sebagaimana terungkap lewat pengukuran dalam laut oleh Challenger, yang
ditampilkan sebagai gambar muka di pendahuluan buku ini, untuk melihat bahwa
ini merupakan deskripsi tepat atas ketinggian yang terjal tersebut. “Gunung
sekeliling,” yang melindungi daratan dari utara, terlambangkan dengan puncak
Azores yang menjulang hari ini.
Plato memberitahu kita bahwa kehancuran Atlantis
memenuhi laut dengan lumpur, dan mengganggu navigasi. Selama ribuan tahun orang
zaman kuno percaya bahwa Samudra Atlantis adalah “laut berlumpur, dangkal,
gelap, dan berkabut, Mare tenebrosum”. (Cosmos, vol. II, hal.
151).
Tongkat bercabang tiga Poseidon, atau trident,
terus berulang-kali muncul dalam sejarah kuno. Kita menemukannya di tangan
dewa-dewa Hindu dan dasar semua keyakinan agama purba.
“Di antara angka-angka, angka tiga sakral dianggap
sebagai lambang kesempurnaan, dan karenanya secara eksklusif diatributkan pada
Dewa Tertinggi, atau pada perwakilannya di dunia—raja, kaisar, atau penguasa
manapun. Untuk alasan ini emblem lipat-tiga berbagai bentuk ditemukan pada
sabuk, dasi, atau perlengkapan melingkar, sebagaimana bisa dilihat pada
karya-karya seni kuno di Yucatan, Guatemala, Chiapas, Meksiko, dan lain-lain,
setiap kali objek tersebut merujuk pada supremasi ilahi.” (Dr. Arthur Schott, Smith.
Rep., 1869, hal. 391).
Kita teringat pada “tiara” dan “tiga bundar
kedaulatan”.
Dengan cara yang sama, sepuluh kerajaan Atlantis
terlestarikan dalam semua tradisi kuno.
“Dalam angka yang diberikan oleh Bibel untuk patriark
Purba, kita mendapatkan contoh pertama persesuaian dengan tradisi berbagai
bangsa. Sepuluh disebutkan dalam Kitab Genesis. Bangsa-bangsa lain, ke masa
apapun mereka menelusuri leluhur mereka, entah sebelum atau sesudah Bah, entah
karakter mitos atau historis, mereka tetap pada angka sepuluh yang sakral ini,
yang telah diupayakan, dengan kegagalan, oleh beberapa pihak untuk dihubungkan
dengan spekulasi para filsuf keagamaan terkemudian mengenai nilai mistis
angka-angka. Di Chaldea, Berosus menyebutkan satu persatu sepuluh raja Purba
yang kekuasaan besarnya mencapai ribuan tahun. Legenda ras Iran memulai dengan
kekuasaan sepuluh raja Peisdaiden (Poseidon?), ‘orang-orang berhukum kuno, yang
hidup di Homa murni (air kehidupan)’ (nektar?), ‘dan yang memelihara kesucian
mereka’. Di India kita bertemu dengan sembilan Brahmadikas, yang, ditambah
Brahma (pendiri mereka), berjumlah sepuluh, dan yang disebut Sepuluh Petris,
atau Ayah. China menghitung sepuluh kaisar, pemikul-serta sifat ilahi, sebelum
permulaan masa sejarah. Jerman meyakini sepuluh leluhur Odin, dan Arab meyakini
sepuluh raja mitos Adites.” (Lenormant dan Chevallier, Ancient History of
the East, vol. I, hal. 13).
Kisah Plato mendapat konfirmasi dari sumber lain.
Sebuah kutipan yang terlestarikan di Proclus, diambil
dari sebuah karya yang sudah hilang, yang dikutip oleh Boeckh dalam komentarnya
tentang Plato, menyebutkan pulau-pulau di laut sebelah luar, di luar Pillars of
Hercules, dan mengatakan diketahui bahwa di salah satu pulau ini “penghuninya
melestarikan dari leluhur mereka kenangan Atlantis, pulau amat besar, yang
memegang kekuasaan atas semua pulau di Samudera Atlantik untuk waktu lama”.
Aelian, dalam Varia Historia-nya (kitab III,
bab XVIII), memberitahu kita bahwa Theopompus (400 SM) menceritakan
keterangan-keterangan sebuah wawancara antara Midas (Raja Phrygia) dan Silenus,
di mana Silenus mengabarkan keberadaan sebuah benua besar di luar Atlantik,
“lebih besar dari gabungan Asia, Eropa, dan Libya”. Dia menyatakan bahwa sebuah
ras manusia bernama Meropes tinggal di sana, dan memiliki kota-kota yang besar.
Mereka yakin bahwa negeri mereka adalah sebuah benua. Karena penasaran,
beberapa dari mereka menyebrangi samudera dan mengunjungi Hyperborean.
“Penduduk Gaul mempunyai tradisi mengenai subjek
Atlantis yang dikumpulkan oleh sejarawan Romawi, Timagenes, yang hidup di abad
pertama sebelum Masehi. Dia menggambarkan bahwa tiga bangsa berbeda tinggal di
Gaul: 1. Penduduk pribumi, yang saya duga adalah Mongoloid, yang sudah lama
tinggal di Eropa; 2. Penyerbu dari sebuah pulau jauh, yang menurut pemahaman
saya adalah Atlantis; 3. Gaul Arya.” (Preadamites, hal. 380).
Marcellus, dalam sebuah karya tentang bangsa Ethiopia,
membicarakan tujuh pulau yang terdapat di Samudera Atlantik—barangkali
Kepulauan Canary—dan penghuni pulau-pulau ini, kata dia, melestarikan kenangan
tentang sebuah pulau yang jauh lebih besar, Atlatis, “yang menguasai
pulau-pulau kecil tersebut untuk waktu lama”. (Didot Muller, Fragmenta
Historicorum Graecorum, vol IV, hal. 443).
Diodorus Siculus menceritakan bahwa bangsa Phoenician
menemukan “sebuah pulau besar di Samudera Atlantik, di luar Pillars of
Hercules, beberapa hari pelayaran dari pantai Afrika. Pulau ini berlimpah semua
jenis kekayaan. Tanahnya sangat subur; pemandangannya dipenuhi beraneka-ragam
sungai, gunung, dan hutan. Penghuninya mempunyai kebiasaan mengasingkan diri
selama musim panas ke rumah-rumah bagus di pedalaman, yang berdiri di
tengah-tengah taman yang indah. Ikan dan binatang buruan ditemukan
melimpah-ruah; iklimnya nyaman, dan pepohonannya berbuah sepanjang tahun”.
Homer, Plutarch, dan penulis kuno lainnya menyebutkan pulau-pulau yang terletak
di Atlantik, “beberapa ribu stadium dari Pillars of Hercules”. Sileus memberitahu
Midas bahwa terdapat satu benua lain selain Eropa, Asia, dan Afrika—“sebuah
negeri di mana emas dan perak begitu melimpah sampai-sampai dihargai tidak
lebih dari penghargaan kita terhadap besi”. St. Clement, dalam Epistle-nya
kepada Corinthians, mengatakan bahwa terdapat dunia lain di luar samudera
tersebut.
Di sini perhatian dapat ditujukan pada banyaknya
contoh kiasan dalam Perjanjian Lama mengenai “pulau-pulau laut”, khususnya
dalam Isaiah dan Ezekiel. Apa urusannya bangsa pedalaman, seperti Yahudi,
dengan laut dan pulau? Apakah keterangan-keterangan ini tumbuh dari tradisi
samar yang mempertalikan ras mereka dengan “pulau di laut”?
Orphic Argonaut bernyanyi tentang pembagian Lyktonia
kuno menjadi pulau-pulau terpisah. Dia berkata, “Saat Poseidon si rambut gelap,
dalam keadaan marah kepada sang Ayah, Kronion, memukul Lyktonia dengan trident
emas.”
Plato menyatakan bahwa orang Mesir memberitahu Solon
bahwa kehancuran Atlantis terjadi 9.000 tahun sebelum hari itu, yakni, sekitar
9.600 tahun sebelum era Kristen. Ini kelihatannya periode yang sangat lama,
tapi harus diingat bahwa para geolog menyatakan bahwa sisa-sisa manusia yang
ditemukan di gua-gua Eropa berasal dari 500.000 tahun silam; dan fosil
tengkorak Calaveras ditemukan jauh di bawah dasar Table Mountain, California,
dan seluruh gunung itu telah terbentuk sejak manusia tersebut hidup dan
meninggal.
“M. Oppert membacakan sebuah esai di Brussels Congress
untuk menunjukkan, dari observasi astronomis atas bangsa Mesir dan Assyria,
bahwa 11.542 tahun sebelum zaman kita, manusia yang eksis di bumi pada tahap
peradaban demikian mampu memperhatikan fenomena astronomi, dan mengkalkulasi
panjang tahun dengan akurasi tinggi sekali. Bangsa Mesir, kata dia,
mengkalkulasi dengan siklus 1.460 tahun—siklus zodiak, demikian disebutnya.
Tahun mereka terdiri dari 365 hari, yang menyebabkan mereka kehilangan satu
hari di setiap empat tahun surya, dan, konsekuensinya, mereka akan mencapai
titik awal lagi baru setelah 1.460 tahun (365 x 4). Oleh sebab itu, siklus zodiak
yang berakhir di tahun 139 era kita memulai di tahun 1.322 SM. Di sisi lain,
siklus Assyria adalah 1.805 tahun, atau 22.325 siklus bulan. Siklus Assyria
dimulai pada 712 SM. Bangsa Chaldea menyatakan bahwa antara Bah dan dinasti
pertama mereka terdapat periode 39.180 tahun. Nah, apa artinya angka ini? Itu
berarti 12 siklus zodiak Mesir ditambah 12 siklus bulan Assyria.
12 x 1.460 = 17.520
12 x 1.805 = 21.660 +
39.180
Dua mode pengkalkulasian waktu ini cocok satu sama
lain, dan diketahui sekaligus oleh satu bangsa, Chaldea. Sekarang mari kita
menyusun rangkaian kedua siklus, dimulai dari era kita, dan hasilnya adalah
sebagai berikut:
Siklus
Zodiak
Siklus Bulan
1.460
1.805
1.822
712
2.782
2.517
4.242
4.322
5.702
6.127
7.162
7.932
8.622
9.737
110.082 11.542
11.542
Pada tahun 11.542 SM, kedua siklus bertemu, dan
konsekuensinya pada tahun itu mereka mempunyai awal yang sama dan observasi
astronomis yang sama.”
Observasi tersebut barangkali dilakukan di Atlantis.
Keanekaragaman bahasa yang eksis di antara penduduk
Atlantis di permulaan Periode Sejarah mengimplikasikan selang waktu yang sangat
lebar. Fakta bahwa bangsa-bangsa Dunia Lama begitu sedikit mengingat Atlantis,
kecuali fakta kolosal kehancurannya yang mendadak dan besar, tampaknya juga
mengasingkannya jauh ke masa lampau. Herodotus menceritakan kepada kita bahwa
dia tahu dari bangsa Mesir bahwa Hercules adalah salah satu dewa terkuno
mereka, dan bahwa Herculse adalah salah satu dari dua belas [dewa] yang
dihasilkan dari delapan dewa, 17.000 tahun sebelum kekuasaan Amasis.
Singkatnya, saya tidak mengerti mengapa kisah Plato
ini, yang diceritakan sebagai sejarah (yang diperoleh dari bangsa Mesir, orang-orang
yang diketahui memelihara riwayat paling kuno dan mampu menelusuri keberadaan
mereka sampai zaman purbakala), mesti dipandang hina dan dikesampingkan sebagai
fabel oleh bangsa Yunani, Romawi, dan dunia modern. Boleh jadi itu hanya karena
pendahulu kita, dengan pengetahuan mereka yang terbatas akan sejarah geografi
dunia, tidak percaya bahwa sebagian besar permukaan bumi ditelan tiba-tiba oleh
laut.
Maka dari itu, mari kita pertama-tama menghadapi
pertanyaan tersebut.