Selasa, 14 April 2015

Dialog Jon Snow dan Mahmoud Ahmadinejad tentang Nuklir dan Konflik di Timur Tengah




Wawancara Mahmoud Ahmadinejad (MA) dengan Jon Snow (JS) dari Channel 4 News 13 Sep 2007

JS: Tuan Presiden, terima kasih banyak karena berkehendak untuk berbicara dengan kami malam ini. Persilakan saya memulainya dari Irak. Baik Inggris maupun Amerika Serikat, keduanya menuduh Iran sedang melakukan perang proksi di Irak. Apakah itu benar?

MA: Dengan Nama Allah , pertama saya ingin mengekspresikan salam hangat saya kepada seluruh pemirsa Anda dan selamat malam kepada seluruh masyarakat Inggris.

Apa yang Anda katakan tadi adalah klaim; kami juga menuduh Inggris dan Amerika sedang menjajah dan memporak-porandakan Irak. Menurut saya, Inggris dan Amerika harus mengubah pandangan dan perilaku mereka; jika mereka ingin mempersalahkan pihak lain atas kekalahan mereka, maka yakinlah bahwa kekalahan mereka akan berulang.

Sesungguhnya kami melihat perbedaan yang signifikan antara Inggris dan Amerika di Irak. Menurut kami, pemerintah Inggris lebih cepat dan lebih berhasil menyadari situasi di Irak, dan menarik mundur dari Basrah adalah hal yang tepat untuk dilakukan dan kami pun berharap mereka akan melanjutkan hal ini.

Kami adalah negara yang justru menderita kerugian paling besar dari kurangnya keamanan di Irak, karena bangsa Irak dan Iran terhubungkan begitu dekatnya—kedua bangsa ini telah menjadi sahabat selama ribuan tahun. Setiap tahunnya, jutaan orang Irak dan Iran saling mengunjungi kedua negara itu, dan keamanan Irak memiliki dampak langsung terhadap keamanan kami, begitu pula sebaliknya. Kami menginginkan keamanan di Irak. Dan persilakan saya mengatakan satu hal kepada Anda—Anda tahu rakyat Irak adalah sebuah bangsa besar dengan kebudayaan dan peradaban. Dan mereka selalu menentang penjajahan dan kini pun mereka sedang melakukannya.

JS: Apakah benar ada faksi-faksi tertentu yang Anda dukung di selatan Irak? Dengan demikian, Anda memandang mundurnya Inggris dari Basrah sebagai kemenangan Iran?

MA: Apakah pemerintah Inggris berpikir bahwa dia dikalahkan oleh Iran di Irak atau oleh rakyat Irak?

JS: Well, oleh Iran. Oleh pasukan resmi—Garda Revolusi—semua ragam orang yang mendukung faksi-faksi di selatan Irak.

MA: Anda benar-benar salah, dan ini berarti bahwa keputusan di masa depan juga akan keliru. Kami rasa Inggris dan Amerika harus memahami kondisi-kondisi di Irak; bangsa Irak adalah bangsa pemberani, sebuah bangsa besar yang menentang penjajahan dan tidak akan menoleransi penjajahan. Rakyat Irak tidak butuh orang-orang Iran untuk membela diri mereka sendiri. Mereka mampu membela diri mereka sendiri.

JS: Sangat sulit bagi kami (Inggris) untuk menemukan perbedaan antara pengaruh yang Anda miliki di selatan Irak, karena mereka adalah saudara se-Syi’ah, dengan keterlibatan aktual militer. Pemerintah Inggris mengatakan bahwa pasukan mereka terbunuh oleh bom-bom yang dibuat di Iran.

MA: Kami memiliki pengaruh di seluruh Irak karena kami mempunyai hubungan yang baik dengan mereka. Kami memiliki sejarah hubungan baik dengan warga Kurdi di Utara Irak. Dan presiden Irak adalah orang Kurdi yang tulus dan baik terhadap kami.

Kami juga mempunyai hubungan yang tulus dengan mazhab Sunni di Irak. Ketua parlemen Irak adalah orang Sunni dan dia memiliki hubungan yang baik dengan kami dan juga perdana menteri Irak adalah orang Syi’ah yang berhubungan baik dengan kami. Problem kalian, problem Inggris dan Amerika, adalah bahwa kalian tidak memiliki hubungan yang baik dengan mereka. Problemnya adalah kalian tamu yang tidak diundang.

JS: Dapatkan Anda gunakan pengaruh Anda untuk membantu membebaskan lima sandera Inggris di sana? Empat petugas keamanan dan satu teknisi komputer sudah menjadi sandera selama lebih daripada seratus hari. Maukah Anda menggunakan pengaruh Anda?

MA: Kami dapat membantu untuk mengurai problem-problem di Irak yang berkaitan dengan penegakkan kembali keamanan dan perdamaian. Kami dapat membantu pasukan pendudukan untuk meninggalkan Irak, dan ini telah kami nyatakan berulang-ulang kali. Jika pemerintah Inggris dan Amerika mengubah perilaku dan arah mereka di Irak, maka mereka tidak akan menghadapi masalah-masalah seperti ini dan tidak akan ada kebutuhan bagi persoalan-persoalan tersebut.

Menurut kami, mereka seharusnya secara resmi mengakui bangsa Irak dan hak-hak rakyatnya. Problemnya, mereka datang ke sana demi minyak dan untuk mendominasi kawasan. Maka rakyat Irak pun berdiri di hadapan mereka. Hingga mereka mengakui hak-hak rakyat Irak, hal itu akan terus berlanjut dan ini tidak ada hubungannya dengan Iran. Kami siap jika pemerintah Irak menghendaki kami untuk membantu mengatasi problem-problem di Irak.

JS: Bisakah kita beralih ke isu nuklir. Hari ini, Dr. Larijani menyatakan bahwa tidak akan ada pembekuan terhadap pengayaan uranium. Dan segera Amerika menyerukan sanksi PBB—ini PBB bukan hanya (sanksi) Amerika. Apa yang akan terjadi jika sanksi dijatuhkan terhadap kalian (Iran)?

MA: Persoalan nuklir sangatlah jelas. Kami adalah anggota IAEA dan kami beroperasi dalam kerangka kerja IAEA. Kami telah menunaikan semua kewajiban kami. Namun sayangnya, kami belum memanfaatkan semua hak kami yang legal menurut regulasi IAEA. Dan, alasan utamanya adalah antagonisme Amerika kepada bangsa Iran.

Persoalan nuklir Iran adalah isu politik, yang diburu Amerika dan alasan utamanya adalah rasa permusuhan Amerika kepada Iran. Mereka selalu menjadi musuh kami, dan hal itu tidaklah terlalu penting bagi kami. Sedari awal, telah kami katakan bahwa segala sesuatunya mesti dilakukan melalui IAEA dan lembaga ini sedang menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apa yang orang Amerika katakan tidaklah penting bagi kami.

JS: Misteri yang Anda miliki mengindikasikan bahwa Anda memang menginginkan bom (nuklir). Banyak orang mengatakan Anda merasa terancam oleh Israel, oleh Pakistan. Apakah memang Anda menginginkan bom?

MA: Kami tidak membutuhkan bom (nuklir). Secara fundamental, kami menentang bom (nuklir) karena banyak alasan. Alasan utamanya adalah secara ideologis kami menentang bom (nuklir) dan secara politik ia tidaklah menguntungkan.

JS: Jika itu memang benar, maukah Anda membawa saya ke (fasilitas riset nuklir di) Natanz? Tempat yang tak seorang pun kunjungi lebih jauh daripada pintu depannya. Maukah Anda membawa saya ke sana?

MA: Maukah pemerintah Inggris mengizinkan kami untuk melihat-lihat instalasi-instalasi nuklir mereka? Atau maukah pemerintah Amerika mengizinkan kami melihat-lihat instalasi-instalasi nuklir mereka? Kami berada di bawah pengawasan IAEA, dan lembaga ini datang untuk mengunjungi (fasilitas-fasilitas nuklir Iran).

Negara mana yang telah melakukan apa yang kami lakukan? Bukankah hal itu menuntut terlalu banyak?

JS: Izinkan saya bertanya dengan tangan di atas dada (sikap bersumpah)—apakah Anda tidak menginginkan bom (nuklir)?

MA: Mengapa kami harus membutuhkan bom? Inggris dan Amerika mempunyai bom-bom (nuklir)—lantas untuk apa semua itu?

Tidak, kami tidak membutuhkannya dan kami mempunyai solusi bagi rezim Zionis Israel. Kami katakan kepada mereka agar membiarkan bangsa Palestina mengekspresikan pandangan mereka dalam sebuah referendum, sehingga rakyat bisa memilih—menurut kami, ini adalah pendekatan yang manusiawi. Secara fundamental, kami menentang peperangan.

JS: Anda telah mengatakan bahwa Anda ingin Israel hapus dari peta dunia. Anda sudah benar-benar tidak bisa menerima eksistensi Israel?

MA: Kami tidak menerima atau secara resmi mengakui Israel. Mereka para penjajah dan karenanya ilegal. Tapi pendekatan kami manusiawi. Saya tanya Anda di manakah kini Uni Soviet berada—apakah ia telah terhapus ataukah tidak? Ia telah hilang tanpa adanya sebuah perang. Biarkan rakyat Palestina memilih.

Maka, hal itu akan terjadi.

JS: Namun, Anda berbicara dengan determinasi yang lebih. Keruntuhan Soviet adalah sebuah kejutan—tapi Anda mengatakan ingin Israel terhapus dari peta sekarang.

MA: Itu karena kami menganalisis problem-problem kawasan secara mendetail. Kita tidak bisa menipu diri kita sendiri. Kami mengatakan sebuah rezim, yang tidak mempunyai sebuah filosofi keberadaan yang pantas; yang merupakan penjajah dengan mengintimidasi orang; yang tanpa peradaban dan budaya; dan yang semua pihak di kawasan menentangnya—rezim seperti ini tidak akan bisa bertahan.

JS: Apakah Anda menyesal telah mengingkari holocaust?

MA: Saya mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai holocaust dan saya menyesal karena sebagian politisi dan pemerintah Eropa, alih-alih menanggapinya secara ilmiah melalui seorang guru besar universitas, menjadikannya sebagai sebuah isu politik.

Saya menanyakan dua pertanyaan dan kini saya tanyakan keduanya kepada Anda. Pertama, jika holocaust adalah fakta historis, maka mereka seharusnya melakukan investigasi tentangnya karena kita memperbolehkan semua hal untuk diinvestigasi.

JS: Namun, dokumentasinya begitu banyak.

MA: Apakah kita memiliki bukti lebih mengenai holocaust atau mengenai kebebasan, matematika, dan fisika?

Ada banyak orang yang menyaksikan program ini, yang orang tua, saudara, dan bibi mereka tewas di kamp-kamp konsentrasi?

Mengapa Anda menuduh saya? Pertanyaan saya amatlah jelas—saya katakan jika sebuah peristiwa sejarah terjadi, kita seharusnya membiarkan para ilmuwan menginvestigasinya. Dengannya, mungkin dimensi-dimensi baru akan diungkapkan dan isu-isu baru akan ditemukan. Namun, mengapa mereka tidak mengizinkan hal itu (investigasi atas holocaust)?

Ini mencurigakan. Dan kemudian pertanyaan kedua saya adalah, jika holocaust terjadi, di manakah? Peran apa yang telah dimainkan bangsa Palestina di dalamnya? Bangsa Palestina adalah orang-orang yang tak berdosa. Mengapa mereka harus menerima hukuman? Mengapa tanah mereka harus dirampas? Mengapa mereka harus dibunuh dan mengapa mereka harus diusir ke pengasingan-pengasingan? Itulah dua pertanyaan saya.

JS: Isu ini akan tetap dan menurut saya, mayoritas orang di dunia tidak akan sependapat dengan Anda.

MA: Anda salah. Adakan sebuah referendum di Eropa dan orang Eropa akan sependapat dengan saya. Saya hanya memunculkan dua pertanyaan. Saya tidak membuat sebuah penilaian.

JS: Izinkan saya kembali ke persoalan mutakhir tentang nuklir. Apakah Anda berkata tidak akan menghentikan pengayaan?

MA: Untuk alasan apa kami harus berhenti? Mengapa Inggris dan Amerika tidak berhenti? Mengapa kami yang harus berhenti?

JS: Anda tidak takut dengan bom Amerika dan Israel?

MA: Karena (program) kami bersifat damai. Katakan kepada saya, siapa yang ingin memerangi kami? Apakah Inggris ingin memerangi kami?

Tidak, untuk alasan apa (kami harus takut). Sebagian orang Amerika memang ada yang ingin menggunakan kekuatan militer meski mereka kehilangan argumen yang logis. Namun bagaimanapun, masih banyak orang bijaksana di Amerika. Kami melihat hal itu (serangan atas Iran) sebagai kemungkinan yang sangat kecil. Namun, kami siap bagi setiap hal.

Namun, saya bertanya kepada Anda, mengapa Amerika tidak seharusnya dihentikan jika kami yang baru memulai program nuklir saja harus dihentikan? Apakah program damai kami bahaya sementara bom nuklir Amerika bukan bahaya? Logika macam apa itu? Menurut saya, seseorang tidak bisa mengatur dunia dengan logika semacam itu. Ini adalah logika kekalahan.

JS: Ketika Anda terpilih, yang miskin percaya bahwa Anda akan mengurangi penderitaan mereka. Namun dengan angka pengangguran yang tinggi, yang miskin jadi semakin miskin. Adakah Anda mengkompensasi konflik ini dengan dunia luar?

MA: Saya sangat senang Anda berbicara mewakili bangsa kami. Ini sangat menarik. Di mana Anda mendengar rakyat kami mengatakan hal semacam itu?

Saya juga telah menyebutkan hal ini (persoalan program nuklir) sebelum pemilihan dan rakyat kami telah membuat pilihan dengan kesadaran penuh, dan Iran dengan kokoh telah bersikap tegas dalam persoalan nuklir. Anda bisa lihat di seluruh kota dan desa, bangsa kami meneriakkan hal itu (dukungan bagi program nuklir)—ini adalah milik mereka. Pemerintah ini adalah milik rakyat dan bekerja bagi rakyat. Di Iran, tidak ada jarak antara pemerintah dan rakyat. Kami adalah satu.

JS: Kontak antara AS dan Iran sejauh ini terjadi di antara para duta besar. Namun, negosiasi harusnya berada pada level atas? Apakah akan bermanfaat jika Gordon Brown atau Nicolas Sarkozy atau Angela Merkel dilibatkan secara langsung?

MA: Kami akan menyambut hal itu. Kami tertarik untuk berdialog dengan Nyonya Merkel, Tuan Sarkozy, dan perdana menteri Inggris yang terhormat. Kami tidak memiliki problem dengan komunikasi. Setelah revolusi (Islam pada 1979), mereka semua menentang kami dan kemudian bangsa kami berhasil. Kami sebenarnya telah menyatakan bahwa kita seharusnya melupakan masa lalu. Kami hendak memiliki relasi-relasi yang bersahabat—jika satu pihak menekan kami, maka kami tidak akan menerima itu.

Dalam kondisi-kondisi yang bersahabat, kita harus berbicara dengan setiap orang—kenyataannya kami lebih suka bekerjasama dengan orang-orang Eropa. Karena, menurut kami, bangsa-bangsa Eropa juga tidak berdosa. Warga Eropa telah menderita dua perang dan membawa beban konflik. Mereka berdiri di bawah bayangan ancaman dan kami berpikir dapat bekerja sama lebih baik dengan orang-orang Eropa.

JS: Malam ini, Anda mulai dengan menyampaikan harapan-harapan baik Anda kepada rakyat Inggris. Dapatkan Anda menjamin para orang tua di Inggris dan mengatakan bahwa tidak ada orang Iran yang terlibat dalam terbunuhnya tentara-tentara Inggris?

MA: Saya katakan kepada Anda dan kepada rakyat Inggris yang baik; rakyat Inggris telah menyaksikan kehendak baik rakyat Iran terkait personil angkatan laut (Inggris). Kami benar-benar berduka mengenai apa yang terjadi di Irak. Kami sangat berduka kepada rakyat Irak yang terbunuh, sebagaimana juga kepada tentara-tentara kalian yang terbunuh.

Menurut kami, perang ini seharusnya tidak terjadi. Persahabatan dan perdamaian selalu bisa diupayakan. Maka, mengapa harus ada pendudukan di mana pembunuhan-pembunuhan terjadi? Pesan kami adalah tentang persahabatan bagi semua. Kami menyukai semua bangsa. Kami juga menyukai setiap manusia. Siapa pun yang terbunuh, kami berduka karenanya. Kami tidak bisa berbahagia karenanya karena para tentara kalian adalah juga manusia, yang malang karena tidak mengetahui di mana mereka berada.

Kelima belas personil angkatan laut Inggris bahkan tidak mengetahui di mana mereka berada. Mengapa para pemuda Inggris mesti datang ke Irak dan terbunuh, untuk alasan apa? Rakyat Inggris seharusnya berada di negeri mereka dan melayani rakyat mereka sendiri. Kami telah sebutkan bahwa kami siap membantu untuk mengakhiri perang, sehingga akan tercipta perdamaian dan persaudaraan bagi semua orang.

JS: Presiden Ahmadinejad, terima kasih banyak atas kesediaan anda berbicara kepada kami. Saya sangat berterima-kasih. (Diterjemahkan oleh Irman Abdurrahman)

Sabtu, 04 April 2015

Abu Dzar Bersama Nabi




Dalam kegelapan yang meliputi malam penindasan, fajar sedang menanti matahari lain yang akan terbit, dunia sedang dalam ketenangan menjelang badai, dan sejarah merenungkan suatu pemberontakan besar melawan dewa-dewa duniawi serta bayang-bayang dan tanda-tandanya ―dewa-dewa langit: politeisme dan syirik.

Pada kedalaman dari kesadaran-kesadaran yang ternaung dalam bayangan “kehendak Ilahi” dan dalam ketersembunyian watak-watak fitriah, yang pada lahirnya tampak berhubungan dengan hakikat wujud, perubahan-perubahan yang tidak dapat dilukiskan dan ganjil, mulai muncul, hanya sebagai suatu pengertian berupa penciuman indera rahasia burung-burung liar yang merasakan akan datangnya badai dan secara tergesa-gesa berpindah dari tempatnya, sebagai naluri misterius dari seekor kuda waspada yang bangkit menjelang peristiwa gempa bumi, memutuskan tali kekangnya dan meninggalkan rumah tuanya, tanpa pelana, tanpa penunggang, menuju padang pasir ―rohani-rohani yang kesepian merasakan bahwa ada sesuatu di udara, sesuatu yang besar!

Kadang-kadang seorang pribadi adalah suatu dunia, dan kadang-kadang seorang individu adalah suatu masyarakat.

Dan Jundab putra Junadah, seorang Arab Badui dari Ghifar, suku yang terlanda kemiskinan di Rabadzah, suatu gurun di antara Makkah dan Madinah, di jalan kafilah perdagangan Quraisy dan kafilah peziarah Ka’bah, bersama orang-orang yang tak tahu malu, tidak mengenal takut akan adat istiadat, tak kenal tata aturan dan hukum, dan karenanya, di mata orang yang tinggal dalam lindungan peraturan-peraturan dan sistem-sistem ini dan menjadi makmur karena keuntungan dan keamanan ―terkenal jahat, tidak peduli, dan berakhlak buruk! Karena akhlak atau etika di sini berarti mengikuti adat istiadat, menaati hukum-hukum, yang semuanya melindungi tembok-tembok yang meliputi eksklusivitas dan hak-hak istimewa: kebenaran dan hak-hak, tata tertib dan keamanan, dan semua ini demikian adanya, supaya orang ini dapat makan enak dan bersenang-senang sebagai kepala pada pesta-pesta mewah dikitari sekelompok orang-orang lapar.

Ghifar, suku yang tekenal jahat, bandit-bandit! Para perampok barang-barang dan budak-budak kafilah dagang, ugal-ugalan, yang bahkan tidak menghormati keempat bulan suci. Mereka juga menganggu keamanan yang menguasai semenanjung itu. Ketika para kafilah dagang ―yang bergerak antara Roma, Makkah dan Iran, di bawah perlindungan agama sepanjang bulan-bulan ziarah ini― melintasi tempat yang berbahaya Rabadzah, mereka sekali lagi melihat orang Ghifar, dengan pedang di atas kepala, meluncur menyerang mereka dari tempat hadangan. Rakyat Ghifar, orang-orang miskin, pendosa, jahat, alih-alih menadahkan tangan bak mangkuk pengemis kepada kafilah-kafilah dagang, mereka memberikan pedangnya kepada para majikan itu!

Putra Junadah adalah salah seorang dari mereka, dan inilah sebabnya mengapa kemudian ketika ia telah menjadi Abu Dzar, “Ia bingung memikirkan seorang lapar yang tidak mempunyai roti di rumahnya, tetapi tidak bangkit, menghunus pedang dan memberontak.” Jundan putra Junadah, seperti setiap pria dari suku Ghifar, mengetahui bahwa dalam suatu sistem tirani, setiap hukum dan peraturan, adat dan etika, tata tertib dan keamanan, adalah pelindung tirani, dan menaatinya adalah kejahilan. Namun ia mengambil suatu langkah ―maju lebih jauh dari siapa pun lainnya― ia mengetahui bahwa di sini agama yang berkuasa mempunyai peranan yang sama, dan menaatinya adalah kufur.

Dan berhala? Apakah itu? Pada suatu malam, ketika suku itu pergi berziarah ke Manat ―berhala suku Ghifar― dan dengan hasrat, bahagia, gairah dan semangat, berdoa, memuja, bersumpah dan memohon, menghasratkan hujan untuk menyelamatkan mereka dari kelaparan dan kekeringan yang mengancamkan maut kepada suku Ghifar, ia, dalam kedalaman keyakinannya, merasakan api suci keraguan.

Api kearifan ini dinyalakan selanjutnya dalam angin sepoi renungan dan pertimbangan yang mendalam dan menerus ketika suku itu jatuh tidur; ketenangan yang misterius menguasai lingkungan Manat, di padang gurun, malam dan langit; ia bangkit dengan diam-diam, memungut sebongkah batu, dengan ketidakpastian dan terombang-ambing antara keraguan dan keyakinan, ia maju; untuk sejenak ia terpaku memandang kedua mata dewa zamannya. Ia tidak mendapatkan sesuatu, kecuali dua biji mata yang tidak melihat; dengan segala kemarahan dan kebenciannya, ia melempar berhala itu, yang diukir oleh kejahilan dan tirani, dengan batin itu.

Bunyi batu yang menghantam batu, dan...kemudian tidak ada apa-apa.

Kembali dalam keselamatan kepada Yang Mutlak, setelah terbebas dan rantai, ikatan dan belenggu yang seakan-akan telah melilit jiwanya selama berabad-abad, ia tiba-tiba merasakan bahwa ia, sendirian dan tak dikenal telah meninggalkan suatu lobang yang dalam dan gua yang sempit lagi gelap, di mana ia telah dipenjarakan sejak awal penciptaan. Ia melihat ke padang gurun, suatu rentangan luas yang tidak bertepian; sampai ke batas cakrawala, jauh, luas, dan angin! penuh kemuliaan, indah, dalam dan misterius... seakan-akan ia melihat, dan baru dapat melihatnya, untuk pertama kalinya.

Melalui keyakinan dan kepastian, ia telah mencapai kebebasan dan kelegaan. Sedikit demi sedikit, kuncup-kuncup baru iman dan kepastian, tetapi jelas, luas, dalam, sadar, apa yang dipilihnya sendiri telah merekah!

Di bawah hujan pikiran yang tidak putus-putusnya bertambah deras, ia merasakan bahwa sumber-sumber air terbuka baginya dalam gurun batin yang gelap, kering dahaga, dan sekarang, suara ‘derap air!’ dan setiap saat makin lama makin cepat, meninggi dan terus semakin tinggi dan menempati seluruh batinnya; ia dipenuhinya. Dalam pembakaran yang perih dan kecemasan yang pedih dan suatu kelahiran, sendirian di dunia, hanya suatu bayangan di padang pasir, di tengah malam, di bawah langit gurun yang menyaksikan, seluruh wujudnya dialamatkan kepada ‘Dia!’, ia tiba-tiba tersungkur ke pasir, kepalanya sujud di atas bumi. Dan suara kegelisahan, sentimen-sentimen lama terlepas ―menangis.

Inilah sembahyang Abu Dzar yang pertama.

“Tiga tahun sebelum saya bertemu dengan Nabi Allah, saya menyembah Allah.”

“Ke arah mana engkau menghadap?”

“Ke arah di mana Dia menyadarkan saya akan Diri-Nya.” Tiga tahun kemudian ia mendengar bahwa seorang laki-laki telah muncul di Makkah, yang mencela agama penduduk, yang menamakan barang-barang suci dari penduduk itu “palsu”; yang menamakan segala berhala besar di Ka’bah “batu-batu bisu dan bebal”; yang telah menempatkan Allah Yang Esa mengatasi segala yang dipertaruhkan.

Para musafir dan pelancong suku Ghifar menerima kabar ini seakan-akan suatu tragedi bagi agama dan etika Arab. Mereka berbicara tentang dia dengan kata-kata yang dipenuhi ejekan dan rasa tidak senang. Tetapi, Jundab, di tengah-tengah mereka, mendapatkan kembali dirinya yang telah hilang. Ia tahu bahwa apa pun yang dikutuk, dikatakan oleh para pemuja fosil ―yang telah menempelkan kecemaran syirik dan takhayul-takhayul jahil kepada Ibrahim, si penghancur berhala― yang ditafsirkan sebagai penyebab perpecahan dalam masyarakat, kelesuan kepercayaan, penyelewengan pikiran para pemuda, kelancangan rakyat jelata, goncangan terhadap basis moralitas dan keimanan, penyebab dari pesimisme dan keterpisahan antara seorang remaja putra dan putri dengan ibu dan ayahnya, sebab dari ejekan terhadap bangsawan, para muliawan dan tokoh-tokoh keagamaan, lenyapnya penghormatan terhadap para leluhur, keotentikan mitos-mitos dan adat istiadat lama dari nenek moyang dan datuk kakek dan... semuanya adalah isyarat-isyarat yang jelas akan suatu revolusi penyelamatan dan tanda-tanda yang kukuh akan kebenaran Ilahi.

Dan Jundab ―yang berasal dan kalangan jiwa-jiwa revolusioner yang bergelora, yang tidak menjadi kaku membatu dalam adonan sempit tradisi-tradisi sosial dan keturunan, tidak ketinggalan dari gerakan, kreatifitas, kemampuan untuk berubah, transformasi dan kemampuan untuk memilih― merasakan bahwa ada sesuatu di udara; inilah tepatnya apa yang dicari-cari oleh rohaninya yang tidak terpelajar dan oleh pikirannya yang telah bebas dalam kesunyian gurun pasir, dalam kesepian batinnya.

Ia tidak diam mendengar ‘berita’ ini. Tanggung jawab mewajibkan dia mulai mencari, dan bukan untuk mendasarkan keyakinan dan penilaiannya atas desas-desus, propaganda, kebohongan, fitnah-fitnah dan pemalsuan yang beruntun, yang dibangun oleh kaum elite yang hanya mementingkan diri sendiri dan disiarkan oleh penduduk yang telah merosot; ia sendiri harus bangkit dan menyelidik, karena penilaian seseorang adalah tanda yang paling dapat dimengerti dari kepribadiannya. Barangsiapa memberi penilaian terhadap seseorang, sesuatu pikiran, sesuatu tindakan, sesuatu gerakan dan terhadap setiap realitas, mendasarkannya pada apa yang telah dikatakan orang ― dan sumber dari semua pemikiran dan penilaian mereka ialah ‘Si Anu dan Fulan mengatakan...’ ― sebelum mereka secara jahil dan tidak adil mengutuk sesuatu kebenaran, mereka adalah orang-orang tertindas yang telah mengutuk dirinya sendiri ke dalam jeratan perbudakan intelektual dari kekuatan-kekuatan zamannya, para majikan pembuat takhayul dan sarana propaganda mereka yang nyata dan tersembunyi ― mereka telah menunjukkan dirinya sebagai para pembuat desas-desus, fitnah dan kebohongan-kebohongan, yang impoten, yang telah diberikan tugas khusus oleh musuh, struktur-struktur munafik; si penghasut menyebarkan dan rakyat menerima!

Namun, putra Junadah mengutus saudara lelakinya, Anis, ke Makkah, untuk melihat dari dekat si pria ― yang dikutuk sebagai pembohong, gila, penyihir, penyair dan kafir, yang kata mereka telah datang untuk mencemarkan kehormatan rumah Tuhan, mengubah kesatuan masyarakat menjadi pembentrokan dan perpecahan, serta solidaritas keluarga menjadi perselisihan dan permusuhan ― memperhatikan kata-katanya, menangkap pesannya dan memberikan laporan kepadanya.

Anis datang ke Makkah. Ia tidak menemukan laki-laki itu. Tiada seorang pun menunjukkan kepadanya, orang asing yang tidak bernama, dan tidak bertempat ini. Dengan putus asa ia mencari di seluruh kota. Ia tidak mendengar sesuatu selain caci maki, ejekan, sikap tidak suka dan kebencian, terhadap laki-laki ini. Setiap tempat ― masjid, pasar ― dan orang, terutama “orang-orang yang terhormat”, “tokoh-tokoh ternama”, “gembong-gembong keagamaan dan dunia”, dan juga, pada khususnya “para pemuja yang beriman dan orang-orang yang berprasangka religius”, “orang-orang yang percaya akan tradisi-tradisi Ibrahim dan rumah Ibrahim!” mengulangi kata-kata dan desas desus yang senada tentang dia, yang mencapai tingkat jalinan yang beruntun:

“Ia gila, ia ahli sihir. Godaan kata-katanya bukanlah gaya tarik dari wahyu; itu sihir, itu bukan keindahan dari kebenaran, itu syair; ia tidak menerima kata-katanya dari Jibril; kata-katanya bukan pula kata-katanya sendiri; seorang ulama asing mengatakan apa yang harus dikatakannya, ia mendapatkannya dari seorang rahib Kristen, seorang cendekiawan Iran; ia adalah malapetaka yang menimpa umat Ibrahim; ia memorak-porandakan kehormatan masjid, kesucian Rumah Tuhan, tradisi ziarah ke Ka’bah, pemuja dewa-etika, penghormatan atas keluarga, serta semua kehormatan dan nilai-nilai dari nenek moyang kita.”

Tiba-tiba, serentak, di salah satu dari lorong-lorong sempit Makkah, ia melihat sekumpulan besar orang sedang berkerumun di suatu sudut. Ia ke sana: seorang pria sendirian, berwajah cerah, dengan pandangan yang membangunkan kedalaman jiwanya, alis yang terbuka dan tenang, sosok tubuh yang berukuran sedang, bentuk agresif, dan dalam pada itu, keramahan dan kasih sayang yang memberi inspirasi; dengan suara jantan, tegas dan pasti, dan, pada saat yang sama, manis dan penuh kehalusan; dengan kata-kata yang mendalam, nada yang menyedapkan dan lebih indah dari seni syair, penuh takwa dan harapan. Anis berdiri di hadapannya. Ia tidak tahu: apakah akan mendengarkan kata-katanya, memberikan hatinya kepada karismanya, atau sekadar memperhatikan segala keindahan dan keramahan posturnya, pandangannya, perilakunya atau kata-katanya?

Ia masih dalam kebingungan melihat pria ini, ketika sekelompok laki-laki membuat huru-hara. Tanpa memperhatikan kata-katanya dan mendengarkan jawabannya, mereka menciptakan banjir caci maki dan fitnah yang diulang-ulang, yang telah dipersiapkan sebelumnya, ke arah kepala dan wajahnya; dan, kejahilan dari orang-orang tidak berprasangka yang tidak mempunyai apa-apa sehingga tidak akan kehilangan apa-apa dalam “penerangan risalah” itu; dan “revolusi dari misi itu”, yang mereka sendiri terkutuk oleh sistem kekuasaan dan pengorbanan-pengorbanan dari status quo itu, telah membuat mereka menjadi boneka-boneka dari tirani dan terperangkap oleh penjara-penjara mereka sendiri, massa rakyat, dengan kegairahan yang jelek dan pembiusan, memekikkan apa yang telah dimasukkan oleh orang-orang yang berperasangka ke dalam mulut mereka.

Mereka mendorong “rasul yang sendirian” itu dengan kemarahan atau keberangan, atau mereka menarik diri darinya dengan caci maki dan ejekan, dan meninggalkannya sendirian. Karena ia memiliki ketabahan dan ketenangan surgawi serta neraca kesabaran, dan kekukuhan bak gunung ― karena ia telah turun dari Hira’ dan telah membawa risalah ilahi ― maka pukulan kemarahan dan gelapnya kejahilan tidak mempengaruhi, tidak meninggalkan garis kemarahan pada wajahnya yang berlimpah-limpah dengan keramahan dan kasih sayang. Ia bergegas ke suatu tempat lain dan, di tengah suatu kelompok lain, kata-katanya mulai lagi, sekali lagi, setelah orang menutup kuping dan otak, caci maki dan tuduhan fitnahan dan ejekan, lagi ia ke tempat-tempat lain, dan sekali lagi, memulai kata-katanya!

Ia berkelana di sepanjang wilayah kota itu, di jalan dan pasar, tempat berkumpul dan masjid; ia pergi ke mana-mana mencari manusia. Ia berdiri di sepanjang jalan orang, dan tanpa memikirkan jawaban-jawaban memberi ketakutan kepada mereka, memberikan kabar gembira kepada mereka, memperingatkan mereka akan suatu bahaya, menunjukkan kepada mereka jalan keselamatan, karena ia mengemban suatu pesan, karena ia mengemban suatu misi, bahwa Allah ‘Sahabat orang-orang terhormat’ dan ‘Musuh orang-orang yang sombong’, telah berseru kepadanya, “Hai orang yang berselimut! Bangunlah, dan berilah peringatan!” Peringatkanlah orang-orang yang terlena dalam ketenangan jahiliah dan keamanan tirani, yang membuat srigala menjadi gembala pengusap kemiskinan dan kehinaan! Wahai, gembala yang ditunjuk! Bebaskan biri-biri itu dari gurun pasir Qarar, karena di kota Tuhan, manusia menjadi gembala! Tuhannya Ibrahim membuat seluruh malaikat bersujud ke bumi di hadapan kaki Adam, dan sekarang, di rumah Ibrahim, anak-anak Adam dibuat bersujud di muka bumi, di hadapan kaki fosil-fosil Iblis pelindung suku dan golongan.

Walaupun adanya badai fitnah, persekongkolan, ancaman dan ejekan yang ditimbulkan oleh para aristokrat nista serta sekutu-sekutu bebal untuk membungkamkannya, membuatnya diam, ia tetap bicara, ‘Tuhan kaum mustadh’afin, kaum tertindas, telah mengatakan, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka para pewaris.”

Anis melihat kepada pria ini, mengikuti dia, mendengarkan kata-katanya dan memikirkan tentang kehidupannya, kehidupan yang membingungkan dan menakjubkan, namun keajaiban-keajaiban dari wujud pria itu sendiri, daya tarik dari kehadirannya, karisma perilaku dan keindahannya begitu memukau dan menawan dia, sehingga ia lebih menjadi penonton pria ini ketimbang sebagai pendengar.

Segala keramahan dalam segala kesulitan ini, segala keindahan dalam segala kekukuhan ini, segala ketegasan dalam segala kecemasan ini; segala pengabdian dalam segala pemberontakan ini, segala ketekunan dalam segala kepedihan ini, segala kekuatan dari segala kelemahan ini, segala yang memalukan dalam segala keberanian ini, segala ketenangan dalam segala keresahan ini, segala kesabaran dalam segala ketidaksabaran ini, segala kerendahan dalam segala yang mencengangkan ini, segala-gala dari cinta, ilham, dan emosi, keindahan dan kejutan perasaan dan hati dalam segala kebijakan, logika, kewaspadaan, kesungguhan, kepahlawanan dan kecerdasan, dan akhirnya, dengan segala ‘yang samawi’ dan segala yang ‘nampak sebagai duniawi’; segala peribadatan kepada Tuhan ini, dan apa yang dapat saya katakan? Segala sikap agresif dan kepastian dan segala ini... dan ia sendirian.

Keajaiban seorang pria ini, melemparkan hingar bingar dan jeritan ke dalam diri Anis. Sehingga ia tidak mendengarkan kata-katanya dan keajaiban nada suaranya menyebabkan rasa takjub muncul dalam dirinya ― karena ia sedang mendengarkan Kata-Kata Tuhan untuk pertama kalinya ―sehingga ia tidak mampu memahami artinya; Anis ― saudara Jundab ― adalah seorang badui muda, ‘tidak mengetahui’ apa yang yang dikatakan pria itu, namun melalui nalurinya yang kuat, melalui watak fitriah yang jelas dari ‘rohani badui’, ‘pribadi fitriah’ di mana ‘logika’ belum pernah menggantikan ‘kesadaran’, ia mendapatkan bahwa pria itu adalah suatu ‘event’. Ia menyadari, melalui indera perasaannya, bahwa kata-kata ini datang dari suatu dunia lain, ia tidak memahami kebenaran itu, ia tidak mengerti arti dari kata-kata itu, ia tidak sampai mengenal pria itu, namun ia mencium wanginya wahyu, merasakan selera kebenaran dan merasakan kehangatan iman yang tak terlukiskan.

Dan Abu Dzar, resah di gurun pasir, dengan cemas menanti di jalan ke Arab Makkah. “Anis, saudaraku, apakah engkau melihatnya? Adakah engkau mendengarkan kata-katanya? Apa yang dikatakannya? Siapakah ia?” “Ia seorang laki-laki yang sendirian. Sukunya menyusahkan dia, dan menunjukkan permusuhan, tetapi ia sabar dan ramah; apabila suatu kerumunan manusia menolak dia atau meninggalkan dia dengan caci maki dan ejekan, ia berpindah ke kelompok lain dan mulai bicara lagi.”

“Katakan kepada saya, Anis! Katakan apa yang dikatakannya! Untuk apa dia mengajak manusia?” “Saya bersumpah demi Tuhan, betapa pun saya berusaha untuk memahami apa yang dikatakannya, saya tidak mengerti, tetap kata-katanya bagaikan penawar yang sangat lezat dan lari masuk menembus jiwa saya!”

Abu Dzar, dalam mencari pesan itu, tidak mempunyai rasa ingin tahu sebagai seorang ilmuwan atau untuk hiburan intelektual. Ia gelisah dan haus, dan Anis bahkan tidak membawa setetes air pun baginya dari sumber. Ia bergegas bangkit, dan tanpa duduk sejenak untuk merenungkan mengapa dan untuk apa perjalanan itu serta akibatnya, ia menempuh perjalanan panjang dari tanah suku Ghifar ke Makkah. Sepanjang jalan, musafir itu, perjalanan itu, jalan dari perjalanan itu, dan tujuan yang terakhir, semuanya adalah ‘ia’.

Ia pergi dan iman pun datang. Ya, keimanan datang padanya. Lalu ia sampai di Makkah. Seorang laki-laki dari suku Ghifar di tengah-tengah para pemimpin kafilah Quraisy, dan para kapitalis! Ia mencari seorang laki-laki, yang menyebutkan namanya saja sudah merupakan kejahatan di kota ini. Ia mencari sepanjang hari di lorong-lorong kota Makkah, pasar dan Masjid al-Haram. Ia tidak mendapatkan apa pun. Ia pergi tidur di Masjid al-Haram, sendirian dan kelaparan, ketika Ali, yang setiap malam, sebelum pulang ke rumah, datang ke masjid itu dan melakukan tawaf ― sesuai dengan tradisi Ibrahim ― dan kemudian ke rumah, melihat Abu Dzar sedang sendirian, tertidur di atas debu.

“Anda nampaknya seperti orang asing!”

Ali lalu membawa Abu Dzar ke rumahnya. Tanpa saling berbicara, Abu Dzar tidur di sana. Gagasan apa yang direncanakan takdir?! Rumah ini, ini rumah Nabi, karena Ali, pada masa itu, adalah seorang laki-laki yang masih muda usia, yang tinggal di rumah Nabi. Peristiwa-peristiwa permulaan dalam perjalanan ini, yang menentukan nasib Abu Dzar dan dia, untuk pertama kalinya, datang dari gurun kepada Islam, inilah: orang pertama yang berbicara dengan dia di Makkah ialah Ali; rumah yang pertama di mana ia tidur ialah rumah Muhammad; orang pertama yang membawa dia dari keterasingan dan keterpencilan di kota itu ke rumah Muhammad, adalah Ali. Dan pertemuan-perteman serta peristiwa-peristiwa pertama ini yang memberikan bentuk kepada seluruh kehidupan Abu Dzar dan tinggal tetap bersama wujudnya sampai pada ajalnya.

Besok paginya, dalam mencari Muhammad, ia meninggalkan rumah Muhammad. Hari itu, tanpa hasil. Pada malam hari, sekali lagi, Ali yang datang untuk bertawaf, membawanya ke rumah, dan lagi, pagi berikutnya dan malam berikutnya, dan sekali ini ― pada malam ketiga ― Ali menambahkan sepatah kata kepada pertanyaan pendek yang diulang-ulang pada setiap malam, Apakah belum tiba saatnya bagi Anda untuk memberikan nama Anda dan mengatakan mengapa Anda datang ke kota ini?”

Abu Dzar, dengan hati-hati, mengatakan rahasianya kepada Ali, “Saya mendengar bahwa di kota ini telah muncul seseorang dan...”

Seberkas senyum, dari rasa gairah dan bahagia, memancar dari wajah Ali yang muda. Dalam nada yang penuh keramahan dan keakraban, ia berbicara kepadanya tentang Muhammad. Ia mengatur pertemuan bersamanya, “Malam ini saya akan membawa Anda ke tempat persembunyiannya. Saya berjalan lebih dahulu. Anda mengikuti dari jauh. Apabila saya melihat mata-mata, saya akan ke dinding dan membungkuk ke sepatu saya seakan-akan hendak mengikatnya. Anda berjalanlah meneruskan perjalanan Anda. Apabila bahaya telah berlalu, saya akan menyusul Anda.”

Inilah hari-hari Nabi yang sulit. Kota itu sepenuhnya merupakan ancaman dan bahaya. Musuh, satu front, dan para sahabat ― hanya tiga orang! Dan pada malam ini, Islam akan mendapatkan Muslim yang keempat.

Muhammad saw berada di rumah Arqam bin Abi Arqam di bukit Safa, beberapa langkah dari Masa’. Dalam kegelapan malam yang menakutkan, remaja putra Abi Thalib di depan dan putra Junadah Ghifari di belakangnya, mereka mendaki Safa, menuju Muhammad. Malam ini tampaknya seperti suatu pemandangan yang indah meliputi takdir mereka, suatu nasib yang segera akan dimulai. Selangkah demi selangkah, ia tumbuh makin akrab, dan pembakaran, nafas demi nafas, makin resah; iman dan keyakinan telah menaklukkannya. Ia tidak akan pergi sebelum melihat si pria yang mengaku Nabi itu, mengenalinya dan menguji dia. Ia mengemban janji untuk melihat kecintaan hatinya dan hasrat imannya. Sekarang ia hanya beberapa langkah dari rumah Arqam. Betapa sulit saat-saat ini! Menanggung saat-saat pertama dari kunjungan ini terasa seram. Cinta telah menawan Jundab. Putra Junadah telah dipenuhi dengan ‘dia’. Lebih banyak Muhammad berada dalam dirinya ketimbang dirinya sendiri. Putra Junadah bagai tertinggal di kejauhan dan terlupa dari ingatan pikiran Jundab. Hatinya telah terpaut pada bidang magnet yang bertenaga tinggi. Setiap detik, aroma yang akrab menghidupkan indera penciumannya, dan tepat pada detik ini, ia merasakan gaya tarik eksistensi Muhammad dengan seluruh wujudnya. Kehadirannya memenuhi area di sekitar Safa. Jundab tahu siapa Muhammad itu. Ia tahu apa yang dikatakannya... namun seperti apakah dia! Wajahnya? Bentuknya? Caranya berbicara? Kehidupannya? Apakah yang dapat dikatakannya kepadanya? Akan ada apa? Apa yang akan terjadi?

“Salam ‘alaik.” “Alaika salam wa rahmatullah.”

Dan, inilah salam yang pertama yang dilakukan dalam Islam. Kita tidak tahu berapa lamanya kunjungan ini. Sekalipun umpamanya sejarah telah mengatakan kepada kita, kita pun tidak juga akan tahu, karena pada detik-detik ini, waktu tidak berarti. Yang kita ketahui ialah bahwa putra Junadah masuk ke dalam rumah Arqam dan hilang di sana. Tiada seorang pun yang tahu ke mana ia pergi. Ia tidak pernah meninggalkan rumah Arqam. Jundab bin Junadah pergi, dan tiba-tiba, di samping Ka’bah, di puncak Safa, dari tempat persembunyian wahyu, cakrawala pagi Islam, bangkit suatu wajah, bersuluh fajar, berhenti sejenak. Dengan dua biji mata yang dipenuhi nyala api padang pasir, ia bergegas berpaling ke atas tembok yang membukit di lembah Makkah, dan melihat ke arah berhala-berhala di Ka’bah.

Patung-patung tolol itu seluruhnya telah menjamin pencarian syaitani akan keekslusifan dari ‘pemuja-pengukir’ mereka. Inilah saat pertama Abu Dzar melihat seperti itu, dan dengan rasa takjub dan marah, bertanya kepada dirinya, “Apakah yang sedang dilakukan oleh tiga ratus sekian berhala syirik di rumah tauhid Ibrahim?”

Ia bergegas turun dari Safa, seorang musafir, sendirian, terbakar dan penuh tekad. Nampak seakan-akan ia adalah Muhammad yang terbakar malam itu, bangkit dari api wahyu yang pertama meninggalkan gua itu, turun dari Hira; atau, ia laksana sebongkah batu yang digilas oleh gempa bumi, dari sebuah bukit, jatuh ke lembah Makkah yang dalam, ke atas kepala-kepala syirik, kemunafikan, dan kehinaan.

Islam masih tersembunyi di rumah Arqam. Rumah ini merupakan seluruh dunia Islam dan Ummah, yang dengan datangnya Abu Dzar, menjadi empat orang. Suasana taqiyyah menguasai perjuangan itu. Ia telah diminta meninggalkan Makkah, tanpa ragu- ragu, untuk kembali ke Ghifar dan menunggu perintah. Tetapi dada bertulang dari putra gurun ini lebih lemah dari kemampuan menyembunyikan api itu dalam dirinya. Abu Dzar ― yang bertubuh tinggi semampai itu, adalah menara dari rumah suci keimanannya, yang tidak lain dari corong suara pekikan, dan bentuknya dengan hatinya yang bernyala-nyala dan dalam penyerahan kepada gurun pasir luas, nampak seakan-akan penuh pemberontakan, tiba-tiba mengental dan menjadi Abu Dzar ― tidak mampu bertaqiyyah; ia adalah pemberontakan itu sendiri ― situasi semacam itu menuntut kemampuan dan ia tidak mampu. “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya.”

Di depan Ka’bah, di hadapan berhala-berhala yang mengerikan, di samping Dar Al-Najua (Nadwa), senat Quraisy, ia bediri dan meneriakkan pekikan tauhid, ia menyerukan kepercayaannya akan misi Muhammad; ia menamakan berhala-berhala itu ‘batu-batu bisu yang telah mereka ukir sendiri’. Dan ini seruan pertama yang telah dibawa Islam; untuk pertama kalinya, seorang Muslim memberontak terhadap syirik. Jawaban dari syirik sudah jelas, maut! Kematian yang akan menjadi pelajaran syirik sudah jelas, maut! Kematian yang akan menjadi pelajaran bagi yang lain-lainnya. Tenggorokan pertama dari pekikan ini harus digorok sampai putus. Tanpa ragu-ragu, mereka menyerbunya, memukul kepalanya, mukanya, dadanya dan pinggangnya, sampai mereka memutuskan pekikan-pekikannya yang ‘seperti kafir’ ini.

Abbas tiba. Paman Nabi itu, yang pada waktu itu adalah pengumpul bunga uang dan segolongan dengan para aristokrat Quraisy serta kapitalis musyrikin, menakuti mereka dengan mengatakan, “orang ini dari Ghifar. Apabila kamu membunuh dia, maka pedang-pedang Ghifar akan menuntut balasnya terhadap kafilah dagangmu!” Mereka harus membuat keputusan antara agamanya atau dunianya, tuhan atau barang? Kiblat cinta atau kafilah uang. Yang mana? 

Mereka mundur tanpa ragu-ragu. Abu Dzar, seperti suatu patung, tercemar darah dan patuh, di tengah lingkaran suatu gerombolan ketakutan yang hanya melihat kepada tawanannya; dengan kesulitan, ia berusaha bangkit. Garis menengah lingkaran itu makin membesar. Ia bangkit, menopang dirinya pada kedua kakinya sendiri. Kerumunan itu makin padat; seakan-akan mereka mencari perlindungan antara satu sama lainnya. Di sinilah jalan kekerasan takut akan keimanan. Ia adalah satu wajah, dan mereka tidak berwajah, tidak berkepribadian, semua sendirian, semua tanpa identitas, ternak yang berlimpah-limpah; dan yang sedang menghadapi mereka, seorang manusia, satu pribadi-pribadi yang oleh iman telah diberi makna, isi, ideal-ideal, orientasi, serangan dan kekuatan yang menakjubkan, laksana mukjizat, tidak terkalahkan, yang telah dianugerahkan oleh syahadah kepada seorang mukmin.

Ia pergi. Ia membawa dirinya ke sumur zamzam. Ia membasuh luka-lukanya. Ia membersihkan bekas-bekas darahnya. Besoknya ia kembali ke gelanggang itu, sekai lagi ia menuju ke tepian maut. Abbas datang dan memperkenalkannya, “Ia dari suku Ghifar...”, dan sekali lagi, begitu pun esok harinya.

Sampai Nabi, sekali ini bukan untuk menyelamatkan nyawa Abu Dzar tetapi dengan suatu perintah, menggerakkan si pemberontak yang resah ini dari kota penindasan dan bahaya, dan memberikan kepadanya tugas untuk berdakwah kepada suku Ghifar.

Abu Dzar membawa seluruh keluarganya masuk Islam, dan, sedikit demi sedikit, seluruh sukunya masuk Islam. Ia sedang bersama-sama suku Ghifar ketika kaum Muslimin melewati kesulitan-kesulitan perjuangan di Makkah, ketika mereka berhijrah, dan di Madinah, ketika mereka bergerak dari tahap individualisasi ke tahap pembentukan sistem kemasyarakatan, dan sebagai akibatnya, peperangan pun dimulai.

Di sinilah Abu Dzar merasa bahwa ia barus berada di gelanggang; ia pergi ke Madinah, dan di sana, karena tidak mempunyai tempat atau pekerjaan, ia menjadikan Masjid Nabi sebagai rumahnya ― yang pada waktu itu adalah rumah manusia, dan bergabung dengan para sahabat Ahlu Shuffah. Ia mengorbankan kehidupan, demi akidah. Dalam melayani gerakan itu ―pada masa damai ― pikiran, pengetahuan dan sembahyang. Dan ―dalam masa peperangan ― pertempuran jasmani.

Islam, di bawah pimpinan Nabi, memuaskan segala kebutuhan manusiawi dan hasrat-hasrat sosial Abu Dzar; Islam, berdasarkan tauhid, membuka gerbang perjuangan. Di satu pihak adalah Tuhan, persamaan, agama, roti, cinta dan kekuatan, dan, pada pihak lain, kesombongan, tiran yang despotis, diskriminasi, kufur, kelaparan, dan, agamanya yang menuntut kelemahan dan kehinaan. Islam, untuk pertama kalinya, mengakhiri dongengan dari para penindas perampok yang telah membuat slogan untuk ‘menghendaki dunia ini atau akhirat’ menjadi kepercayaan rakyat, sehingga ‘dunia yang akan datang’ adalah untuk rakyat, dan dunia ini bagi dirinya sendiri, dan, dengan cara ini, mereka menganugerahkan kesucian Ilahi kepada kemiskinan.
Dalam persepsi yang tidak manusiawi ini, Islam membawa suatu revolusi yang sesungguhnya menjadi kenyataan yang mengatakan, ‘Kemiskinan itu kufur.’ “Barangsiapa tidak bernafkah, tidak akan terselamatkan.”

Karunia Allah, kekayaan yang besar (bagi masyarakat), kebaikan dan kebajikan, adalah bagian dari kehidupan jasadi, dan ‘roti’ adalah infrastruktur bagi peribadatan kepada Allah.” “Kemiskinan, kehinaan dan kelemahan, dan dengan semua ini, agama, kerohanian dan ketakwaan dalam suatu masyarakat?” Itu bohong! Karena inilah maka Nabinya Abu Dzar adalah seorang Nabi yang bersenjata; tauhidnya bukanlah falsafah subyektif individual spiritual. Tauhid harus terwujud dengan dukungan terpadu dari kesatuan ras dan bangsa-bangsa, kesatuan kelas, dan persamaan ― setiap orang menurut andil dan haknya ― yakni, suprastruktur yang deterministik dari tauhid tidak akan terwujud hanya dengan kata-kata; pedang harus menyertai amanat itu.

Karena inilah maka Abu Dzar membebaskan kehidupan pribadi jasadinya ― karena orang yang memerangi kelaparan harus menanggung laparnya sendiri, dan lapar itu dapat memberikan kebebasan kepada masyarakatnya yang telah mengalami pembebasannya sendiri ― dan menyerukan ‘peribadatan revolusioner’ yang merupakan kecermatan Islami dan kecermatan Ali, sehingga rakyat akan dipersiapkan dengan kebutuhan material dan persamaan ekonomik, bukan kecermatan mistik ala Kristen atau ala Budha.

Seperti inilah maka agama revolusioner ini, agama ‘dunia maupun akhirat’, agama yang bukan kelemahan dan bukan kebiharaan, bukan deprivasi dan bukan pemencilan dan alam dan ‘kecanduan Hari Terakhir’ dari makhluk manusia dalam alam, adalah agama ‘yang membuat manusia menjadi suci di dalam alam’, ‘khalifah Allah’ di bumi yang jasadi. Pemimpinnya, dan sebelum segala sesuatu, Nabinya, sedang hidup di masjid Tuhan dan di tengah manusia: Muhammad, Ali dan para Sahabat Shuffah: para Salman dan para Abu Dzar.

Abu Dzar sendiri dapat ditemui di serambi berpelindung (shuffah) di sudut masjid pada ketinggian sukses; ia telah menjadi salah satu dari sahabat akrab Nabi. Apabila ia tidak tampak dalam satu kelompok, Nabi akan menanyakannya; apabila ia ada dalam kelompok, beliau akan berpaling kepadanya di tengah-tengah pembicaraan. Di bawah pimpinan Nabi, dalam Perang Tabuk, ketika pasukan dalam kesulitan, melintasi gurun pasir utara yang membakar, untuk mencapai perbatasan (timur) empirium Romawi, Abu Dzar tercecer. Untanya yang kurus terhenti. Ia memerdekakan unta itu di bawah panggangan mentari dan meneruskan pejalanan seorang diri! Ia mendapatkan air; ia mengambil air itu untuk diberikan kepada ‘sahabatnya’ yang juga pasti sedang menderita kehausan di padang pasir seperti itu.

Nabi dan para mujahidin melihat bahwa ada suatu titik yang tidak jelas sedang bergerak maju pada kedalaman gurun pasir yang ganas itu. Sedikit demi sedikit, mereka menyadari bahwa itu seorang manusia! Siapakah itu? Berjalan kaki di gurun yang membakar semacam itu, sendirian? Nabi, dengan kegairahan yang berlimpah dengan hasrat, berseru, “Semoga itu Abu Dzar!” Satu jam berlalu. Itu memang Abu Dzar. Ketika ia sampai kepada mujahidin itu, ia jatuh karena kehausan dan kelelahan.

“Anda membawa air, dan kehausan, Abu Dzar?” tanya Nabi. “Saya pikir, di gurun seperti ini, dan di bawah terik matahari seperti ini, Engkau...” “Semoga Allah memberkati Abu Dzar! Ia berjalan sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian!” sabda Nabi.

Sumber: Dr. Ali Syari’ati, Abu Dzar, Muthahhari Paperbacks, April 2001 M/Muharram 1422 H.

Kamis, 02 April 2015

Pentingnya Metode yang Tepat Untuk Memahami Islam




Oleh Dr. Ali Syari’ati (Filsuf dan Sosiolog)

Saya hendak membahas mengenai berbagai cara untuk mengetahui dan memahami Islam. Perkataan “berbagai cara” mengandung konsep ilmiah yang seksama lagi penting, dan menunjuk kepada metodologi pemahaman Islam. Masalah metodologi adalah sangat penting dalam sejarah, terutama dalam sejarah ilmu. Metode kognitif yang tepat untuk mengemukakan kebenaran adalah lebih penting dari filsafat dan ilmu ataupun dari pada memiliki sekadar bakat.

Kita mengetahui bahwa dalam zaman media, selama seribu tahun Eropa berada dalam stagnasi dan apatis yang paling seram. Segera setelah berakhirnya periode ini, stagnasi dan apatis itu berganti dengan kebangkitan yang revolusioner dan beraneka segi di bidang-bidang ilmu, seni, sastra, serta semua yang mempunyai kaitan manusia dan sosial. Revolusi dan ledakan energi yang mendidik dalam pemikiran manusia ini telah melahirkan peradaban dan kebudayaan dunia kini. Sekarang kita harus menanyakan kepada diri kita sendiri: Kenapa Eropa mengalami stagnasi selama seribu tahun, dan apakah yang menyebabkan perubahan arah yang tiba-tiba, sehingga dalam jangka tiga abad, Eropa telah menemukan kebenaran yang setama seribu tahun penuh tidak pernah terkilas padanya? Pertanyaan ini, teramat penting mungkin merupakan pertanyaan terbesar dan terpenting yang harus dijawab oleh ilmu.

Tidak diragukan lagi, banyak faktor yang telah menyebabkan stagnasi Eropa di Zaman Madya, dan berbagai sebab telah membangkitkan Eropa dari tidurnya, menggerakkanya maju meluncur di semua bidang. Harus kita kemukakan di sini bahwa faktor dasar dalam stagnasi pemikiran; peradaban dan kebudayaan yang terjadi selama seribu tahun di Eropa Zaman Madya itu ialah metode penalaran anatogis Aristoteles. Bila cara melihat masalah dan obyek berubah, maka ilmu, masyarakat dan dunia turut berubah, dan akibatnya hidup manusia juga berubah. Yang kita bahas di sini iatah kebudayaan, pemikiran dan gerakan ilmiah. Itulah sebabnya kita menganggap perubahan metodologi sebagai faktor dasar dalam Renaissance. Bersamaan dengan itu, dan sudut pandangan sosiologis memang benar bahwa faktor utama dalam perubahan ini ialah transformasi sistem feodal menjadi sistem borjuis, sedangkan transformasi itu sendiri disebabkan oleh runtuhnya tembok yang memisahkan Timur Islam dari Barat Nasrani, keruntuhan yang hidupkibatkan oleh Perang Salib.

Karena itu metode sangatlah penting dalam penentuan kemajuan atau kemerosotan. Yang menimbulkan stagnasi dan apatis ataupun gerak dan kemajuan ialah metode penyelidikan, bukan sekadar ada atau tidak adanya genius. Dalam abad-abad keempat dan kelima sebelum Masehi, misalnya, terdapat banyak genius besar yang jauh lebih hebat daripada para genius abad-abad keempat belas, kelima belas dan keenam belas. Tidak perlu diragukan bahwa sebagai genius Aristoteles adalah lebih besar daripada Francis Bacon, sedang Plato adalah genius yang lebih besar daripada Roger Bacon. Tetapi apakah yang telah memungkinkan kedua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan ilmu, meskipun kadar kegeniusan mereka lebih rendah daripada orang seperti Plato, sementara para genius yang lebih besar itu ternyata telah mengakibatkan stagnasi seribu tahun di Eropa Zaman Madya? Dengan perkataan lain, kenapa seorang genius mengakibatkan stagnasi di dunia, sedangkan seorang awam bisa membawa kemajuan ilmiah dan kebangunan rakyat? Karena yang orang awam itu telah menemukan metode penalaran yang tepat. Dengan metode penalaran yang tepat, bahkan seorang intelek yang bermutu sedangan saja bisa menemukan kebenaran, sedangkan sang genius besar, bila hidup tidak mengetahui metode yang tepat untuk melihat sesuatu dan memikirkan masalah, tidak akan dapat memanfaatkan geniusnya.

Itulah sebabnya dalam sejarah peradaban Yunani kita lihat puluhan genius yang berkumpul di suatu tempat yang sama pada abad-abad keempat dan ketima. Sejarah umat manusia masih tetap berada di bawah pengaruh mereka hingga dewasa ini. Tetapi di seluruh Athena tidak ada yang bisa menemukan roda. Padahal di Eropa modern, seorang ahli teknik yang bahkan tidak paham akan karya-karya Aristoteles dan murid-muridnya, telah membuat ratusan penemuan ilmiah.

Contoh terbaik mengenai ini ialah Thomas Alfa Edison. Kadar persepsi umumnya lebih rendah daripada murid-murid kelas tiga Aristoteles. Tetapi justru sumbangannya bagi penemuan alam dan kelahiran industri ternyata lebih besar daripada semua genius yang telah terlatih dalam ajaran Aristoteles selama 2.400 tahun yang lalu. Edison telah melakukan lebih dari seribu penemuan ilmiah, besar dan kecil. Berpikir tepat adalah seperti berjalan. Seorang yang lumpuh sebelah kakinya sehingga tidak bisa berjalan cepat, jika memilih jalan yang benar, akan lebih cepat sampai ke tujuannya daripada juara lari yang menempuh jalan penuh batu dan berputar-putar. Betapa cepatnya sang juara berlari, namun ia akan lebih belakangan sampai di tempat tujuannya, itupun jika ia berhasil sampai ke sana. Berbeda halnya dengan si lumpuh tadi, karena ia telah memilih jalan yang benar tentulah ia akan mencapai tujuan dan cita-citanya.

Memilih metode yang tepat adalah yang pertama-tama harus dipertimbangkan dalam semua cabang pengetahuan yang beraneka, ragam sastra, sosial, seni dan psikologis. Karena itu tugas pertama seorang peneliti ialah memilih metode yang sebaik-baiknya untuk penelitian dan penyelidikannya. Kita harus menarik manfaat sebesar-besarnya dari serba pengalaman sejarah, dan sebagai penganut suatu agama besar kita harus merasa wajib untuk mempelajari dan memahami Islam secara tepat dan metodik.

Sekarang bukanlah zamannya untuk memulai sesuatu yang tidak kita ketahui. Terutama golongan terpelajar mempunyai tanggung jawab yang lebih berat untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa yang mereka anggap suci. Ini bukan semata-mata kewajiban Islamiyah, tetapi juga merupakan kewajiban ilmiah dan manusiawi. Watak seseorang bisa diukur menurut kadar pengetahuannya tentang apa yang dipercayainya, karena percaya begitu saja bukanlah hal yang baik. Tidak ada gunanya mempercayai sesuatu yang tidak sepenuhnya kita ketahui. Adalah termasuk kebaikan bila kita benar-benar mengetahui apa yang kita percayai. Maka karena kita percaya akan Islam, kita harus berusaha memperoleh pengetahuan yang tepat tentangnya dan memilih metode yang tepat pula untuk itu.

Sekarang timbul pertanyaan, apakah itu metode yang tepat? Untuk mempelajari dan memahami Islam kita tidak boleh meniru dan mempergunakan metode-metode Eropa yakni metoda-metoda naturalistik, psikologis ataupun sosiologis. Kita harus inovatif dalam memilih metode. Tentu saja kita harus mempelajari metode-metode ilmiah Eropa, tetapi kita tidak perlu mesti mengikutinya. Sekarang ini, metode-metode ilmiah telah mengalami perubahan dalam semua cabang pengetahuan, dan telah ditemukan pendekatan-pendekatan baru. Begitu pula dalam penyelidikan tentang agama, kita harus menempuh jalan-jalan baru dan memilih metode baru.

Jelas kita tidak bisa memilih satu metode tunggal untuk mempelajari Islam. Karena Islam bukanlah agama unidimensional. Islam bukanlah agama yang semata-mata berdasarkan intuisi mistik manusia serta terbatas pada hubungan antara manusia dan Allah. Ini baru salah satu dimensi saja dari Islam. Untuk mempelajari dimensi ini kita harus mempergunakan metode filosofis, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, dalam artian pemikiran metafisis yang umum dan bebas. Dimensi lain agama ini ialah berkenaan dengan masalah hidup manusia di muka bumi. Untuk mempelajari dimensi ini kita harus mempergunakan metode-metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu manusia dewasa ini. Kemudian, Islam pun merupakan agama yang telah menciptakan masyarakat dan peradaban. Untuk mempelajari ini harus kita pergunakan metode-metode sejarah dan sosiologi.

Jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dan gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun itu tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah al-Quran sendiri. Kitab itu memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi umpamanya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra al-Quran. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan al-Quran yang menjadi bahan pemikiran bagi para filosof serta para teolog hari ini. Dimensi al-Quran lainnya lagi, yang belum begitu dikenal ketimbang yang lain, ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis, sosiologis dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal, karena sosiologi, psikologi dan ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih muda daripada ilmu-ilmu alam. Apalagi ilmu sejarah, yang merupakan ilmu termuda di dunia. Yang kita maksudkan dengan ilmu sejarah di sini tidaklah identik dengan data historis ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam buku-buku tertua yang pernah ada.

Ayat-ayat historis mengenai nasib bangsa-bangsa, hubungan antara mereka satu dengan lain, serta sebab-sebab kemunduran dan kejatuhan mereka berkali-kali kita jumpai dalam al-Quran. Ayat-ayat tersebut harus dipelajari oleh para sejarahwan dengan menggunakan pendekatan historis dan ilmiah. Sedang para sarjana sosiologi harus mempelajarinya menurut metode sosiologis. Soal-soal yang bersifat kosmologis dan berkaitan dengan ilmu-ilmu alam serta gejala-gejala alam harus dipelajari dan dipahami menurut metodologi ilmu-ilmu alam. Karena bidang studi dan spesialisasi saya ialah sejarah dan sosiologi maka saya bermaksud menggunakan kesempatan ini untuk mengemukakan semacam rencana atau pola. Saya akan mengemukakan dua metode, yang kedua-duanya berkaitan khusus dengan sosiologi, sejarah dan ilmu-ilmu manusiawi. Sekadar untuk memperjelas maka saya akan membandingkan agama dengan seorang manusia.

Hanya ada dua cara untuk mengenal seorang tokoh besar, dan keduanya harus ditempuh serentak. Cara pertama ialah dengan menyelidiki karya-karya intelektual, ilmiah serta tulisan-tulisannya, teori-teorinya, ceramah-ceramahnya maupun buku-bukunya. Untuk mengenalnya kita perlu mengenal ide-ide dan apa yang diyakininya. Tetapi ini pun belum cukup untuk memahami tokoh yang bersangkutan, karena banyak hal dalam kehidupannya yang tidak sampai tercermin pada karya-karya, tulisan-tulisan maupun pernyataan-pernyataannya, atau mungkin juga tercermin di sana, namun sukar untuk ditangkap. Maka cara kedua, yang melengkapi cara pertama, serta memungkinkan kita untuk memahami tokoh itu secara purna, ialah dengan mempelajari biografinya serta mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Di mana ia lahir? Bagaimana keluarganya? Apa bangsa dan negerinya? Bagaimana masa kanak-kanaknya? Bagaimana pendidikannya? Dalam lingkungan apa ia dibesarkan? Di mana ia belajar? Siapa guru-gurunya? Peristiwa-peristiwa apakah yang pernah dialaminya dalam hidupnya? Apa saja kegagalan dan keberhasilannya?

Demikianlah ada dua metode untuk mengenal seorang dan kedua-duanya harus dilakukan, pertama menyelidiki pikiran-pikiran dan keyakinannya dan kedua, mempelajari biografinya dari awal sampai akhir. Agama adalah seperti manusia. Ide-ide agama kita temukan sarinya dalam bukunya, “al-kitab”-nya, yang merupakan dasar ajaran yang didakwahkannya kepada manusia. Sedangkan biografi suatu agama ialah sejarahnya. Demikianlah ada dua metode dasar untuk mempelajari Islam secara tepat, persis dan sesuai dengan metodologi dewasa ini. Pertama, dengan mempelajari al-Quran, sebagai himpunan ide serta produk ilmiah dan sastra dari “seseorang” yang dikenal dengan nama “Islam”. Kedua, dengan mempelalari sejarah Islam, yaitu seluruh perkembangan yang pernah (dialami Islam sejak awal risalah Rasul hingga hari ini).

Kedua metode ini kiranya telah cukup jelas, tetapi sayangnya, studi tentang al-Quran maupun sejarah Islam dalam kalangan kita waktu ini masih sangat lemah. Namun, untunglah, kebangkitan masyarakat Muslim di abad kita ini rupanya telah meningkatkan minat kaum Muslimin untuk mempelajari ajaran-ajaran al-Quran dan menganalisa sejarah Islam. Dalam bukunya Malam Imperialisme, Ferhat Abbas mengatakan, bahwa kebangkitan sosial di negeri-negeri Afrika Utara: Maroko, Aljazair dan Tunisia bermula dengan datangnya Muhammad ‘Abduh ke Afrika utara mengajarkan tafsir al-Quran yang dalam pendidikan agama di sana tidak bisa diajarkan. Jelas bahwa penulis buku itu, ia sendiri tidak berorientasi religius, beranggapan bahwa awal kebangkitan dan perkembangan religius di negeri-negeri Afrika Utara terjadi ketika kaum Muslimin di sana beserta para ulama mereka mengenyampingkan pelajaran tentang pelbagai ilmu agama dan kembali mencurahkan perhatian mereka kepada al-Quran dan mempelajari isinya.

Mengetahui dan memahami al-Quran sebagai sumber ide Islam, begitupun mengetahui dan memahami sejarah Islam berupa catatan berbagai peristiwa yang telah terjadi di berbagai masa. Itulah dua metode dasar untuk mengenal Islam secara tepat dan ilmiah. Masih ada lagi suatu metode lain untuk mengetahui dan memahami Islam, ialah metode tipologi. Metode ini, yang dianggap efektif oleh banyak sosiolog ialah dengan mengklasifikasikan topik-topik dan tema-tema menurut tipe masing-masing dan kemudian lalu memperbandingkannya atas dasar itu. Berdasarkan pendekatan ini, yang di Eropa digunakan dalam penelitian tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan humaniora, saya telah menggariskan suatu metode yang bisa diterapkan pada setiap agama. Untuk ini kita mengindentifikasikan lima aspek atau karakteristik yang menonjol dari setiap agama, lalu kita bandingkan dengan aspek atau karakteristik yang bersamaan pada agama-agama lain:

[1] Tuhan pada masing-masing agama; yaitu sesuatu yang disembah oleh para penganut agama yang bersangkutan. [2] Nabi masing-masing agama; ialah orang yang menyatakan risalah agama. [3] Kitab masing-masing agama; yakni dasar hukum yang dinyatakan oleh agama yang bersangkutan. Manusia diajak untuk mengimani dan menaatinya.

[4] Keadaan sekitar awal kehadiran nabi masing-masing agama serta kepada siapa risalahnya dialamatkan. Karena masing-masing nabi menyampaikan risalahnya dengan cara yang berbeda. Ada yang menyampaikan risalahnya untuk manusia umumnya (an-nâs), ada yang untuk para ningrat dan ada pula yang risalahnya teruntuk kaum terpelajar, para filosof dan golongan elite. Demikianlah ada nabi yang berusaha mendekati para penguasa, dan ada pula yang menempatkan dirinya sebagai lawan para penguasa.

[5] Manusia-manusia pilihan yang dihasilkan oleh masing-masing agama, tokoh-tokoh representatif didikan agama yang bersangkutan dan kemudian ditampilkan kepada masyarakat dan sejarah. Sebagaimana halnya bahwa metode terbaik untuk menilai suatu pabrik ialah dengan meneliti barang-barang yang diproduksinya, dan untuk menilai kesuburan sebidang tanah ialah dengan memeriksa hasil panennya, begitu pulalah agama bisa dianggap sebagai pabrik yang memproduksi manusia, dan mereka yang mendapat bimbingannya adalah merupakan hasil produksinya.

Menurut metode ini, untuk lebih mengenal dan memahami Islam pertama-tama harus mengenal Allah. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah, misalnya dengan memperhatikan dan merenungkan kejadian alam, dengan metode filsafat, iluminasi dan ma’rifat. Tetapi metode yang hendak saya kemukakan ialah metode tipologi. Kita pelajari tipe, konsep, ciri-ciri dan sifat-sifat Tuhan menurut Islam. Umpamanya, kita tanyakan apakah Dia pemberang atau penuh kasih-sayang. Apakah Dia Mahatinggi di atas segala-galanya? Apakah Dia bercampur dengan manusia? Apakah aspek kasih-Nya mengungguli aspek murka-Nya, ataukah sebaliknya? Ringkasnya, Tuhan “tipe” apakah Dia?

Untuk bisa mengenal sifat-sifat Allah secara tepat, maka kita harus mempelajari al-Quran dan kata-kata Rasul maupun para sahabatnya yang pilihan. Sifat-sifat Allah telah dikemukakan secara jelas dalam al-Quran, sedangkan Rasul dan para sahabat seringkali menyinggungnya dalam ucapan-ucapan mereka. Kemudian kita bandingkan Allah dengan figur Tuhan yang dilukiskan agama-agama lain, Ahura-mazda, Yehovah, Zeus, Baal, dan seterusnya. Tahap kedua untuk mengenal dan memahami Islam ialah dengan mengenal dan mempelajari kitabnya, al-Quran. Kita pun harus mengerti buku macam apa al-Quran itu, masalah apa saja yang dibahasnya, dan bidang-bidang apa saja yang ditekankannya. Apakah al-Quran lebih banyak membicarakan kehidupan dunia ini ataukah akhirat nanti? Apakah ia lebih banyak membahas tentang masalah-masalah moralitas perseorangan, ataukah masalah-masalah sosial? Apakah ia lebih memperhatikan hal-hal yang material ataukah yang abstrak? Apakah ia lebih menaruh perhatian pada alam daripada manusia? Ringkasnya, hal-hal apa sajakah yang dibahasnya dan dengan cara bagaimana?

Mengenai bukti adanya Tuhan, misalnya, apakah Islam menganjurkan manusia untuk menyucikan jiwanya agar dapat mengenal Allah? Atau apakah ia menyuruh kita untuk mengenal Allah dengan mempelajari ciptaan-Nya, yang berupa dunia lahiriah dan dunia batiniah? Ataukah kita harus menempuh kedua-duanya?

Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka selanjutnya kita bandingkan al-Quran dengan tulisan-tulisan religius lain, seperti Injil, Taurat, Veda, Avesta, dan seterusnya. Tahap ketiga untuk memahami Islam ialah dengan mempelajari kepribadian Muhammad bin ‘Abdullah. Mengenal dan memahami Rasul Islam penting sekali bagi sejarawan, karena tidak pernah dalam sejarah ada seorang yang berperan seperti beliau. Peranan Rasul dalam peristiwa-peristiwa yang dihayati beliau sungguh sangat besar dan positif. Yang kita maksudkan dengan kepribadian Rasul ialah sifat-sifat manusiawi beliau maupun hubungan beliau dengan Allah, serta kekuatan batin khusus yang diperoleh beliau dari hubungan tersebut. Dengan perkataan lain, kita pelajari baik aspek manusiawi maupun kerasulan beliau.

Mengenai dimensi manusiawi Rasul, misalnya, kita harus mempelajari cara beliau berbicara, bekerja, berpikir, tersenyum, duduk dan tidur. Kita harus mempelajari bagaimana beliau berhubungan dengan orang-orang asing, dengan lawan, dengan teman dan keluarga. Kita harus meneliti kegagalan dan kejayaan beliau maupun cara beliau menghadapi permasalahan permasalahan sosial yang besar. Demikianlah, salah satu cara untuk mempelajari hakikat, semangat serta kenyataan Islam yang asli ialah dengan mempelajari Rasul Islam dan membandingkan beliau dengan para nabi dan para pendiri agama-agama, seperti Musa, ‘Isa , Zarathustra dan Buddha.

Tahap keempat ialah mempelajari keadaan sekitar awal kehadiran Rasul Islam. Apakah beliau, misalnya, tampil tanpa persiapan? Adakah orang yang mengharap-harap kedatangan beliau? Apakah beliau telah lebih dahulu mengetahui risalah beliau? Tahukah beliau apa yang menjadi risalah beliau? Atau apakah risalah itu tiba-tiba saja mendadak turun pada jiwa beliau, suatu arus pikiran ajaib mulai mengalir dalam diri beliau, merubah sama-sekali gaya bicara serta pribadi beliau, sehingga pada mulanya terasa berat bagi beliau? Bagaimanakah beliau menghadapi manusia ketika beliau pertama kali menyampaikan risalah beliau? Kelas manakah yang mendapat perhatian terutama beliau, dan kelas manakah yang ditentang beliau? Semua ini membantu kita untuk lebih mengenal Rasul Islam dan memahami keadaan yang dihayati beliau ketika beliau baru menerima risalah.

Jika kita bandingkan keadaan yang dihayati Rasul Islam ketika beliau mulai tampil dengan yang dialami nabi-nabi benar lain atau palsu, seperti ‘Isa , Ibrahim, Musa, Zarathustra, Kong Fu-Tse, Buddha, dan lain-lain, maka kita akan sampai pada kesimpulan yang menarik sebagai berikut: semua nabi, terkecuali yang keturunan Ibrahim, langsung mendekat kepada penguasa sekular yang ada dan mencoba bergabung dengannya, dengan harapan bahwa berkat restu sang penguasa mereka akan lebih berhasil menyiarkan agama mereka. Sebaliknya, semua nabi keturunan Ibrahim, sejak Ibrahim hingga kepada Rasul Islam, menyatakan risalah mereka dalam bentuk perlawanan terhadap kekuasaan sekular ketika itu.

Sejak awal risalahnya, Ibrahim mulai menghancurkan berhala-berhala dengan kampaknya. Dihantamkannya kampaknya pada berhala utama kaumnya untuk menyatakan oposisinya terhadap segenap berhala dalam zamannya. Tanda pertama risalah Musa ialah waktu hidup masuk ke dalam istana Fir’aun atas nama monoteisme. Begitu pula Isa berjuang menghadapi kekuasaan pendeta Yahudi yang bersekutu dengan imperialisme Romawi. Sedang Rasul Islam, sejak semula berjuang melawan aristrokrasi, terhadap para pemilik budak serta para pedagang Quraisy dan para tuan kebun di Tha’if. Perbandingan antara kedua kelompok nabi itu, yang keturunan Ibrahim dan yang bukan keturunan Ibrahim, akan membantu kita untuk memahami hakikat, semangat maupun orientasi berbagai agama yang sedang dipersoalkan.

Tahap kelima untuk mengenal dan memahami Islam ialah dengan mempelajari contoh-contoh hasil terbaik yang telah disalurkan oleh pabrik yang memproduksi manusia itu untuk kemanusiaan, masyarakat dan sejarah. Dengan mempelajari contoh yang menonjol dari masing-masing agama, misalnya, Harun untuk agama Musa, Santo Paulus untuk agama ‘Isa , dan ‘Ali, Husain atau Abu Dzarr untuk agama Islam, kiranya kita akan lebih mudah memahami agama-agama tersebut. Dari sudut pandangan Islam, pemahaman yang benar dan jelas tentang tokoh-tokoh tersebut adalah bagaikan mengenal sebuah pabrik lewat barang-barang yang diproduksinya, karena agama memang merupakan pabrik yang berfungsi untuk memproduksi manusia.

Marilah sekarang kita bicarakan tokoh Husain, sebagai contoh dari seorang yang dididik dan dibesarkan dalam agama Islam, supaya kita bisa mengetahui bagaimana macamnya orang yang beriman kepada Allah, al-Quran dan Rasul. Riwayat hidup Husain sudah cukup dikenal, juga prinsip-prinsip yang diperjuangkannya. Begitu pun kepekaannya akan masalah-masalah sosial dan nasib rakyat, bakti dan pengorbanannya. Sudah sangat terkenal kesiapannya untuk mengorbankan semua kepentingan duniawinya, demi kebenaran dan keyakinannya. Ringkasnya Husain adalah contoh paling tepat untuk maksud penelitian kita.

Untuk lebih mengenal dan memahami kehidupan pendapat-pendapat serta karakteristik Husain, kita bandingkan pula hidup dengan dua orang muslim lain, Abu ‘Ali Sina serta Husain bin Mansur al-Hallaj, Abu ‘Ali Sina dididik dan dibesarkan dalam filsafat sedang Husain bin Mansur al-Hallaj dalam Sufi Persia. Dengan membandingkan ketiga tokoh ini kita akan lebih memahami perbedaan maupun persamaan yang terdapat, dalam aliran filsafat, Sufi dan Islam.

Ibn Sina ialah seorang filosof besar, sarjana dan gnotis, kebanggaan sejarah ilmu dan filsafat dalam peradaban Islam. Tetapi, dari segi sosial, tokoh besar yang begitu menonjol sebagai filosof dan sarjana, ternyata telah merasa puas dengan mengabdikan dirinya kepada penguasa. Tidak pernah dia tunjukkan perhatiannya akan nasib manusia maupun rakyatnya. Dia tidak melihat kaitan antara nasibnya degan nasib orang lain. Yang diperhatikannya hanyalah serba ilmiah. Di luar itu dia tidak mengambil peduli; dia bisa menerima siapa saja yang menyediakan uang dan posisi baginya.

Sedangkan al-Hallaj ialah api yang berkobar. Seorang yang sedang terbakar tidak mempunyai tanggungjawab, fungsinya hanyalah membakar dan berteriak. Kenapa al-Hallaj terbakar? Karena cintanya yang teramat sangat kepada Allah. Sambil kedua tangannya memegang kepalanya hidup berlari sepanjang jalan raya di Baghdad dan berteriak: “Belahlah kepala ini, karena ia telah melawanku! Tolonglah aku dari api yang membakar batinku! Aku tidak ada, Aku adalah Allah!” Yang dimaksudnya adalah “Aku tidak ada lagi! Yang ada hanyalah Allah!”

Hallaj senantiasa terbakar oleh kerinduannya mendambakan Allah. Itulah sumber puncak nikmat sejati baginya. Tetapi coba bayangkan; bagaimana jadinya jika masyarakat Iran yang terdiri atas dua puluh lima juta jiwa itu semuanya menjadi Hallaj. Iran akan menjadi sebuah rumah gila yang besar, dengan setiap orang berlarian di jalan-jalan dan berteriak, “Ayo bunuhlah aku! Aku tak tahan lagi! Aku tak punya apa-apa! Tak ada apa-apa dibalik pakaianku, hanya Allah!” Cinta yang bernyala dan rindu-luluh demikian adalah semacam kegilaan batin atau mistik, dan andaikata semua anggota masyarakat jadi seperti al-Hallaj atau seperti Ibn Sina binasalah jadinya.

Tetapi sekarang bayangkanlah suatu masyarakat yang hanya terdiri atas seorang Husain bin ‘Ali, bersama beberapa orang Abu Dzarr. Maka masyarakat itu benar-benar hidup, belajar, kuat dan mantap; masyarakat itu akan mampu mengalahkan lawan-lawannya dan akan mampu mencintai Allah.

Sumber: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda, Muharram 1422/April 2001.