Senin, 28 Juli 2014

Agama dengan Welas Asih dan Cinta


Oleh Syaikh Muhammad Mahdi al Ashify

Manis dan lezatnya ibadah yang tiada tara akan terasa jika berlandaskan atas rasa cinta dan rindu. Imam Ali Zainal Abidin yang telah mencicipi manisnya cinta dan dzikir kepada Allah bermunajat:

Betapa sedapnya rasa cinta-Mu,
Betapa nikmatnya minum kedekatan (qurbah)-Mu.
(Bihar Al-Anwar, 98:26)

Itulah manis dan lezatnya cinta yang menghiasi sanubari para kekasih Allah. Yang tidak mekar pada suatu waktu ataupun layu pada waktu yang lain. Jika lezatnya cinta Ilahi tertanam di hati seorang hamba, maka ia akan senantiasa memakmurkan hatinya untuk mengingat-Nya. Allah tidak akan menyiksa hamba yang memakmurkan hatinya dengan rasa cinta kepada-Nya, dan telah tertanam di dalamnya kelezatan cinta kepada-Nya.

Amirul Mukminin Imam Ali a.s. berkata:

Ilahi, Demi keagungan dan kemuliaan-Mu.
Sungguh aku mencintai-Mu
Hingga terasakan manisnya cinta-Mu di dalam kalbuku.
Tak pernah terbetik
Dalam hati orang yang mengesakan-Mu
Bahwa Engkau membenci
Orang-orang yang mencintai-Mu.
(Munajat Ahlul Bayt, hal. 96-97)

Imam Ali Zainal Abidin a.s. dalam suatu munajatnya mengungkapkan tentang suatu kondisi kemantapan hati yang telah diliputi cinta Ilahi:

Demi keagungan-Mu duhai Junjunganku,
Jika Engkau mengusirku,
Aku akan tetap berdiri di depan gerbang-Mu.
Aku tak akan berhenti merayu-Mu
Sampai aku mencapai titik puncak makrifat
Dengan kebaikan dan kemuliaanmu.
(Bihar al-Anwar, 98:85)

Itulah ungkapan paling mendalam akan rasa cinta yang bersemayam di hati. Kondisi semacam ini tidak akan hilang dan berubah dari hati seorang hamba meskipun dia diusir oleh tuannya, atau dari sisinya.

Bila seseorang telah tenggelam dalam lautan cinta Ilahi, maka tidak ada sesuatu pun yang mampu mempengaruhi kepribadiannya. Imam Ali Zainal Abidin a.s., penghulu para pecinta, dalam munajatnya:

Adakah orang yang telah mencicipi manisnya cinta-Mu
Lalu menginginkan pengganti selain-Mu
Adakah orang yang telah bersanding di samping-Mu
Lalu ia mencari penukar selain-Mu
 

(Bihar al-Anwar 94:148)

Timbulnya perpecahan di antara sekte-sekte dan aliran-aliran disebabkan karena mereka tak pernah merasakan manisnya cinta kepada Allah. Adapun mereka yang mengetahui hakikat cinta kepada Allah tidak lagi mengharapkan atau dijauhkan sesuatu dalam kehidupan mereka.

Imam Husain bin Ali a.s. berkata:

Apakah gerangan yang diperoleh oleh orang
Yang telah kehilangan diri-Mu.
Masih adakah kekurangan bagi orang yang
Telah mendapatkan-Mu?

Imam Ali bin Husain a.s. memohon perlindungan dari segala kenikmatan selain dari kenikmatan cinta kepada Allah; dari segala kesibukan dengan mengingat-Nya; dari segala kegembiraan selain bersanding di sisi-Nya; walaupun hanya sedetik.

Segala sesuatu yang dilakukan oleh para kekasih Allah didasarkan atas cinta, dzikir, dan taat kepada-Nya. Semua hal selain itu dianggap sebagai penyimpangan dari jalan-Nya, yang perlu disertai dengan istighfar.

Imam Ali Zainal Abidin berkata:

Aku mohon ampun pada-Mu
Dari segala kelezatan tanpa mengingat-Mu
Dari setiap ketenangan tanpa mendekati-Mu
Dari setiap kesibukan tanpa menaati-Mu
Dari setiap kegembiraan tanpa menyertai-Mu. 


 

Jumat, 25 Juli 2014

Indonesia dan Palestina



(Indonesia dan Palestina) 

Kita kembali ke tahun 1944, di mana ketika itu sedang terjadi kekosongan pemerintahan di Indonesia karena Jepang menyerah pada tentara sekutu, dan sekutu akan mendarat di Indonesia bersama pasukan Belanda. Palestina adalah yang pertama kali mengakui kedaulatan Indonesia. Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin al Husaini (Mufti Besar Palestina). Pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ beliau ke seluruh dunia Islam, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia. Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Seorang yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia adalah Muhammad Ali Taher (seorang saudagar kaya Palestina) yang spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia dan berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia”

(Indonesia dan Palestina)
Kampung Benggalih, Desa Tegal Maja, 06/02 Kragilan, Serang, Banten 42184. Fotografer: Asep S. Bahri. 

Gelandangan




“Cerpen dan catatan diaris karya Sulaiman Djaya ini pernah dipublikasi harian Kabar Banten, 07 Juni 2010

Saat saya pertamakali melihatnya, ia selalu tersenyum pada setiap orang yang turun dari angkutan umum yang saya tumpangi ketika saya berangkat menuju studio tempat saya biasa On Air setiap malam Rabu untuk materi Seni dan Gaya Hidup yang pemandunya tak lain adalah teman saya sendiri. Semula, saya menganggapnya sebagai pengalaman yang biasa saja. Katakanlah pengalaman dan kenyataan hidup yang seringkali terjadi ketika saya hidup di kota-kota di Indonesia. Orang seperti dirinya saya anggap sebagai kenyataan hidup yang sudah biasa saya lihat ketika saya masih di Jakarta. Dengan jumlah yang lebih banyak tentunya. Namun, saya cukup serius juga memperhatikan dirinya ketika angkutan umum yang saya tumpangi masih berhenti karena ada empat penumpang yang turun sembari membayarkan uang mereka pada si sopir secara bergantian. Saya kagum pada dua matanya yang terang dan bening untuk ukuran seorang perempuan gelandangan alias perempuan jalanan. 

Saat itu, ia sebenarnya tak hanya tersenyum-senyum sendiri yang adakalanya diselingi tawanya yang samar. Ia juga bergerak-gerak atau lebih tepatnya bergoyang-goyang ke samping kiri dan kanan mirip seorang bocah perempuan yang sedang belajar bernyanyi dengan malu-malu. Hanya saja saya tak lagi memikirkannya ketika angkutan umum yang saya tumpangi kembali melaju. Sebab yang sebenarnya adalah karena pikiran saya sibuk mematangkan materi seputar Minat Baca dan Gaya Hidup Remaja Kota, sebuah materi yang sebenarnya membuat saya cukup terbebani dan menguras pikiran, terlebih karena sejauh pengalaman saya remaja-remaja di kota kecil tidak mencerminkan remaja-remaja yang mau menyisihkan uang jajan mereka untuk membeli buku-buku bacaan di luar buku wajib mereka di sekolah. 

Sesampainya di studio tempat biasa saya On Air, saya berdiskusi terlebih dahulu dengan teman saya yang sekaligus pemandu saya seputar tema yang akan kami udarakan malam itu. Tak saya sangka, teman saya berpendapat bahwa alangkah lebih baiknya bila tema yang akan diangkat disisipi dengan muatan yang dapat membangkitkan minat remaja pada kenyataan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya sering mereka jumpai. Kontan saja pikiran saya tertuju pada perempuan gelandangan yang saya lihat dalam perjalanan menuju studio yang telah saya katakan itu.

Setelah obrolan singkat kami itu kami pun memasuki studio dan langsung melenturkan tema dan materinya menjadi “Menjumpai Keseharian”. Kami tak menyangka, selama kami On Air malam itu, ada puluhan pemirsa yang menelepon untuk bertanya dan menyumbangkan pendapat mereka. Maka jadilah On Air malam itu sebagai On Air yang menempati rating paling tinggi dibanding sebelum-sebelumnya. Dan tentu saja kami pun merasa bahagia dan senang. 

Di hari Selasa sore minggu berikutnya saya kembali berangkat untuk kembali On Air dengan materi yang berbeda. Dalam perjalanan saya di hari Selasa yang untuk kesekian kalinya itu saya tak melihat perempuan gelandangan yang telah saya lihat sebelumnya.

Saya pun mulai bertanya-tanya ke mana gerangan si perempuan gelandangan itu sekarang? Di dalam angkutan umum yang saya tumpangi hari itu saya mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan ia berada. Tapi sepanjang perjalanan itu saya tak melihatnya. Dan, pada kesempatan On Air untuk yang kesekian kalinya itu, saya memutuskan untuk menginap di ruang rekaman yang bersebelahan dengan ruang studio. Mungkin karena malam itu saya terlampau lelah untuk melakukan perjalanan pulang setelah saya ngobrol dengan salah satu penyiar perempuan yang minta ditemani sampai tiba gilirannya On Air pada jam dua belas malam. Meski selepas jam sebelas malam itu saya sebenarnya sudah merasakan kantuk akibat kelelahan. Keesokan harinya saya pun berangkat pulang pada jam sembilan pagi setelah sarapan nasi uduk dan menghabiskan segelas Cappuccino. Juga tentu saja, menghisap sebatang rokok kretek. 

Saat saya telah masuk angkutan umum, awalnya saya duduk tenang saja di dalam angkutan umum yang saya tumpangi. Tapi karena macet yang cukup lama dan membuat tubuh saya gerah, saya pun ingin mengetahui penyebab kemacetan. Dan ketika saya menanyakannya pada si sopir, si sopir menjawabnya bahwa ada kecelakaan beberapa ratus meter di depan. “Oh, begitu,” ujar saya. Setengah jam kemudian angkutan umum mulai melaju. Begitulah selanjutnya. Di hari Selasa berikutnya lagi saya pun kembali berangkat menuju studio seperti sebelum-sebelumnya. Lagi-lagi saya tak melihat si perempuan gelandangan di tempat pertamakali saya melihatnya. Tapi beberapa ratus meter kemudian saya melihatnya tengah bersandar di sepohon besar pinggir jalan. Kali ini gaun dekil yang dikenakannya terlihat berubah dan sangat berbeda. Lengan kiri gaun yang dikenakannya kali ini robek dan bagian yang menutup dadanya sedikit terbuka hingga menampakkan sebagian dadanya. Dan yang membuat saya penasaran dan bertanya-tanya adalah ketika tangan kanannya seolah tengah meraba-raba dan meremas-remas bagian tubuhnya yang berada di bawah perutnya dan di ujung dua pahanya. 

Melihat hal tersebut saya pun mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan yang dialaminya. “Mungkinkah ia telah diperkosa?” Tanya saya dalam hati. Karena ketika itu ia seperti tengah menahan kesakitan di saat ia menyandarkan kepalanya dan mendongakkan wajahnya ke atas, mirip seseorang yang tengah berdoa kepada langit yang ditatapinya. “Jika benar ia telah diperkosa, terkutulah orang yang telah memperkosanya,” bathin saya. Tanpa saya sadari sepanjang perjalanan itu pikiran saya sibuk menerka-nerka kejadian apa yang menimpanya. “Ah, mungkin saja ia lapar,” saya menduga-duga dalam hati, “Atau mungkin juga hanya merasakan kesakitan, tapi bukan karena diperkosa,” saya terus membathin. Namun, lamunan saya berhenti ketika si sopir mengingatkan saya bahwa saya telah sampai di tempat yang saya minta padanya. Dan tentu saja seperti biasanya, malam itu kami kembali On Air, dan saya pun kembali menginap di studio sambil menemani seorang penyiar perempuan yang biasa dipanggil Mbak Mela. 

Selama Mbak Mela On Air malam itu saya menemaninya sembari membaca koran-koran yang telah saya bawa ke studio dari tempatnya. Di sela-sela iklan siaran saya pun mulai meminta pendapat Mbak Mela bagaimana bila seorang perempuan gelandangan diperkosa. Saat itu saya ingin tahu perasaan dan empati Mbak Mela sebagai sesama perempuan. “Misalkan, ini hanya seandainya lho!,” papar Mbak Mela, “Misalkan yang diperkosa itu adalah saya, tentu saya akan mengalami trauma,” lanjutnya, “Meski yang diperkosa itu perempuan gila alias perempuan tak normal?”, tanya saya, “saya pikir itu tak akan ada bedanya sepanjang ia memiliki perasaan seperti halnya saya,” lanjut Mbak Mela. “Kalau boleh tahu, kenapa kau menanyakan hal itu?”, tanya Mbak Mela, “Bukan apa-apa sih”, kilah saya, “Hanya saja saya melihat seorang gelandangan yang saya pikir telah mengalami perkosaan ketika saya dalam perjalanan menuju ke sini”, papar saya, “Maksudnya kamu melihatnya diperkosa?”, tanya Mbak Mela, “Tidak juga sih”, jawab saya, “Saya hanya mengambil kesimpulan dari ekspresi wajahnya dan kondisi tubuhnya juga pakaiannya ketika saya melihat dirinya yang meraba-raba bagian tubuhnya yang berada di bawah perutnya dan di ujung kedua pahanya dengan tangan kanannya, sementara ia mendongakkan wajahnya ke atas”, lanjut saya, “Mungkin saja ia diperkosa, tapi mungkin saja hal lain yang menimpanya”, ujar Mbak Mela, “Sebab bisa jadi kesimpulan kamu itu keliru di saat kamu tak melihatnya diperkosa, apalagi kecendrungan orang adalah membenarkan anggapannya sendiri, tapi saya percaya kamu tidak seperti itu.” 

Saya tak melanjutkan perbincangan itu karena khawatir mengganggu tugas Mbak Mela untuk siaran, dan saya pun kembali membaca koran yang bertumpuk di hadapan saya, di meja studio malam itu. Setelah Mbak Mela selesai siaran, saya langsung menuju sofa ruang tamu dan membaringkan tubuh saya hingga tertidur tanpa saya sadari. Keesokan harinya saya pun berangkat pulang. Pagi itu saya tak lagi memikirkan keingintahuan saya pada apa yang menimpa si perempuan gelandangan yang sempat membuat saya gelisah itu. Mungkin karena saya terpengaruh oleh pendapat Mbak Mela. Tapi di pagi itu saya menyimak perbincangan, lebih tepatnya cerita sopir angkutan umum yang tengah saya tumpangi kepada temannya yang sama-sama duduk di depan bersama si sopir. Si sopir itu bercerita bahwa ia hampir saja menabrak perempuan gelandangan di hari yang sama ketika saya melihatnya untuk yang kedua kalinya itu. Untung saja, cerita si sopir, ia hanya menyerempetnya ketika ia hendak melaju setelah menurunkan beberapa penumpang. Saya hanya bisa tersenyum ketika mendengar cerita si sopir, atau lebih tepatnya saya berusaha untuk tidak tertawa agar tidak dituduh gila oleh sesama penumpang


Minggu, 20 Juli 2014

Khutbah Imam Ali Bin Abi Thalib Tentang Alam Semesta dan Penciptaan




Inilah khutbah Imam Ali Bin Abi Thalib As Tentang Penciptaan Langit dan Bumi Serta Kelahiran Nabi Adam As

Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tak dapat diuraikan oleh para pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para penghitung, yang hak-hak-Nya (atas ketaatan) tak dapat dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha menaati-Nya; orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelam pengertian tak dapat mencapai-Nya; Ia yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. Ia mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu.

Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.

Barangsiapa mengatakan “dalam apa Ia berada”, (berarti) ia berpendapat bahwa Ia bertempat, dan barangsiapa mengatakan “di atas apa Ia berada” maka ia beranggapan bahwa Ia tidak berada di atas sesuatu lainnya.

Ia Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. Ia ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. Ia bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. Ia berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. Ia berbuat tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat. Ia melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. Ia hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya Ia mungkin bersekutu atau yang mungkin Ia akan kehilangan karena ketiadaannya.

Tentang Penciptaan Alam

Ia memulai penciptaan dan memulainya secara paling awal, tanpa mengalami pemikiran, tanpa menggunakan suatu eksperimen, tanpa melakukan suatu gerakan, dan tanpa mengalami kerisauan. Ia memberikan waktunya pada segala sesuatu, mengumpulkan variasi-variasinya, memberikan kepadanya sifat-sifatnya, dan menetapkan corak wajahnya dengan mengetahuinya sebelum menciptakannya, menyadari sepenuhnya batas-batasnya dan kesudahannya, dan menilai kecenderungan dan kerumitannya.

Ketika Yang Mahakuasa menciptakan lowongan-lowongan atmosfer, mengembangkan ruang angkasa dan lapisan-lapisan angin, Ia mengalirkan ke dalamnya air yang ombak-ombaknya membadai dan yang gelombang-gelombangnya saling melompati. Ia memuatnya pada angin yang kencang dan badai yang mematahkan, memerintahkannya untuk mencurahkannya kembali (sebagai hujan), memberikan kepada angin kendali atas kekuatan hujan, dan memperkenalkannya dengan batasan-batasannya. Angin meniup di bawahnya sementara air mengalir dengan garang atasnya.

Kemudian Yang Mahakuasa menciptakan angin dan membuat gerakannya mandul, mengekalkan posisinya, mengintensifkan gerakannya dan menyebarkannya menjauh dan meluas. Kemudian Ia memerintahkan angin itu membangkitkan air yang dalam dan mengintensifkan gelombang laut. Maka angin mengocoknya sebagaimana mengocok dadih dan mendorongnya dengan sengit ke angkasa dengan melemparkan posisi depannya di belakang, dan yang berdiam pada yang terus mengalir, sampai permukaannya terangkat dan permukaannya penuh dengan buih. Kemudian Yang Mahakuasa mengangkat buih ke angin yang terbuka dan cakrawala yang luas dan membuat darinya ketujuh langit dan menjadikan yang lebih rendah sebagai gelombang yang berdiam dan yang di atas sebagai atap yang melindungi dan suatu bangunan tinggi tanpa tiang untuk menopang atau paku untuk menyatukannya. Kemudian Ia menghiasinya dengan bintang-bintang dan cahaya meteor dan menggantungkan padanya matahari dan bulan yang bercahaya di bawah langit yang beredar, langit yang bergerak dan cakrawala yang berputar.

Tentang Penciptaan Malaikat

Kemudian Ia menciptakan rongga-rongga di antara langit-langit yang tinggi dan mengisinya dengan segala golongan malaikat-Nya. Sebagian dari mereka dalam bersujud dan tidak bangkit berlutut. Yang lain-lainnya dalam posisi berlutut dan tidak berdiri. Sebagian dari mereka dalam keadaan berbaris dan tidak meninggalkan posisinya. Yang lain-lainnya sedang memuji Allah tanpa menjadi lelah. Tidurnya mata atau tergelincirnya akal, atau kelelahan tubuh atau kelupaan tidak menimpa mereka.

Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pembawa risalah-Nya yang terpercaya, yang merupakan lidah-lidah berbicara untuk para nabi-Nya, dan mereka ini yang membawa kesana kemari perintah-perintah dan suruhan-Nya. Di antara mereka ada para pelindung makhluk-makhluk-Nya dan pengawal pintu surga. Di antara mereka ada yang langkah-langkahnya tetap di bumi tetapi lehernya menjulang ke langit, anggota badan mereka keluar dari segala sisi, bahu mereka sesuai dengan tiang-tiang ‘Arsy Ilahi, mata mereka tertunduk di hadapannya, mereka membentangkan sayap-sayapnya dan mereka membuat di antara sesama mereka dan semua yang selainnya tirai kehormatan dan layar kekuasaan. Mereka tidak memikirkan Pencipta mereka melalui khayal, tidak memberikan kepada-Nya sifat-sifat makhluk, tidak membataskan-Nya dalam suatu tempat kediaman dan tidak menunjuk kepada-Nya melalui gambaran.

Gambaran tentang Penciptaan Adam

Allah mengumpulkan lempung tanah yang keras, lembut, manis dan asam, yang dicelupkan-Nya ke dalam air dan mengadoninya dengan uap lembab sampai itu menjadi rekat. Darinya ia membuat patung dengan lekukan-lekukan, persendian, anggota dan bagian-bagian. Ia memadukannya sampai ia mengering untuk waktu tertentu dan jangka waktu yang diketahui. Kemudian Ia meniupkan ke dalamnya Ruh-Nya sehingga ia mengambil pola manusia dengan pikiran yang mengaturnya, kecerdasan yang digunakannya, anggota badan yang melayaninya, organ-organ yang mengubah posisinya, kebijaksanaan yang membedakan antara yang benar dan salah, rasa dan bau, warna dan jenis. Ia adalah suatu campuran antara lempung berbagai warna, bahan-bahan rekat, yang berlawanan, yang aneka ragam dan sifat-sifat yang berbeda seperti panas, dingin, lembut dan keras.

Kemudian Allah menyuruh kepada malaikat untuk memenuhi janji-Nya dengan mereka dan memenuhi janji menaati perintah-Nya kepada mereka dengan pengakuan kepada-Nya melalui sujud kepada-Nya dan tunduk kepada kedudukannya yang mulia. Maka Allah berfirman, “Tunduklah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun tunduk kecuali iblis.” (QS. 2:34; 7:11; 17:61; 18:50; 20:116). Kesombongan mencegah dia dan keburukan mengalahkannya. Maka ia membangga-banggakan penciptaannya sendiri (yang) dari api dan bersikap menghina ciptaan dari lempung. Maka Allah memberikan waktu kepadanya agar ia sepenuhnya patut menerima kemurkaan-Nya, dan melengkapi ujian (pada manusia) dan untuk memenuhi janji (yang telah diberikan-Nya kepada iblis). Maka Ia berkata, “Sesungguhnya engkau telah diberi waktu sampai pada hari yang diketahui” (QS. 15:37-38; 38:81). Setelah itu Allah menempatkan Adam di suatu rumah di mana la membuat kehidupannya senang dan kediamannya aman, dan Ia memperingatkannya supaya berhati-hati terhadap iblis dan musuhnya. Lalu musuhnya (iblis) merasa iri atas tinggalnya di surga dan hubungan-hubungannya dengan yang bajik. Maka ia pun mengubah keyakinannya menjadi goyah, dan tekadnya menjadi lemah. Dengan demikian ia mengubah kebahagiaan Adam menjadi ketakutan, dan martabatnya menjadi sesal dan malu. Kemudian Allah memberikan kepada Adam kesempatan untuk bertaubat, mengajarkan kepadanya kata-kata dari Rahmat-Nya, menjanjikan kepadanya untuk kembali ke surga-Nya dan mengirimkannya ke tempat percobaan dan perkembangbiakan keturunan.

Allah Memilih Para Nabi-Nya

Dari antara keturunannya, Allah Yang Mahasuci memilih nabi-nabi dan mengambil janjinya untuk wahyu-Nya dan untuk menyampaikan risalah-Nya sebagai amanat mereka. Dalam perjalanan waktu, banyak orang menyelewengkan amanat Allah dan mengabaikan kedudukan-Nya, dan mengambil serikat bersama-Nya. Iblis memalingkan mereka dari mengenal-Nya dan menjauhkan mereka dari menyembah kepada-Nya. Kemudian Allah mengutus rasul-rasul-Nya dan serangkaian nabi-Nya kepada mereka agar mereka memenuhi janji-janji penciptaan-Nya, untuk mengingatkan kepada mereka nikmat-nikmat-Nya, untuk berhujah kepada mereka dengan tablig, untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan kebijaksa-naan yang tersembunyi, dan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kemahakuasaan-Nya, yakni langit yang ditinggikan di atas mereka, bumi yang ditempatkan di bawah mereka, rezeki yang memelihara mereka, ajal yang mematikan mereka, sakit yang menuakan mereka, dan kejadian susul-menyusul yang menimpa mereka.

Allah Yang Mahasuci tak pernah membiarkan hamba-Nya tanpa nabi diutuskan kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada mereka atau argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah yang mendustainya. Di antara mereka ada pendahulu yang akan menyebutkan nama yang akan menyusul atau pengikut yang telah dikenalkan oleh pendahulunya.

Pengutusan Muhammad SAWW

Secara demikian zaman-zaman berlalu dan waktu terus bergulir, ayah pergi sementara putra-putra mereka menggantikannya, sampai Allah mengutus Muhammad SAWW sebagai rasul-Nya, dalam memenuhi janji-Nya dan untuk melengkapi Kenabian-Nya. Janji-Nya telah diambil dari para nabi, tabiat karaktemya termasyhur dan kelahirannya mulia. Manusia bumi pada saat itu terbagi dalam berbagai kelompok, tujuan mereka terpisah dan jalan-jalan mereka beraneka. Mereka menyerupakan Allah dengan ciptaan-Nya atau menggeser nama-nama-Nya atau berpaling kepada yang selain Dia.

Melalui Muhammad SAWW, Allah memandu mereka keluar dari kesalahan, dan dengan usahanya Ia membawa mereka keluar dari kejahilan. Kemudian Allah memilih Muhammad SAWW dan keturunannya, untuk menemui-Nya, memilihnya untuk kedekatan kepada-Nya sendiri, memandangnya terlalu mulia untuk tinggal di dunia ini, dan memutuskan untuk mengeluarkannya dari tempat percobaan ini. Ia menariknya kepada Diri-Nya sendiri dengan kemuliaan. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau dan keluarganya.

Al Qur’an dan Sunah

Tetapi Nabi meninggalkan di antara Anda sesuatu yang sama sebagaimana yang ditinggalkan nabi-nabi lain di antara umat mereka, karena nabi-nabi tidak meninggalkan mereka dalam kegelapan tanpa jalan yang terang dan panji yang tegak, yakni Kitab dari Pencipta Anda yang menjelaskan yang halal dan haram, perintah-perintah dan keutamaan-keutamaannya, yang menasakh dan yang dinasakh, hal-halnya yang halal dan yang wajib, hal-halnya yang khusus dan umum, pelajaran dan amsalnya, yang panjang dan singkatnya, yang jelas dan samamya, mendetailkan singkatan-singkatannya dan menjelaskan yang samamya.

Di dalamnya ada beberapa ayat yang pengetahuan tentangnya diwajibkan,[i] dan yang lain-lainnya yang ketidaktahuan manusia tentangnya dibolehkan. Ia juga mengandung apa yang nampak sebagai wajib menurut Kitab[ii ](2) tetapi nasakhnya disuguhkan oleh sunah Nabi atau apa yang nampak sebagai wajib menurut sunah Nabi tetapi Kitab membolehkan orang tidak mengikutinya. Atau ada yang wajib pada suatu waktu tertentu tetapi tidak sesudahnya. Larangan-larangannya juga berbeda. Ada yang berat, yang mengenainya ada ancaman api (neraka), dan yang lainnya ringan, yang untuk itu terdapat harapan keampunan. Ada pula yang dalam ukuran kecil dapat diterima (bagi Allah) tetapi dapat membesar (bila diteruskan).

Dalam Khotbah yang Sama tentang Haji

Allah telah mewajibkan Anda berhaji ke Rumah Suci-Nya yang merupakan kiblat bagi manusia yang pergi kepadanya sebagaimana hewan liar atau merpati pergi ke sumber air. Allah Yang Mahasuci menjadikannya pertanda atas ketundukan mereka di hadapan Keagungan-Nya dan pengakuan mereka akan Kemuliaan-Nya. Ia memilih dari antara ciptaan-Nya orang-orang yang ketika mendengar seruan-Nya menyambutnya dan membenarkan sabda-Nya. Mereka berdiri pada posisi para nabi-Nya dan menyerupai para malaikat-Nya yang mengelilingi Mahligai-Nya untuk mendapatkan segala manfaat dari melaksanakan pengabdian kepada-Nya dan bergegas untuk (mendapatkan) keampunan yang telah dijanjikan-Nya. Allah Yang Mahasuci menjadikannya sebagai syiar bagi Islam dan objek penghormatan bagi orang-orang yang berpaling ke situ. Ia mewajibkan hajinya dan meletakkan klaimnya yang untuk itu Ia menuntut tanggung jawab Anda untuk melaksanakannya. Dan Allah Yang Mahasuci berfirman, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. ” (QS. 3:96)

Syarah dan Catatan:

[i] “Pangkal agama (din) adalah makrifat tentang Dia .” Makna din ialah ketaatan, dan makna populernya tatanan. Baik dalam makna harfiah, ataupun populer, apabila pikiran kosong dari konsepsi Ketuhanan, tak akan ada masalah ketaatan, tidak ada pula urusan dengan mengikuti suatu aturan. Karena, bila tidak ada tujuan maka tidak ada alasan untuk menuju ke sana; bila tidak ada tujuan yang diharap, tidak akan ada usaha untuk mencapainya. Bagaimanapun, ketika fitrah dan naluri manusia mendekatkannya kepada Yang Mahatinggi, dan rasa taat serta penyerahan merendahkannya di hadapan Tuhan, ia merasa terikat dengan batasan-batasan tertentu, berlawanan dengan kebebasan semena-mena. Batasan-batasan inilah din, yang titik mulanya ialah pengetahuan tentang Allah serta pengakuan atas Wujud-Nya.

Setelah menunjukkan hakikat makrifat atau pengetahuan tentang Allah, Amirul Mukminin menggambarkan pokok-pokok dan syarat-syaratnya. Ia menganggap bahwa tahap-tahap pengetahuan yang umumnya dianggap sebagai titik pendekatan tertinggi tidaklah mencukupi. Ia mengatakan bahwa tahap pertamanya ialah dengan fitrah kerinduan kepada yang gaib dan bimbingan hati nurani, atau dengan mendengar dari para penganut agama, terbentuklah dalam pikiran suatu citra tentang Wujud Gaib yang dikenal sebagai Allah. Gambaran ini sesungguhnya adalah pendahulu dari kewajiban berpikir dan merenung serta mencari pengetahuan tentang Dia. Tetapi, orang yang senang bermalas-malasan, atau dalam tekanan lingkungannya, tidak melakukan pencarian ini, sehingga walaupun ada tercipta citra semacam itu, citra itu tidak sampai beroleh kesaksian. Dalam hal ini mereka tidak mendapatkan pengetahuan, dan karena mereka tidak sampai pada tahap panyaksian dan pembuktian atas pembentukan citra itu maka pelanggaran mereka itu patut dimintai pertanggungan jawab. Tetapi, orang yang digerakkan oleh kekuatan citra ini maju lebih jauh dan memandang perlu berpikir dan merenungkannya.

Dengan jalan ini ia sampai ke tahap berikut dalam mencapai pengetahuan Ilahi, yakni mencari Yang Maha Pencipta melalui aneka ragam penciptaan dan makhluk, karena setiap gambar merupakan pandu yang kuat menuju kepada penggambarnya, dan setiap akibat merupakan hasil tindakan dari penyebabnya. Apabila ia melemparkan pandangan ke sekitarnya, ia tidak mendapatkan suatu apa pun yang menjadi ada tanpa tindakan si pembuat; ia tak dapat memperoleh suatu jejak langkah tanpa pejalan yang meninggalkan jejak, tiada pula bangunan tanpa pembangun. Bagaimana ia dapat memahami bahwa langit biru ini, dengan matahari dan bulan di cakrawala, bumi dengan kelimpahan rumputan dan bunga-bungaan dapat menjadi ada tanpa perbuatan Pencipta. Oleh karena itu, setelah mengamati segala yang ada di dunia dan sistem teratur dari seluruh penciptaan, orang tak dapat menyimpulkan lain kecuali bahwa ada Pencipta atas keanekaragaman dan keberadaan dunia; ini tak mungkin terjadi dari tak ada, tak ada keberadaan muncul dari ketiadaan. Al Quranul Karim menunjukkan penalaran ini,

“Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS. 14:10)

Tetapi, tahap ini pun tak akan cukup, apabila bukti-bukti adanya Allah ini dicemari oleh kepercayaan akan ketuhanan sesuatu yang lain.

Tahap ketiga, keberadaan-Nya diakui bersama kepercayaan akan Keesaan-Nya, Tauhid. Tanpa ini maka kesaksian akan adanya Allah tak mungkin sempuma; karena, apabila ada kepercayaan akan adanya banyak tuhan, maka Ia tidak akan Esa, padahal Ia Esa. Nalarnya, bila ada lebih dari satu tuhan maka akan timbul pertanyaan apakah salah satu darinya, atau mereka semua bersama-sama menciptakan semua ciptaan ini. Apabila salah satu darinya yang menciptakannya maka harus ada sebab yang membedakannya dari yang lain; kalau tidak, ia akan mendapatkan kedudukan istimewa tanpa alasan, yang tak dapat diterima akal. Apabila semua telah menciptakannya secara bersama-sama maka posisinya hanya mempunyai dua bentuk: ia tak dapat melakukan tugasnya tanpa pertolongan dari yang lain, atau ia tidak memerlukan bantuan mereka.

Kasus pertama berarti Ia tidak mampu dan memerlukan bantuan pihak lain, sedang kemungkinan kedua berarti bahwa ada beberapa pelaku bersama dari suatu tindakan tunggal, dan kepalsuan tentang keduanya telah ditunjukkan. Apabila kita anggap semua tuhan itu melaksanakan penciptaan dengan saling membagi di antara sesamanya maka dalam hal ini tidak semua ciptaan akan mempunyai hubungan dengan pencipta itu, karena setiap makhluk hanya mempunyai hubungan dengan penciptanya sendiri, padahal setiap makhluk harus mempunyai hubungan yang satu dan sama kepada semua pencipta itu. Sebab, semua ciptaan harus mempunyai hubungan yang satu dan sama kepada semua pencipta itu, karena semua ciptaan, dalam kemampuannya untuk menerima pengaruh, dan semua pencipta, dalam kemampuannya untuk menghasilkan pengaruh, harus sama. Singkatnya, tidak ada jalan kecuali mengakui-Nya sebagai Esa; karena, bila ada banyak pencipta maka tidak akan ada apa pun lainnya, kehancuran pasti menimpa bumi, langit dan segala sesuatu dalam penciptaan. Allah SWT telah mengungkapkan argumen ini dalam kata-kata berikut:

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak-binasa …. (QS. 21:22)

Tahap keempat ialah bahwa Allah harus bebas dari segala cacat dan kekurangan, dan kosong dari jasad, bentuk, gambaran, kesamaan, kedudukan tempat dan waktu, gerak, diam, ketidakmampuan dan ketidaktahuan. Tak mungkin ada kekurangan atau cacat pada Wujud yang sempurna itu, tiada pula yang dapat disamakan dengan Dia, karena sifat cacat itu menurunkan Wujud dari posisi tinggi Pencipta ke posisi rendah ciptaan. Itulah sebabnya maka Keesaan dan Kesucian Allah dari segala kekurangan adalah sama pentingnya.

“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. dan tidak ada seorang pun yang setara dangan Dia.’” (QS. 112:1-4)

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Mahahalus lagi Mahatahu.” (QS. 6:103)

“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:74)

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11)

Tahap kelima penyempurnaan pengetahuan tentang Dia ialah sifat-sifat itu harus tidak dilekatkan kepada-Nya dari luar, supaya tidak ada kegandaan dalam Keesaan-Nya, dan bila kita menyimpang dari konotasinya yang semestinya tentang Keesaan, kita mungkin jatuh ke dalam jebakan satu dalam tiga dan tiga dalam satu; karena Wujud-Nya bukanlah suatu kombinasi hakikat dan bentuk maka sifat-sifat itu tak dapat melekat pada-Nya seperti bau dalam bunga atau cahaya pada bintang. Ia adalah sumber segala sifat dan tidak memerlukan perantara untuk perwujudan Sifat-sifat-Nya yang sempuma. Ia dinamakan Maha Mengetahui karena tanda-tanda pengetahuan-Nya nyata. Ia dinamakan Mahakuasa karena setiap partikel menunjukkan Kemahakuasaan dan kegiatan-Nya, dan bila pada-Nya disifatkan Kemampuan untuk mendengarkan atau melihat, hal itu disebabkan kepaduan antara seluruh penciptaan dan pengurusannya tidak dapat dilakukan tanpa mendengar atau melihat; tetapi adanya sifat-sifat ini pada-Nya tidak dapat dipandang sama dengan yang ada pada ciptaan, yakni tidaklah Ia baru dapat mengetahui setelah Ia beroleh pengetahuan, atau baru berkuasa setelah tenaga masuk ke dalam anggota-Nya, karena mengambil sifat sebagai terpisah dari Wujud-Nya akan mengandung makna ganda, dan di mana ada kegandaan maka keesaan menghilang. Itulah sebabnya Amirul Mukminin menolak ide sifat-sifat sebagai tambahan kepada Wujud-Nya; ia mengajukan Keesaan (Tauhid) dalam maknanya yang sesungguhnya, dan tidak mengizinkan Tauhid dinodai dengan kemajemukan.

Hal ini tidak berarti bahwa sifat-sifat sama sekali tak dapat diatributkan kepada-Nya, karena ini akan memberikan dukungan kepada orang-orang yang meraba-raba di jurang gelap negativisme, sekalipun setiap penjuru dan sudut di seluruh eksistensi melimpah dengan sifat-sifat-Nya dan setiap zarah ciptaan menyaksikan bahwa Ia mempunyai pengetahuan, Ia berkuasa, Ia mendengar, Ia melihat. Ia memelihara dan mengizinkan pertumbuhan dengan rahmat-Nya. Maksudnya ialah bahwa bagi Dia tak ada sesuatu yang dapat disarankan sebagai tambahan kepada-nya, karena diri-Nya meliputi sifat-sifat, dan sifat-sifat-Nya bermakna diri-Nya meliputi sifat-sifat. Marilah kita pelajari tema ini dalam kata-kata Imam Ja’far ibn Muhammad ash-Shadiq (as) dengan membandingkannya dengan keimanan akan Keesaan yang ditempuh oleh paham-paham lain, kemudian menilai siapakah pembela konsep Tauhid yang sesungguhnya.

Imam Ja’far as Shadiq As mengatakan,

“Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi sejak semula telah mempunyai pengetahuan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu untuk diketahui, (mempunyai) penglihatan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu untuk dilihat, (mempunyai) pendengaran sebagai Diri-Nya, sekalipun tiada sesuatu untuk didengar, mempunyai kekuasaan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu di bawah kekuasaan-Nya. Ketika Ia menciptakan benda-benda dan obyek pengetahuan menjadi nyata, pengetahuan-Nya menjadi berhubungan dengan yang diketahui, pendengaran dengan yang didengar, penglihatan dengan yang dilihat, dan kekuasaan dengan objek-objeknya. ” (Syeikh Shaduq, at-Tauhid, hal. 139)

Para imam Ahlulbait sepaham dalam kepercayaan ini, tetapi kalangan mayoritas telah menempuh jalan berbeda dengan menciptakan gagasan pembedaan antara Diri-Nya dan Sifat-sifat-Nya. Asy-Syahrastani menulis dalam bukunya Kitab al-Milal wa an-Nihal,

“Menurut Abul Hasan Al-Asy’ari, Allah mengetahui melalui (sifat) tahu, Kuasa melalui kegiatan, berbicara melalui bicara, mendengar melalui pendengaran, dan melihat melalui penglihatan.”

Apabila kita memandang sifat-sifat berbeda dan Diri-Nya secara ini, maka akan ada dua alternatif: sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula atau sifat-sifat itu terjadi kemudian. Apabila sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula, kita terpaksa mengakui objek-objek itu kekal sejauh sifat-sifat itu, yang semuanya bersaham dengan-Nya dalam kekekalan, tetapi “Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutuan “. (QS. 9:31) Apabila kita menganggap bahwa sifat-sifat itu baru terjadi kemudian maka, di samping menundukkan-Nya pada perubahan-perubahan itu, akan berarti pula bahwa sebelum mendapatkan sifat-sifat itu Ia tidak tahu, tidak kuasa, tidak mendengar, dan tidak melihat, dan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.

[ii] Tentang Al Qur’an, Amirul Mukminin berkata bahwa ia mengandung uraian tentang perbuatan-perbuatan yang halal dan yang haram, seperti firman Allah:

“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ….” (QS. 2:275)

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa) ….” (QS. 4:103)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu .” (QS. 2:168)

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal kepada Tuhannya.dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya .’” (QS. 18:110)

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. 2:44)

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba .” (QS. 2:275)

Ia menjelaskan perbuatan-perbuatan yang wajib dan sunah, seperti:

“Apabilah kamu telah menyelesaikan shalat (takut), ingatlah akan Allah di waktu kamu berdiri, duduk atau berbaring, dan bilamana kamu merasa aman (dari musuh) maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa).” (QS. 4:103)

Di sini shalat (mengingat Allah) adalah wajib, sementara bentuk-bentuk lainnya dalam mengingat Allah adalah sunnah. Ia mengandung ayat-ayat yang nasikh dan mansukh, seperti masa iddah setelah kematian suami “empat bulan sepuluh hari”, (QS. 2:234) atau yang mansukh seperti “hingga setahun lamanya tanpa disuruh pindah (dari rumah) ”, (QS. 2:240) yang menunjukkan bahwa masa iddah itu harus setahun.

Di tempat-tempat tertentu ia menghalalkan yang haram, seperti, “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”. (QS. 5:3)

Ia mengandung perintah-perintah yang khusus dan umum. Khusus ialah perintah di mana kata itu menunjukkan keumuman tetapi maknanya terbatas, seperti, “Aku telah melebihkan kamu (Bani Isra’il) atas seisi dunia .” (QS. 2:47) Di sini kata di al-‘alamin (seisi dunia) terbatas pada masa tertentu itu, walaupun kata itu umum dalam makna harfiahnya.

Perintah-perintah yang umum ialah perintah yang luas dalam pengertiannya, seperti, “‘Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu .” (QS. 4:32)

Ia mengandung pelajaran dan gambaran, seperti:

“Allah menghukum di dunia ini dan yang akan datang, dan di situ terdapat pelajaran .” (QS. 79:25-26)

“Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia .” (QS. 78:25)

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya) ”. (QS. 79:26)

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun ”. (QS. 2:263)

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa .” (QS. 2:63)

Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa . (QS. 2:66)

Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (QS. 3:5)

Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka . (QS. 47:21)

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak . (QS. 4:19)

Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.” (QS. 2:139)

Terdapat pelajaran di dalamnya bagi orang yang bertakwa kepada Allah.” (QS. 3:138)

Ayat yang berisi gambaran misalnya, “Misal orang-orang yang menafkahkan harta bendanya di jalan Allah adalah ibarat sebutir benih yang menumbuhkan lima butir yang masing-masing butir mengandung seratus butir,” (QS. 2:261)

Ia mengandung ayat-ayat yang khash dan ‘a-m. ‘Am ialah ayat yang tidak mengandung batasan tentang spesifikasi, seperti, “Ingatlah ketika Musa mengatakan kepada kaumnya, ‘Allah memerintahkan kamu untuk menyembelih seekor sapi betina .’” (QS. 2:67)

Ayat yang khash ialah ayat di mana penujukannya terbatas, seperti, “bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah maupun mengairi tanaman “. (QS. 2:71)

Ada ayat muhkamat dan mutasyabihat di dalamnya. Ayat muhkamat ialah ayat yang tidak ada kerumitan di dalamnya, seperti, “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu,” (QS. 33:27) sedang ayat mutasyabihat ialah yang pengertiannya mengandung komplikasi, seperti, “Yang Rahman yang bersemayam di ‘arsy” (QS. 20:5), yang arti lahiriahnya memberi kesan seakan-akan Allah secara jasmani duduk di singgasana padahal maksudnya ialah untuk menekankan wewenang dan kekuasaan-Nya.

Di dalamnya ada perintah-perintah singkat, seperti, “Dirikanlah shalat,” (QS. 17:78) dan yang mengandung makna yang mendalam, seperti ayat-ayat yang mengatakan, “Dan tiadalah yang mengetahui takwilnya selain Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya .” (QS. 3:7)

Kemudian Amirul Mukminin meluaskan tema ini dalam gaya lain dengan mengatakan bahwa ada beberapa hal di dalamnya yang wajib diketahui, seperti, “Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah .” (QS. 47:19), dan ada lain-lain yang tidak perlu diketahui, seperti “alif la-m mi-m” (QS. 2:1) dan sebagainya.

Ia juga mengandung perintah-perintah yang telah diulang-ulang oleh sunah Nabi, seperti, “Tentang perempuan-perempuan kamu yang berbuat zina, ambillah empat saksi laki-laki dan, apabila empat saksi itu datang, kurunglah perempuan itu hingga ajal mengakhiri hidupnya .” (QS. 4:15) Hukuman ini berlaku di masa dini Islam, tetapi kemudian diganti dengan rajam dalam hal wanita bersuami.

Di dalamnya ada beberapa perintah yang menasakh perbuatan Nabi, seperti, “Hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram ” (QS. 2:149) yang dengan itu perintah untuk berkiblat ke Baitul Maqdis dinasakh.

Ia juga mengandung perintah-perintah yang hanya wajib pada masa waktu tertentu, yang sesudahnya perintah itu berakhir, seperti, “Apabila seruan untuk shalat dilakukan pada hari Jumat, maka bergegaslah kamu mengingat Allah” (QS. 62:9). Ia juga menunjukkan derajat-derajat larangan seperti pembagian dosa dalam yang ringan dan yang berat—yang ringan seperti “katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk merendahkan matanya” (QS. 24:30), dan yang berat seperti “barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka imbalannya ialah tinggal di neraka selama-lamanya" (QS. 4:39). Ia juga berisi perintah-perintah di mana sedikit pelaksanaannya sudah cukup, tetapi ada kesempatan untuk pelaksanaan lebih jauh, seperti, “Bacalah Al Qur'an sebanyak yang dapat kamu lakukan dengan mudah. ” (QS. 73:20)

Katakanlah kapada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetaui apa yang mereka perbuat.” (QS. 24:30)

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar (QS. 4:95).

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagi-mu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperolehnyu di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 73:20)

Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang . (QS. 26:9).

(Khutbah ini merupakan Khutbah Pertama yang dihimpun dalam Nahjul Balaghah)