“Masalah seluruh orang Wahabi, yaitu bahwa
setiap orang dari mereka dalam waktu yang singkat dan dengan ilmu yang sedikit
telah menjadi seorang mujtahid yang berhak memberikan fatwa dalam masalah
apapun”
Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi
Minat keagamaan telah muncul sejak aku kecil,
ada fitrah yang menarikku untuk berpegang teguh kepada agama. Dalam bayanganku
ke masa depan, pikiranku tidak pernah keluar dari kerangka agama. Aku melihat
diriku sebagai pahlawan dan mujahid Islam yang mampu mengembalikan kehormatan
agama dan kemuliaan Islam. Pada saat itu aku belum lulus dari sekolah tingkat
pertama. Maklum, pemikiranku waktu itu masih dangkal. Begitu pula pengetahuanku
tentang sejarah kaum Muslimin dan peradabannya masih sangat terbatas. Aku belum
mengetahui kecuali beberapa kisah tentang Rasulullah saw dan peperangan yang
dilakukannya terhadap orang-orang kafir, dan kisah tentang kepahlawanan dan
keberanian Imam Ali as.
Aku mempelajari pemerintahan Mahdiyyah di
Sudan, aku merasa kagum dengan kepribadian Usman Daqnah. Dia adalah salah
seorang komandan pasukan Mahdi yang pemberani di daerah timur Sudan. Jihad yang
telah membangkitkan minat saya manakala guru sejarah kami menggambarkan
keberanian dan keagungan kepribadiannya kepada kami. Dia seorang mujahid di
antara bukit dan lembah. Begitulah hatiku tertarik kepadanya. Saya bercita-cita
ingin menjadi seperti dirinya. Mulailah saya berpikir dengan pikiran saya yang
masih dangkal, bahwa untuk bisa mencapai tujuan ini maka jalan satu-satunya yang
terbayang di dalam benak saya ketika itu ialah saya harus menjadi lulusan
akademi militer, sehingga saya terlatih dalam strategi perang dan penggunaan
senjata.
Bertahun-tahun saya hidup di atas angan-angan
ini, hingga akhirnya saya pindah ke sekolah tingkatan menengah. Pada tingkatan
ini, pemahaman dan pengetahuan saya mulai berkembang. Mulailah saya mengenal
para pemimpin kemerdekaan dunia Islam, seperti Abdurrahman al-Kawakibi,
as-Sanusi, Umar Mukhtar, dan Jamaluddin al-Afghani, seorang pejuang dan pemikir
cemerlang yang bertolak dari Afhghanistan, dan kemudian berpindah-pindah dari
satu ibu kota negara Islam yang satu kepada ibu kota negara Islam yang lain,
dan begitu juga ke negara-negara bukan Islam, untuk menyebarkan pemikiran yang
hidup, yang berbicara tentang sisi-sisi keterbelakangan dunia Islam dan
bagaimana cara menyembuhkannya. Yang amat menarik perhatian saya ialah metode
jihad yang dilakukannya. Dia melakukannya melalui hikmah, penyebaran
pengetahuan dan pengembangan pemikiran di kalangan umat Islam, tidak melalui
jalan memanggul senjata.
Saya pernah berkeyakinan bahwa setiap orang
yang hendak berjuang dan membela kaum Muslimin, mau tidak mau dia harus
menghunus pedang dan masuk ke dalam medan peperangan. Sementara cara yang
ditempuh oleh Jamaluddin al-Afghani sama sekali berbeda dengan apa yang selama
ini saya bayangkan. Metode kata dan pendidikan yang sadar adalah sesuatu yang
baru dalam pemikiran agama saya. Saya tidak mampu dengan mudah melepaskan diri
dari pemikiran dan cita-cita yang telah saya bangun selama ini di dalam benak
saya, meskipun saya sadar bahwa krisis yang dialami umat ini ialah krisis pendidikan
dan pemikiran. Karena pendidikanlah yang mampu menjadikan setiap individu mau
mengemban tanggung jawabnya. Inilah Jamaluddin, dia mengelilingi dunia untuk
menebarkan cahaya dan keberkahan, dan menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya,
yang mendapat sambutan yang hangat dari kaum Muslimin. Karena,
pemikiran-pemikiran yang dilontarkannya mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan mereka dan sekaligus sejalan dengan kenyataan mereka. Yang
demikian ini amat mencemaskan kekuatan penjajah. Karena majalah al- ‘Urwah
al-Wutsqa saja sudah merupakan tantangan yang berat bagi mereka, yang memaksa
mereka untuk melarang penerbitannya.
Pertanyaan yang selalu menghantui benak saya
ialah: “Bagaimana seorang individu mampu mengubah perimbangan ini, dan
bagaimana seorang individu mampu membuat takut seluruh kekuatan besar?!” Untuk
menjawab pertanyaan ini, di hadapan saya terbuka beberapa pintu pertanyaan. Sebagiannya
sederhana dan sebagiannya lagi tidak ada jawabannya di Sudan. Ini menjadikan
saya berusaha untuk dapat lepas dari kenyataan ini, dan sekaligus melepaskan
berbagai belenggu yang selama ini mendorong saya untuk tunduk kepada kenyataan
agama yang ada, supaya saya berjalan di dalam hidup ini sebagaimana yang telah
dilakukan oleh kakek-kakek saya. Akan tetapi, rasa tanggung jawab yang ada di
dalam diri saya, dan begitu juga kecintaan saya kepada Jamaluddin al-Afghani
membunyikan lonceng bahaya di dalam fitrah saya, sehingga menjadikan saya
bertanya-tanya,
Bagaimana saya bisa menjadi seperti Jamaluddin
al-Afghani? Apakah agama yang saya warisi ini mampu membawa saya kepada
tingkatan itu? Kemudian saya berkata, “Kenapa tidak?!” Apakah Jamaluddin
mempunyai agama yang berbeda dengan agama kita?! Dan Islam yang berbeda dengan
Islam kita?!” Untuk menjawab pertanyaan ini, saya terombang-ambing selama
bertahun-tahun, dan setiap kali saya sampai kepada sebuah jawaban, maka itu
berarti perubahan pada pemahaman saya tentang agama secara umum. Maka saya pun
melihat Jamaluddin sebagai idola dan panutan, setelah sebelumnya Usman Daqnah,
sehingga dengan begitu tentunya berubah pula cara yang harus ditempuh. Setelah
sebelumnya akademi militer sebagai jalan keluar satu-satunya dalam pandangan
saya, maka sekarang cara damailah yang memperkenalkan saya kepada pemikiran
Islam yang orisinil, yang dari sela-selanya akan muncul kebangkitan Islam.
BAGAIMANA PERMULAANNYA
Pembahasan tentang cara-cara dan pemikiran
yang benar dan bertanggung jawab adalah sesuatu bahasan yang sulit. Tahapan ini
adalah tahapan yang sulit, meski pun pembahasan yang saya bahas bersifat
spontan. Sepanjang kehidupan saya, saya sering bertanya, berdiskusi dan lain
sebagainya, dan tidak ada waktu yang kosong dari pembahasan. Setelah serangan
keras yang dilancarkan oleh kaum Wahabi terhadap Sudan, dan pengintensifan
diskusi dan dialog, serta semakin berkembangnya pergerakan agama, mulailah
tersingkap banyak kebenaran, dan semakin jelas berbagai perselisihan dan
pertentangan sejarah, keyakinan, dan fikih. Kemudian mulailah upaya-upaya
pengkafiran terhadap beberapa kelompok dan keluar mereka dari tali ikatan
Islam, yang mendorong kepada terbentuknya mazhab-mazhab yang berbeda.
Meskipun pahit apa yang telah terjadi, namun
minat saya untuk melakukan pembahasan malah semakin bertambah, dan saya
merasakan realitas pertanyaan-pertanyaan spontan yang selama ini menggangu
benak saya. Besarnya perhatian saya kepada ajaran Wahabi dikarenakan
diskusi-diskusi dan seminar-seminar yang mereka laksanakan telah menarik
perhatian saya. Hal terpenting yang saya pelajari dari mereka ialah keberanian
menentang ajaran yang ada. Saya pernah meyakini bahwa ajaran adalah sesuatu
yang sakral, yang tidak dapat diserang dan dikritik, meskipun saya banyak
memberikan catatan terhadap kenyataan yang ada, yang didasari oleh pertimbangan
nurani dan fitrah saya.
Saya terus berjalan bersama mereka, dan banyak
sekali diskusi yang terjadi diantara saya dan mereka, yang pada kenyataannya
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membingungkan benak saya. Saya
memperoleh jawaban yang memuaskan bagi sebagian pertanyaan saya, sementara
jawaban sebagian yang lain tidak dapat saya temukan pada mereka. Hal ini
menjadi jaminan bagi saya untuk bersimpati dan membantu mereka, namun dengan
tetap disertai beberapa catatan yang merintangi saya untuk berpegang secara
penuh kepada ajaran Wahabi. Yang pertama dan yang terpenting dari itu ialah
saya tidak menemukan di sisi mereka apa yang dapat memenuhi cita-cita risalah
saya. Kadang-kadang, rasa was-was menghinggapi diri saya dengan mengatakan,
sesungguhnya apa yang engkau pikirkan dan yang engkau cari adalah sesuatu yang
utopis yang tidak ada kenyataannya, dan ajaran Wahabi adalah ajaran yang paling
dekat dengan Islam yang tidak ada tandingannya.
Saya berjalan mengikuti rasa was-was ini dan
sekaligus membenarkannya, disebabkan ketidaktahuan saya terhadap
pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran yang lain. Namun, dengan cepat saya sadar
bahwa apa yang dilakukan oleh Jamaluddin tidak mungkin merupakan pemikiran
Wahabi. Saya pernah berteriak lantang, “Sesungguhnya ajaran Wahabi adalah jalan
yang paling dekat kepada Islam — disebabkan mereka mengemukakan dalil-dalil dan
nas-nas yang membenarkan mazhab mereka, yang tidak saya temukan pada
kelompok-kelompok lain di Sudan namun kesulitan mereka ialah bahwa mazhab yang
mereka bangun tidak ubahnya seperti rumus-rumus matematika. Yaitu berupa
kaidah-kaidah yang kaku, yang tanpa memiliki refleksi peradaban yang jelas
dalam kehidupan manusia, juga dalam menghadapi berbagai macam tataran
kehidupan. Baik dalam tataran individu, tataran sosial, tataran ekonomi atau
tataran politik, dan bahkan di dalam tata cara berhubungan dengan Allah SWT.
Bahkan sebaliknya, ajaran ini menjadikan manusia menjadi liar dan terasing dari
masyarakat, dan sekaligus memberikan surat jaminan untuk mengkafirkan kelompok
masyarakat yang tidak sepaham dengan mereka.
Setiap orang dari mereka (kaum Wahabi) tidak
bisa hidup bersama dengan masyarakat. Dia selalu membedakan diri dari
masyarakat dengan pakaian dan tingkah lakunya. Seluruh sisi kehidupannya tidak
sejalan kecuali dengan teman-temannya. Saya merasakan kesombongan dan
keangkuhan dari mereka. Mereka memandang manusia mempunyai kedudukan yang
tinggi, namun dalam kehidupannya mereka tidak mau bekerjasama dan membaur
dengan masyarakat.
Bagaimana mungkin mereka dapat bekerjasama
dengan masyarakat?! Sementara seluruh yang dilakukan masyarakat adalah bid’ah
dan sesat dalam pandangan mereka. Saya masih ingat benar manakala bantuan
Wahabi masuk ke desa kami, dalam jangka waktu yang tidak berapa lama, dengan
tanpa didasari pengkajian dan kesadaran, sekelompok besar dari para pemuda ikut
bergabung ke dalam barisan Wahabi, namun tidak berapa lama kemudian mereka
semua keluar dari barisan tersebut. Menurut perkiraan saya ini disebabkan
karena mazhab baru ini melarang mereka berbaur dengan masyarakat, dan
mengharamkan banyak sekali kebiasaan yang sudah mendarah daging pada diri
mereka, yang sebenarnya kebiasaan itu tidak bertentangan dengan agama.
Ada baiknya saya sebutkan, bahwa salah satu di
antara yang menyebabkan para pemuda yang bergabung dengan mazhab Wahabi
menderita ialah bahwa ada kebiasaan di desa kami, di mana para pemudanya biasa
duduk-duduk di atas hamparan pasir yang bersih di saat malam-malam bulan
purnama, di mana mereka menghabiskan malamnya dengan mengobrol. Saat itulah
merupakan satu-satunya kesempatan bertemu bagi para pemuda desa setelah bekerja
sepanjang hari di ladang dan tempat-tempat kerja lainnya. Kini pemimpin mereka
melarang perbuatan itu dan mengharamkannya, dengan alasan bahwa Rasulullah saw
telah mengharamkan perbuatan duduk-duduk di atas jalan. Padahal tempat-tempat
tersebut tidak terhitung jalan. Kedua, dan ini merupakan masalah seluruh orang Wahabi, yaitu
bahwa setiap orang dari mereka dalam waktu yang singkat dan dengan ilmu yang
sedikit telah menjadi seorang mujtahid yang berhak memberikan fatwa dalam
masalah apapun.
Saya masih ingat, pada satu hari saya duduk
berdiskusi dengan salah seorang dari mereka mengenai banyak hal. Di
tengah-tengah diskusi dia bangkit berdiri setelah mendengar azan Magrib di
mesjid mereka. Saya katakan kepadanya, “Sabar, kita selesaikan dulu diskusi
kita.” Dia menjawab, “Tidak ada lagi diskusi. Telah datang waktu salat, mari
kita salat di mesjid.” Saya berkata kepadanya, “Saya salat di rumah”, meskipun
biasanya saya selalu salat bersama mereka. Dia berteriak lantang, “Batal salat
Anda.” Saya merasa heran dengan kata-kata ini dan sebelum saya sempat meminta
penjelasan darinya dia telah berbalik dan pergi. Saya berkata kepadanya,
“Sebentar, apa yang menyebabkan salat saya di rumah batal?”
Dia menjawab dengan penuh kesombongan,
“Rasulullah saw telah bersabda, ‘Tidak ada salat bagi tetangga mesjid kecuali
di mesjid.’” Saya berkata kepadanya, “Tidak ada perselisihan di dalam keutamaan
salat berjamaah di mesjid, namun ini bukan berarti hilangnya kesahan salat di
selain tempat ini. Hadis di atas sedang menekankan keutamaan di mesjid, bukan
sedang menjelaskan hukum salat di rumah. Adapun dalilnya ialah kita belum
pernah melihat di dalam fikih disebutkan bahwa salah satu yang membatalkan
salat ialah salat di rumah, dan tidak ada seorang pun dari fukaha yang
memberikan fatwa demikian. Adapun yang kedua, dengan hak apa Anda mengeluarkan hukum
ini?! Apakah Anda seorang fakih?! Karena sulit sekali bagi seorang manusia
untuk bisa memberikan fatwa dan menjelaskan hukum tentang permasalahan
tertentu. Seorang fakih harus mempelajari seluruh nash yang berkaitan dengan
masalah tersebut. Dia harus mengetahui petunjuk perintah (dilalah al-amr) dan
petunjuk larangan (dilalah an-nahyi) di dalam nash. Apakah perintah menunjukkan
kepada hukum wajib atau hukum mustahab, apakah larangan menunjukkan kepada
hukum haram atau hukum makruh. Sungguh, agama ini amat dalam, maka selamilah
dengan kehati-hatian.”
Tampak kegusaran pada wajahnya. Dia cemberut
dan berkata, “Anda telah mentakwil hadis, dan takwil itu haram.” Lalu dia pun
pergi. Saya serahkan urusaan saya kepada Allah SWT dari manusia dungu seperti
ini, yang tidak memahami apa pun. Pikiran inilah yang menjadi penyebab kedua
yang menghalangi saya menjadi seorang Wahabi, meski pun mulanya saya banyak
terpengaruh dengan pikiran-pikiran mereka dan membelanya. Dalam keadaan ini
untuk beberapa waktu, saya bingung dan tidak mempunyai arah. Terkadang saya
mendekati mereka dan terkadang pula saya menjauhi mereka. Saya melihat bahwa
jalan satu-satunya yang ada di hadapan saya —sebagai ganti dari sekolah di
akademi militer— ialah saya harus belajar di fakultas atau universitas Islam,
sehingga saya dapat melanjutkan pengkajiaan saya dengan lebih teliti.
Setelah menyelesaikan ujian masuk universitas,
di mana di sana terdapat enam universitas atau institut yang diminati oleh para
mahasiswa, saya memilih fakultas Islam. Kini, saya telah selesai diterima di
salah satu fakultas Keislaman (yaitu fakultas studi Islam dan bahasa Arab di
universitas Wadi an-Nil di Sudan). Saya sangat senang dengan penerimaan ini.
Setelah menunaikan latihan kemiliteran (bela negara) —yang tidak mungkin
seseorang dapat memasuki perguruan tinggi kecuali setelah menunaikan latihan
militer ini— mulailah para utusan dari seluruh penjuru Sudan datang ke
Universitas, dan saya termasuk yang pertama dari mereka. Pada saat interview,
direktur fakultas bertanya kepada saya, tokoh mana yang Anda kagumi? Saya
katakan kepadanya, “Jamaluddin al Afghani”, dan saya jelaskan kepadanya alasan
saya mengaguminya. Direktur fakultas merasa puas dengan jawaban saya. Setelah
banyak mendapat pertanyaan, akhirnya secara resmi saya pun diterima di
fakultas. Di fakultas, saya sering mengunjungi perpustakaan, terdapat banyak
buku-buku dan ensiklopedia yang tebal-tebal. Akan tetapi, kesulitan yang saya
hadapi ialah dari mana saya harus mulai? Dan apa yang harus saya baca?
Saya tetap dalam keadaan ini, berpindah dari
suatu buku ke buku yang lain, tanpa mempunyai program yang jelas. Salah seorang
dari kerabat saya telah membukakan pintu yang luas dan penting di dalam
pembahasan dan penyelidikan, yaitu mempelajari sejarah dan mengkaji mazhab-mazhab
Islam, untuk bisa mengetahui kebenaran di antara mereka. Sungguh ini merupakan
pertolongan Allah SWT yang tidak saya duga, saya bisa bertemu dengan kerabat
saya Abdul Mun’im —dia lulusan fakultas hukum— di rumah paman saya di kota
Athbarah. Saat itu dia sedang berbincang-bincang di halaman rumah dengan
seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang merupakan tamu di rumah paman saya.
Saya menajamkan pendengaran saya untuk bisa mendengar
apa yang sedang mereka perbincangkan. Dengan segera saya menuju kepada mereka
manakala saya tahu topik yang menjadi perbincangan mereka adalah
masalah-masalah agama. Saya duduk di dekat mereka, dan memperhatikan
perkembangan perbincangan. Tampak sekali Abdul Mun’im begitu tenang di dalam
perbincangan tersebut, meski pun begitu gencar provokasi dan serangan dari
pihak lawan. Saya tidak mengetahui secara menyeluruh watak diskusi yang sedang
berlangsung, hingga akhirnya anggota Ikwanul Muslimin itu berkata, “Sy’iah itu
kafir dan zindiq!!”
Di sini saya mulai mengerti, dan timbul pertanyaan
di benak saya. Siapakah Syi’ah itu? Kenapa mereka kafir? Apakah Abdul Mun’im
orang Syi’ah? Apa yang dikatakannya sesuatu yang asing. Apakah itu perkataan
Syi’ah?! Harus diakui bahwa Abdul Mun’im telah dapat mengalahkan lawannya pada
setiap masalah yang dikemukaan di dalam diskusi, di samping tampak sekali
kemampuan logika dan kekuatan argumentasinya. Setelah selesai diskusi dan
mengerjakan salat magrib, saya mendekati Abdul Mun’im. Saya bertanya kepadanya
dengan penuh hormat, “Apakah Anda seorang Syi’ah? Siapakah orang Syi’ah itu?
Dan, dari mana Anda mengenal mereka?” Abdul Mun’im berkata, “Pelan-pelan, satu
pertanyaan demi satu pertanyaan”. Saya berkata kepadanya, “Maaf, saya masih
bingung dengan apa yang saya dengar dari Anda.” Abdul Mun’im menjawab, “Ini
sebuah pembahasan yang panjang, yang merupakan hasil kerja keras selama empat
tahun, dan itu pun masih belum sampai kepada kesimpulan yang diinginkan.” Saya
potong pembicaraannya, “Kesimpulan apakah itu?”. Abdul Mun’im menjawab, “Kita
hidup di atas timbunan kebodohan dan pembodohan sepanjang hidup kita. Kita
berjalan di belakang masyarakat kita dengan tanpa bertanya, apakah agama yang
ada di sisi kita ini adalah yang dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu Islam?
Setelah melakukan pengkajian, menjadi jelas bagi saya bahwa kebenaran sejauh
dalam pandangan saya, yaitu Syi’ah.”
Saya berkata kepadanya, “Mungkin Anda
tergesa-gesa, atau Anda salah… !” Mendengar itu dia tersenyum sambil berkata,
“Kenapa Anda sendiri tidak mengkajinya dengan teliti dan penuh kesabaran?
Apalagi Anda mempunyai perpustakaan di universitas, yang akan memberikan
manfaat yang banyak sekali kepada Anda.” Saya berkata dengan penuh keheranan,
“Perpustakaan kami perpustakaan Ahlus Sunnah (Sunni), bagaimana mungkin saya
dapat mengkaji Syi’ah?” Abdul Mun’im menjawab, “Salah satu bukti dari kebenaran
Syi’ah ialah mereka berargumentasi atas kebenaran mereka dengan menggunakan
kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah (Sunni). Karena di dalamnya
banyak sekali hal-hal yang menjelaskan kebenaran mereka dengan jelas sekali.”
Saya menimpali, “Kalau begitu, sumber-sumber rujukan Syi’ah adalah
sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah (Sunni) itu sendiri?”
Abdul Mu’im menjawab, “Tidak, Syi’ah mempunyai
sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan
sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah (Sunni), dan semuanya diriwayatkan dari
Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demikian, mereka berargumentasi
kepada Ahlus Sunnah (Sunni) dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di
dalam sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah (Sunni), dikarenakan Ahlus Sunnah
(Sunni) tidak percaya kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau
mereka harus berhujjah dengan apa-apa yang diyakini oleh kalangan Ahlus Sunnah
(Sunni).”
Pembicaraannya menyenangkan saya dan membuat
saya tambah berminat untuk melakukan pembahasan. Saya tanya kepadanya, “Kalau
begitu, bagaimana saya harus memulai?” Abdul Mu’in menjawab, “Apakah di
perpustakaan Anda terdapat kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad,
Turmudzi dan Nasa’i?” Saya menjawab, “Tentu saja, di perpustakaan kami terdapat
sekumpulan besar kitab-kitab hadis rujukan.” Abdul Mu’im berkata, “Mulailah
dari sini. Kemudian, bacalah kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab sejarah, karena
di dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya
mengikuti ajaran Ahlul Bait as.”
Mulailah dia menyebut beberapa contoh darinya,
dengan tidak lupa menyebutkan sumbernya, sekaligus dengan nomer jilid dan nomer
halamannya. Saya terheran-heran. Dengan penuh perhatian saya mendengarkan
hadis-hadis yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya ragu apakah
hadis-hadis ini benar-benar ada di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah (Sunni).
Namun dengan segera Abdul Mun’im memotong keraguan saya itu dengan mengatakan,
“Catat hadis-hadis ini oleh Anda, dan kemudian carilah di perpustakaan. Nanti
kita ketemu lagi pada hari Kamis yang akan datang —Insya Allah.”
PADA HARI JUMAT
Setelah saya merujuk hadis-hadis tersebut ke
dalam Sahih Bukhari, Muslim dan Turmudzi di perpustakaan universitas kami, saya
menjadi yakin akan kebenaran apa yang dikatakannya. Saya kaget dengan
serangkaian hadis-hadis lain yang lebih menunjukkan kepada wajibnya mengikuti
Ahlul Bait, yang membuat saya menjadi shock (kaget dan terkejut). Kenapa kita
belum pernah mendengar hadis-hadis ini sebelumnya?! Maka saya pun menunjukkan
serangkaian hadis ini kepada sebagian teman-teman saya, supaya mereka pun ikut
serta berpartisipasi di dalam kesulitan ini. Sebagian dari mereka memberikan
perhatian, sementara sebagiannya lagi tidak begitu peduli. Namun saya telah
bertekad untuk melanjutkan pengkajian, meski pun untuk itu saya harus
menghabiskan seluruh umur saya. Ketika tiba hari Kamis, saya pergi ke Abdul
Mun’im. Dia menyambut kedatangan saya dengan penuh senang hati. Dia berkata,
“Anda tidak boleh tergesa-gesa, Anda harus melanjutkan pengkajian Anda dengan
penuh kesadaran.”
Kemudian kami mulai membahas
permasalahan-permasalahan lain yang beraneka macam, dan itu terus berlangsung
hingga Jum’at sore. Saya banyak mendapatkan manfaat dari pembahasan-pembahasan
itu, dan banyak mengetahui sesuatu yang sebelumnya saya tidak ketahui. Sebelum
saya kembali ke kampus dia meminta saya untuk membahas beberapa masalah.
Demikianlah hal itu berlangsung hingga beberapa waktu. Diskusi yang berlangsung
di antara saya dengan dia selalu berubah dari waktu ke waktu. Terkadang saya
berbicara keras kepadanya, dan terkadang saya membantah beberapa permasalahan
yang sudah amat jelas. Sebagai contoh, ketika saya merujuk beberapa hadis di
dalam kitab-kitab rujukan, dan saya meyakini keberadaannya, saya katakan kepadanya,
“Hadis-hadis ini tidak ada.”
Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang
mendorong saya melakukan itu, selain dari perasaan merasa terdesak dan
menginginkan kemenangan. Dengan cara ini, dan dengan semakin bertambahnya
pembahasan, tersingkaplah kebenaran di hadapan saya yang tidak saya perkirakan
sebelumnya. Sepanjang periode ini saya banyak melakukan diskusi dengan
teman-teman. Ketika mereka tidak mampu lagi menghadapi saya, mereka meminta
saya untuk berdiskusi dengan doktor yang mengajarkan mata kuliah ilmu fikih
kepada kami. Saya katakan, “Tidak ada halangan bagi saya, namun terdapat
penghalang di antara saya dengan dia yang menghalangi saya dapat berbicara
bebas dengannya.” Mereka tidak merasa puas dengan jawaban saya. Mereka
mengatakan, “Di antara kami dan Anda ada dosen, jika argumentasi Anda dapat
memuaskannnya maka kami akan bersama Anda..!” Saya katakan, “Yang menjadi
masalah bukanlah memuaskan atau tidak memuaskan, yang menjadi masalah ialah
dalil dan argumentasi, dan pencarian akan kebenaran….”
Pada permulaan mata kuliah fikih mulailah saya
berdiskusi dengan dosen saya dalam bentuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Nampak dia tidak banyak menentang saya, bahkan sebaliknya dia menekankan
kecintaan kepada Ahlul Bait as dan keharusan mengikuti mereka, serta menyebut
keutamaan-keutamaan mereka. Selang beberapa hari dia meminta saya untuk
menemuinya di kantornya, di kantor pusat universitas. Setelah saya pergi
menemuinya, dia menyodorkan kepada saya sebuah kitab yang terdiri dari beberapa
juz, yaitu kitab Sahih al-Kafi, yang termasuk kitab rujukan hadis yang paling
dipercaya di kalangan Syi’ah. Dia meminta kepada saya untuk tidak semberono
terhadap kitab ini, karena kitab ini merupakan warisan dari Ahlul Bait. Saya
tidak dapat berbicara sepatah kata pun karena saking gugupnya, lalu saya ambil
kitab itu dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Saya pernah mendengar kitab
ini namun saya belum pernah melihatnya. Hal ini menjadikan saya ragu apakah
doktor ini seorang Syi’ah, meski pun saya tahu dia itu seorang Maliki. Setelah
bertanya ke sana ke mari, menjadi jelas bagi saya bahwa dia itu seorang sufi
yang mencintai Ahlul Bait as.
Ketika teman-teman saya melihat kesesuaian di
antara saya dengan dosen tersebut, mereka meminta kepada saya untuk berdiskusi
dengan dosen lain, yang mengajarkan mata kuliah hadis. Dosen mata kuliah hadis
tersebut adalah seorang laki-laki yang taat beragama, sangat tawadu dan baik
akhlaknya. Saya amat mencintainya. Maka saya pun memenuhi permintaan mereka.
Mulailah terjadi diskusi di antara kami dalam banyak masalah. Saya menanyakan
kepadanya tentang kesahihan beberapa hadis, dan dia pun menguatkan kesahihan
hadis-hadis tersebut. Setelah berjalan beberapa waktu, saya merasakan
ketidaksukaan dia dengan diskusi-diskusi saya, dan begitu juga teman-teman saya
merasakan hal yang sama. Maka saya pun berpikir bahwa cara yang paling baik
untuk melanjutkan diskusi ialah melalui tulisan. Lalu saya tulis sekumpulan
hadis dan riwayat yang menunjukkan secara jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait
as, dan saya minta kepadanya untuk membahas kesahihan hadis-hadis ini. Setiap
hari saya meminta jawaban darinya, namun dia membela diri dengan mengatakan
tidak ada pembahasan. Saya terus mengikutinya dengan cara ini, hingga dia
merasakan rasa kegelisahan saya.
Dia mengatakan kepada saya, “Semuanya sahih.”
Saya katakan, “Semuanya jelas menunjukkan wajibnya mengikuti Ahlul Bait.” Dia
tidak menjawab, melainkan bergegas pergi ke kantor. Tindakannya ini merupakan
goncangan bagi saya, dan menjadikan saya merasakan kebenaran akan perkataaan
Syi’ah. Namun saya ingin perlahan-lahan dan tidak ingin tergesa-gesa di dalam
memutuskan. Kebetulan, dekan fakultas kami adalah Profesor ‘Alwan. Dia mengajar
mata kuliah tafsir bagi kami. Pada suatu hari dia berbicara tentang tafsir
firman Allah SWT yang berbunyi,
“Seorang peminta telah meminta kedatangan azab
yang bakal terjadi”, “Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala berada di Ghadir Khum
dia menyeru manusia, maka mereka pun berkumpul. Lalu Rasulullah saw mengangkat
tangan Ali as seraya berkata, ‘Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka
inilah Ali sebagai pemimpinnya’. Berita itu pun tersebar ke seluruh pelosok
negeri, dan sampai kepada Harits bin Nukman al-Fihri. Lalu dia mendatangi
Rasulullah saw dengan menunggang untanya. Kemudian dia menghentikan untanya dan
turun darinya. Harits bin Nukman al-Fihri berkata: Hai Muhammad, kamu telah
menyuruh kami tentang Allah, supaya kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa kamu adalah utusan-Nya, dan kami pun menerimanya. Kamu
perintahkan kami untuk menunaikan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya.
Kamu perintahkan kami untuk menunaikan zakat, dan kami pun menerimanya. Kamu
perintahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadhan, dan kami pun menerimanya.
Kamu perintahkan kami untuk melaksanakan ibadah haji, dan kami pun menerimanya.
Kemudian kamu tidak merasa puas dengan semua ini sehingga kamu mengangkat
tangan sepupumu dan mengutamakannya atas kami semua dengan mengatakan, ‘Siapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya. ‘Apakah
ini dari kamu atau dari Allah? Rasulullah saw menjawab: Demi Allah yang tidak
ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah SWT. Mendengar itu
Harits bin Nukman al-Fihri berpaling dari Rasulullah saw dan bermaksud menuju
ke kendaraannya sambil berkata, ‘Ya Allah, seandainya apa yang dikatakan
Muhammad itu benar maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau
datangkanlah kepada kami azab yang pedih.’ Maka sebelum Harits bin Nukman
al-Fihri sampai ke kendara¬annya tiba-tiba Allah menurunkan sebuah batu dari
langit yang tepat mengenai ubun-ubunnya dan kemudian tembus keluar dari
duburnya, dan dia pun mati. Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya: Seorang
peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang
kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.”
Setelah selesai pelajaran salah seorang teman
saya menemuinya dan berkata kepadanya, “Apa yang telah Anda katakan adalah
perkataan Syi’ah.” Bapak Dekan tertegun sejenak, kemudian memandang ke arah
pemerotes seraya berkata, “Panggil Mu’tashim ke ruang kantor…!” Saya merasa
heran dengan permintaan ini, dan merasa takut bertemu bapak Dekan. Namun saya
cepat-cepat menguasai diri saya dan pergi menemuinya. Sebelum sempat saya
duduk, bapak Dekan berkata kepada saya, “Anda orang Syi’ah!” Saya menjawab,
“Saya semata-mata hanya seorang yang sedang mengkaji.” Bapak Dekan berkata,
“Pengkajian itu sesuatu yang bagus, dan sesuatu yang harus.” Bapak Dekan mulai
menyebutkan beberapa kecurigaan tentang Syi’ah yang banyak disebut orang. Namun
dengan pertolongan Allah SWT saya bisa menjawab semua itu dengan sekuat-kuatnya
dalil dan argumentasi, dan dapat lancar berbicara melebihi dari yang saya duga.
Sebelum menutup pembicaraan kami, dia berpesan kepada saya akan kitab al-Muraja
‘at. Dia mengatakan, “Kitab al-Muraja ‘at termasuk kitab yang bagus dalam hal
ini.”
Setelah saya membaca kitab al-Muraja ‘at,
Ma’alim al-Madrasatain dan beberapa kitab yang lain, maka kebenaran pun menjadi
jelas bagi saya dan tersingkaplah kebatilan dari hadapan saya, disebabkan
dalil-dalil yang jelas, dan argumentasi-argumentasi yang terang, yang
menunjukkan kebenaran mazhab Ahlul Bait as, yang terkandung di dalam kedua
kitab ini. Dengan begitu, kekuatan saya di dalam berdiskusi dan mengkaji pun
menjadi semakin bertambah, sehingga Allah SWT membukakan cahaya kebenaran di
dalam hati saya, dan saya pun mengumumkan Kesyi’ahan saya. Selanjutnya mulailah
periode baru dari pergumulan. Orang-orang yang tidak mampu berdiskusi, mereka
tidak menemukan jalan lain selain dari jalan olok-olok, caci-maki, ancaman, fitnah
dan jalan-jalan kebodohan lainnya. Saya serahkan seluruh urusan saya kepada
Allah SWT, dan saya sabar dengan apa yang terjadi, meskipun serangan-serangan
yang dialamatkan kepada saya itu berasal dari teman-teman saya, yang telah
mengharamkan makan dan tidur dengan saya dalam satu atap.
Mereka mengasingkan saya secara penuh, kecuali
sebagian teman yang lebih paham dan lebih terbuka. Setelah berjalan beberapa
waktu, akhirnya saya bisa menormalkan kembali hubungan saya dengan semuanya,
dan dalam bentuk yang lebih baik dari yang semula. Bahkan saya menjadi orang
yang dihormati dan dihargai di tengah-tengah mereka. Sebagian mereka meminta
pertimbangan saya di dalam setiap masalah yang kecil maupun yang besar, dari
masalah-masalah kehidupannya. Namun ini semua tidak berlangsung lama. Api
fitnah pun kembali menyala, setelah tiga orang mahasiswa lainnya mengumumkan
Kesyi’ahan mereka, di samping sekelompok besar mahasiswa yang menampakkan
simpati dan dukungan mereka kepada Syi’ah. Serangkaian konflik dan guncangan
pun mengelilingi kami, dan kami menghadapi semua itu dengan berpegang teguh
kepada akhlak dan hikmah, sehingga kami mampu menghilangkan kemarahan dengan
sesegera mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar