(Foto: Muslim Syi'ah Sedang Sholat)
Oleh Idries Shah
“Seekor kera melihat
sebuah cherry di dalam sebuah botol yang bening dan berniat mengambilnya.
Kemudian ia memasukkan tangannya melalui leher botol dan memungut buah cherry
itu. Namun sekarang ia tidak bisa mengeluarkan tangannya. Sang pemburu yang
sengaja memasang perangkap tersebut kemudian mendekat. Kera yang terjerat botol
itu, tidak dapat lari dan tertangkap. “Setidaknya aku dapat menggenggam buah
cherry,” pikir kera. Pada saat itu sang pemburu memukul siku kera dengan cepat,
kemudian tangan kera terbuka, terlepas dari botol. Sekarang sang pemburu
memiliki buah, botol dan kera” (Kitab Amu-Daria). “Meninggalkan sesuatu karena
orang lain telah menyalahgunakannya mungkin suatu puncak kebodohan. Kesejatian
Sufi tidak dapat dicakup dalam aturan dan peraturan, dalam doa dan ibadah —
akan tetapi secara terpisah.” Kata-kata ini, ditulis Fariduddin Sang Kimiawan,
seorang pengarang dan tokoh madzhab pencerahan serta pendiri organisasi para
Sufi. Ia meninggal dunia lebih seabad sebelum kelahiran Chaucer yang
karya-karyanya mengacu pada Sufisme Aththar. Lebih dari seratus tahun setelah
wafatnya, dasar Tarekat Garter menunjukkan kesamaan-kesamaan yang mencolok
dengan Tarekat rintisannya yang hampir tidak mungkin dianggap sebagai
kebetulan.
Fariduddin dilahirkan
dekat Nisyapur, negeri tercinta Omar Khayyam. Ayahnya mewariskan sebuah rumah
obat, karena itu nama keluarganya dan sesuai dengan gaya Sufi adalah Aththar —
Sang Kimiawan. Begitu banyak cerita tentang kehidupannya sebagian tentang
mukjizatnya, sebagian lagi tentang ajarannya. Ia telah menulis seratus empat
belas karya untuk para Sufi, yang terpenting tentu saja adalah Dewan Para
Burung (Parliament of the Birds [Mantiquth-Thair]) dan seorang pelopor dari
Pengembangan Haji (Pilgrim’s Progress). Namun seperti sebuah karya Sufisme
klasik dan kesusastraan Persia, Parliament ini memaparkan pengalaman-pengalaman
Sufi dan kerangkanya sendiri berdasar pada tema-tema pencarian (kebenaran) dari
para Sufi sebelumnya. Karya ini juga menjabarkan makna-makna yang dapat
dipahami sebagai isi kesadaran Sufi.
Cerita tentang percakapan
Aththar, yang digunakan para Sufi untuk menggambarkan keseimbangan antara
materi dan metafislka ditulis Daulat-Shah dalam karya klasik Memoirs of the
Poets (Riwayat Hidup Para Penyair). Karya ini sebenarnya bukan laporan
tertulis, namun kisah alegoris. Suatu hari, ketika Aththar menjaga
barang-barang dagangan di tokonya, seorang pengembara Sufi muncul di depan
pintu, menatap dengan kedua matanya yang tergenang air mata. Fariduddin
menyuruh laki-laki itu pergi. “Aku memang akan pergi,” sambut musafir itu.
“Namun aku dilarang membawa sesuatupun, bahkan jas panjang ini. Akan tetapi,
apa artinya Anda dan obat-obatan Anda yang mahal itu? Anda sebaiknya memikirkan
rencana Anda sendiri untuk melanjutkan perjalanan.”
Peristiwa ini sangat
berkesan di hati Aththar, sehingga ia meninggalkan toko dan kerjanya serta
mengasingkan diri di sebuah padepokan Sufi selama periode persemedian di bawah
bimbingan guru Syekh Ruknuddin. Meskipun ia banyak melakukan praktek-praktek
asketik, tetap menekankan arti penting tubuh dalam sebuah pernyataannya. “Tubuh
tidaklah berbeda dengan jiwa, karena tubuh adalah bagian dari jiwa. Keduanya
merupakan bagian dari keseluruhan.” Ajarannya tidak hanya dikandung dalam
karya-karya puitisnya, namun juga dalam ritus-ritus tradisional yang dipercaya
oleh para Sufi sebagai bagian ajaran-ajarannya. Pembahasan masalah ini, yaitu
perpaduan antara puisi, ajaran dan “perbuatan” (amal) Sufi, akan dilakukan
nanti.
Aththar adalah salah
seorang Sufi yang mengetahui secara mendalam riwayat hidup para Sufi
sebelumnya, dan karya prosa satu-satunya, Memoirs of the Friend (Riwayat Hidup
Para Sahabat) atau Recital of the Saints (Hikayat Orang-orang Suci) dicurahkan
untuk mencatat kehidupan mereka. Ia memutuskan untuk menulis kumpulan hikayat
tersebut setelah meninggalkan lingkungan Sufi Ruknuddin dan pengembaraannya ke
Mekkah serta tempat-tempat lainnya. Di masa tuanya, Aththar dikunjungi
jalaluddin Rumi muda dan memberikan salah satu bukunya kepada pemuda ini. Rumi
kemudian semakin memperluas publikasi aspek-aspek dasar tradisi pengetahuan
Sufi yang telah dilanjutkan Aththar ini. Selanjutnya Rumi membandingkan dirinya
sendiri dengannya, “Aththar telah melintasi tujuh kota cinta, sementara kami
hanya sampai di sebuah jalan tunggal.”
Aththar meninggal dunia
ketika sedang mengajar sebagaimana ia telah mencurahkan hidupnya untuk itu.
Namun kejadian terakhir yang menimpa Aththar, menimbulkan keraguan orang
tentang dirinya. Ketika pasukan Barbar menyerang Persia di bawah pimpinan
jengis Khan pada tahun 1220, Aththar ditangkap, saat ia berusia seratus sepuluh
tahun. Ada seorang Mongol berkata, “Jangan bunuh orang tua ini. Aku akan
mengganti seribu keping uang perak sebagai tebusan untuknya.” Aththar melarang
penangkapnya untuk menerima penawaran itu, karena ia akan menerima harga yang
lebih tinggi dari orang lain. Beberapa saat kemudian, ada orang lain yang hanya
menawarnya seharga seikat jerami, “Terimalah tawaran itu!” kata Aththar. “Karena
itulah hargaku yang sebenarnya.”Akhirnya ia dibunuh oleh tentara Mongol yang
sangat kesal dengan leluconnya itu.
Garcin de Tassy telah
mengungkapkan kemiripan karya-karya roman dan petualangan Aththar dengan Roman
de la Rose, yang merupakan bukti nyata pengaruh aliran romantis Sufi yang
paling awal di Eropa. Sebuah karya roman berikutnya yang menunjukkan kemiripan
dengan tema-tema roman Sufi adalah karya tulis Majriti dari Cordoba. Ada juga
kemungkinan bahwa karya roman Sufi masuk ke Eropa Barat melalui Spanyol dan
Perancis Selatan daripada anggapan melalui Syria, meskipun karangan-karangan
Sufi dalam jenis sastra ini sangat kuat berpengaruh di sana. Sedang para
sarjana Barat yang percaya bahwa legenda Grail masuk ke Eropa melalui tentara
Perang Salib, sebenarnya hanya mendasarkan asumsinya pada sumber-sumber Syria.
Bagaimanapun, Syria dan Andalusia mempunyai hubungan yang sangat kuat.
Perubahan huruf “Q” menjadi “G” (Qarael Muqaddas [Hikayat Suci]) menjadi Garael
Mugaddas) adalah bahasa Spanyol-Muslim, bukan bahasa Syria. De Tassy mencatat
bahwa Roman de la Rose mempunyai kesamaan-kesamaan dengan dua aliran sastra
Sufi, yaitu Birds and the Flowers, dan terutama dengan karya Aththar, Parliament
of the Birds. Tak syak lagi, versi asli yang telah memicu munculnya versi Roman
lainnya yang terkenal di Eropa itu, sudah tidak ada; dan sangat mungkin asalnya
adalah versi verbal, yang disampaikan melalui pengajaran Sufi di pusat-pusat
penyebaran Sufi Spanyol.
Roman Rose of Bakawali di
India, lebih jelas lagi banyak mengandung perumpamaan Sufi yang paling dinamis
tersebut. Parliament sendiri, selain tercantum secara terpisah-pisah dalam
karya Chaucer dan lainnya, diterjemahkan dalam bahasa Perancis dan
dipublikasikan di Liege pada tahun 1653, kemudian diterjemahkan dalam bahasa
Latin pada tahun 1678. Bagian-bagian Mantiquth-Thair (Parliament of the Birds)
karya Aththar, banyak disitir dalam Tarekat Khidr (yaitu St. George maupun
Khidr sendiri, pelindung suci dari para Sufi, pemandu rahasia, kadangkala
dianggap Elias [Ilyas]) yang masih hidup sampai saat ini. Berikut ini sebagian
ucapan seremonial inisiasi (prabakti) Tarekat Khidr: “Ada yang bertanya mengapa
laut berwarna biru, warna duka cita, dan mengapa laut bergelora seolah-olah ada
api yang membuatnya mendidih. Kemudian dijawab, jubah biru itu menyatakan
kesedihan karena berpisah dengan Sang Kekasih, “karena itu api Cinta membuatnya
bergelora”. Sedang warna kuning, dalam hikayat selanjutnya, adalah warna emas –
unsur kimiawi Manusia Sempurna, yaitu manusia yang disepuh sampai seperti emas.
Jubah permulaan Sufi terdiri dari jas biru, kerudung kepala dan pita kuning.
Jika kedua warna ini dicampur akan berwarna hijau, warna permulaan dan alam,
kebenaran dan keabadian”. Mantiquth-Thair ditulis kira-kira seratus tujuh puluh
tahun sebelum berdirinya Tarekat Garter, yang mulanya dikenal sebagai Tarekat
Santo George.
Tarekat Sufi yang mana
Aththar diakui sebagai pendirinya kemudian mengembangkannya, dan yang tentu
saja mengandung tradisi pemusatan hati – menjalankan latihan-latihan yang
bertujuan untuk menciptakan dan menjaga keselarasan para pengikutnya dengan
seluruh makhluk. Ia hampir mirip dengan Tarekat-tarekat Sufisme lainnya.
Tahap-tahap perkembangan Sufi itu, meskipun mungkin urutannya berbeda-beda
dalam setiap individu, digambarkan dalam Mantiquth-Thair. Burung-burung yang
melambangkan manusia, semuanya dipanggil oleh burung Hoopoe (burung Merak),
melambangkan Sufi, yang menganjurkan agar mereka segera mencari Raja mereka
yang misterius, Raja ini bernama Simurgh, yang tinggal di pegunungan Kaf.
Setiap burung, yang sebelumnya tertarik untuk bertemu Raja, mulai
menyesalkannya karena ia sendiri (burung merak) tidak ikut serta dalam
perjalanan menemui Raja tersembunyi. Setelah mendengar penyesalan itu, burung
merak menjawab dengan sebuah kisah yang mengilustrasikan ketiadagunaan
membeda-bedakan apa yang harus atau seharusnya dengan apa yang sebaiknya
dilakukan. Syair-syair dalam ilustrasi itu banyak mengandung perumpamaan sosok
Sufi dan harus dikaji secara cermat agar benar-benar dapat dipahami. Cincin
Sulaiman, hakikat sosok Khidr sang Pembimbing rahasia, berbagai anekdot tentang
hikmah-hikmah kuno juga ada di dalamnya.
Akhirnya si burung merak
menyatakan kepada burung-burung itu bahwa mereka harus melalui tujuh lembah
dalam pencarian itu. Pertama, Lembah Pencarian, tempat segala marabahaya akan
mengancam dan perjalanan suci ini harus melepaskan keinginankeinginan. Kemudian
Lembah Cinta, wilayah tak terbatas, tempat sang Pencari sepenuhnya dilanda rasa
rindu kepada Sang Kekasih. Setelah Lembah Cinta adalah Lembah Pengetahuan
Intuitif, di sini hati menerima secara langsung pencerahan dari Kebenaran dan
suatu pengalaman “bertemu” Tuhan. Kemudian di Lembah Pemisahan, sang musafir
akan terbebaskan dari segala hasrat dan ketergantungan. Dalam percakapan burung
merak terhadap burung bulbul, Aththar mengungkapkan ketiadagunaan puncak
kegembiraan (ekstase), mistikus yang hanya menuruti percintaan itu sendiri,
yang melarutkan diri mereka dalam kerinduan, yang memperturuti pengalaman
ekstatik dan tidak menyentuh kehidupan manusia. Burung bulbul yang penuh gairah
itu dengan tidak tahan lagi maju ke depan. Dalam setiap siulannya yang sangat
bervariasi, ia menyuarakan suatu misteri makna yang berbeda-beda. Ia
mengungkapkan misteri-misteri dengan sangat mengesankan sehingga semua burung
lainnya terpaku. “Aku mengetahui rahasia-rahasia cinta,” kata burung bulbul.
“Sepanjang malam aku mengungkapkan rasa cintaku. Aku mengajarkan sendiri
rahasia-rahasia itu. Lagu cintaku adalah ratapan seruling mistik dan kecapi.
Akulah yang memekarkan bunga Mawar dan menggetarkan hati para pecinta. Dengan
tiada henti aku mengajarkan misteri-misteri baru, setiap saat muncul nada-nada
kesedihan baru, laksana gelombang di lautan. Siapa pun mendengarkanku lenyaplah
kecerdasannya karena terpesona dan hilanglah kesadarannya. Bila aku sudah
kehilangan rasa cintaku pada sang Mawar, aku meratap tiada henti … Bila sang
Mawar kembali ke dunia di musim panas, hatiku begitu suka-ria. Rahasia-rahasia
cintaku tidak diketahui mereka — namun sang Mawar mengenal mereka. Yang aku
pikirkan hanya sang Mawar, yang aku rindukan hanya Mawar merah delima.”
“Untuk menggapai Simurgh
adalah di luar kemampuanku — cinta pada sang Mawar sudah cukup bagi burung
bulbul. Karenaku Mawar menjadi mekar … Mungkinkah burung bulbul hidup satu
malam pun tanpa Sang Kekasih?” Burung merak berseru, “Hai … orang yang
tertinggal, yang hanya sibuk mengurusi hal-ihwal! Tinggalkanlah kesenangan yang
menggiurkan itu! Mencintai Mawar hanya akan menyusahkan hatimu. Betapapun
indahnya bunga Mawar, keindahannya akan lenyap dalam beberapa hari. Mencintai
sesuatu yang mudah layu hanya akan menyebabkan perubahan hati Manusia Sempurna.
Bila senyuman bunga Mawar telah membangkitkan gairahmu, itu hanya akan menawanmu
dalam kesedihan tiada henti. Dialah yang menertawakanmu di setiap musim semi
sementara ia tidak merasa sedih – tinggalkanlah bunga Mawar dan warna merahnya
(yang menggairahkan) itu!”
Dalam mengulas bagian ini,
seorang guru Sufi mencatat bahwa Aththar tidak hanya menyinggung orang yang
berpuas diri pada pencapaian ekstase tanpa melanjutkan tahap mistis berikutnya.
Namun ia juga memberi arti ekstatik yang paralel, orang yang merasakan
frekuensi cinta yang tidak sempurna, dan yang, meskipun dipengaruhi oleh cinta,
ia tidak punya gairah hidup dan tidak dipengaruhi olehnya sehingga kehidupan
(pribadinya) benar-benar mengalami suatu perubahan: “Inilah api cinta yang
mencerahkan, yang berbeda kapan pun ia timbul, yang menggairahkan, yang
menghidupkan jiwa. Benih (cinta) ini terpisah dari rahimnya dan lahirlah
Manusia Sempurna, yang berubah dengan suatu cara yang khas sehingga seluruh
aspek kehidupannya terangkat (mulia). Ia bukan berubah dalam arti wujud yang
berbeda, namun ia adalah pribadi yang utuh dan keberadaan ini bisa dianggap
sebagai manusia yang penuh gairah. Setiap perilaku (hatinya) tersucikan,
terangkat pada tingkat yang lebih tinggi, tergetar oleh melodi yang lebih
merdu, melantunkan nada yang lebih langsung dan hidup, mempertalikan hati
laki-laki dan perempuan, yang lebih mencintai dan lebih membenci. Setiap gerak
hatinya menyatu dengan suatu nasib, suatu ruang yang tentram dan kokoh, menyatu
dengan hal-ihwal, yang melingkupi meskipun ia hanya mengikuti bayangan
substansi cinta ini, sedemikian agung sehingga dapat mencapai pengalaman yang
lebih nyata.”
Pengulas tersebut (Guru
Adil Alimi) juga mencatat bahwa perasaan-perasaan ini tidak menarik perhatian
manusia pada umumnya. Perasaan-perasaan ini “diingkari oleh kalangan
materialis, ditentang para teolog, diabaikan para pecinta, ditolak para
ekstatis, diterima namun disalahpahami oleh teorisi dan pengikut Sufi”.
“Namun,” lanjutnya, “kita harus mengingat qadam ba qadam (tahap demi tahap):
‘Sebelum engkau meminum cawan kelima, engkau harus meminum cawan keempat,
setiap cawan sama-sama enak’.” Ia menyadari bahwa hal-ihwal, baik yang lama
maupun baru, tidaklah penting. Hal-ihwal yang telah dipahami itu tidaklah
bernilai, sebab sang musafir melihat dimensi-dimensi baru dalam hal-ihwal itu.
Ia memahami, misalnya, perbedaan antara tradisionalisme dan realitas, yang itu
adalah suatu refleksi.
Lembah kelima adalah
Lembah Kemanunggalan. Di lembah ini sang Pencari memahami bahwa hal-ihwal dan
gambaran-gambaran yang kelihatan berbeda baginya sebenarnya hanya satu. Di
Lembah Ketakjuban (lembah keenam); sang musafir merasakan kekaguman dan cinta.
Ia tidak memahami pengetahuan dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Suatu
perasaan yang disebut cinta, sekarang menggantikannya. Lembah ketujuh, yang
terakhir, adalah Lembah Kematian. Di sini sang Pencari memahami misteri dan
paradoks, individu yang memahami bagaimana “setetes kepribadiannya dapat
bergabung dengan samudera, namun tetap mempunyai makna. Ia telah menemukan
‘kedudukannya’.” Nama samaran Fariduddin
adalah Aththar, Kimiawan atau Pembuat minyak wangi. Mayoritas sejarawan menduga
bahwa ia mengambil kata deskriptif ini karena ayahnya mempunyai sebuah balai
obat, namun menurut tradisi Sufi, “Aththar” mengandung suatu pengertian
rahasia. Jika kita menggunakan metode baku pengungkapan bahasa sandi melalui
sistem Abjad, yang sangat dikenal di kalangan terpelajar Arab dan Persia,
Aththar dapat disulih sebagai berikut:
A (ain) = 70
Tha’ = 9
Tha’ = 9
Alif = 1
Ra’ = 200
Huruf-huruf (dalam kata
Aththar) harus disusun menurut ortografi konvensial bahasa Semit seperti di
atas. Kitab Hisab al-Jamal (kitab tentang penyusunan ulang huruf dan angka)
adalah bentuk paling sederhana pemakaian sistem Abjad yang banyak digunakan
dalam ungkapan-ungkapan puitis. Setelah penyulihan, nilai huruf-huruf harus
dijumlah (70+9+9+1+200), hasilnya 289. Untuk mengungkap suatu makna
“tersembunyi” yang baru dari tiga huruf dasar itu, kita harus (sesuai prosedur
baku) mengurai kembali jumlah itu dalam ratusan, puluhan dan satuan, sebagai
berikut:
289 = 200, 80, 9
Ketiga angka ini dapat
disesuaikan kembali:
200 = R ; 80 = F ; 9 = Th.
Kini kita tinggal mencari
dalam kamus kata-kata yang berhubungan penyusunan-penyusunan tiga huruf
tersebut. Di dalam kamus bahasa Arab, kata selalu ditulis menurut akar katanya
(biasanya tiga huruf), sehingga hal ini mempermudah tugas kita. Tiga huruf
tersebut mungkin hanya terdiri dari kata, RFTh, RThF, FRTh, FThR dan ThFR.
Satu-satunya akar kata yang berkaitan dengan agama, makna batiniah dan rahasia
adalah FThR. Jadi “Aththar” adalah suatu kata sandi dari konsep FThR, suatu
pesan tentang ajaran yang disampaikan Fariduddin. Aththar adalah salah seorang guru Sufi
terkemuka. Sebelum kita melihat implikasi akar kata FThR dalam bahasa Arab,
kita dapat mengikhtisarkan gagasan-gagasannya. Sufisme adalah suatu bentuk
pemikiran yang digunakan Aththar dan para penerusnya (termasuk muridnya, Rumi)
menurut suatu format keagamaan, yaitu tentang pertumbuhan dan tema evolusi
organis manusia. Penggarapan tema ini berhubungan dengan terbitnya fajar
setelah kegelapan (malam), berbuka puasa dengan sepotong roti, dan perilaku
mental serta fisik yang intensif, yang tak terencana oleh sebab suatu tanggapan
terhadap dorongan-dorongan intuitif
Apakah akar kata FThR
mengandung (pengertian): (1) perkumpulan-perkumpulan keagamaan; (2) hubungan
antara Kristianitas dan Islam — sebab para Sufi menandaskan bahwa mereka adalah
Muslim sekaligus penganut ajaran esoteris Kristiani; (3) gagasan tentang tindakan
yang cepat atau tak terencana; (4) kerendahan hati para darwis; (5) suatu
dampak yang kuat (dari gagasan atau gerakan, sebagaimana diterapkan dalam
madzhab-madzhab darwis untuk latihan-latihan Sufi); (6) “anggur” — analogi
puitis Sufi untuk pengalaman batin; (7) sesuatu yang mendesakkan jalan
keluarnya dari kandungan alamiah? Setiap gagasan-gagasan tersebut terkandung
dalam kata-kata Arab yang diturunkan dari akar kata FThR, yang membentuk suatu
gambaran eksistensi Sufi. Sekarang kita dapat memeriksa akar kata dengan ragam
penggunaannya:
FaThaR = membelah,
memotong sesuatu, menyelidiki, mulai, mencipta sesuatu (Tuhan).
FuThR = cendawan (yang
cara pertumbuhannya melalui kekuatan membelah diri).
FaThaRa = sarapan, berbuka
puasa.
ThaFaThThaR = terbelah
atau pecah.
‘IYD al-FiThR = Hari Raya
Fitri.
FiThRah = watak dasar,
rasa keagamaan, agama Islam (patuh pada kehendak Tuhan).
FaThIR = roti murni (yang
tak diragi), tindakan yang tak terencana atau cepat, tergesa-gesa.
FaThIRA = suatu benda
kecil, roti tersusun sebagaimana digunakan dalam suatu acara sakral.
FAThiR = Sang Pencipta.
FuThaiy Ri = manusia yang
hina, kosong, tumpul.
FuThAR = sebuah benda yang
karat, misalnya sebilah pedang tumpul.
Biasanya Aththar dianggap
sebagai guru yang telah ikut serta menyampaikan (meneruskan) latihan Sufi yang
khas, yaitu “Berhenti (sejenak)!” Latihan Menenggang Waktu. Latihan ini
dilakukan ketika guru Sufi, pada waktu tertentu, memerintahkan muridnya untuk
menghentikan setiap gerakan secara sempurna. Selama latihan “menenggang waktu”
ini, murid akan memancarkan barakah-nya kepada orang lain. Menangguhkan semua
kegiatan fisik dengan cepat adalah membiarkan kesadaran terbuka untuk menerima
pengembangan mental yang khas, yang kekuatannya terpancar dari gerakan penuh
tenaga. Anehnya FThR dalam daftar kata Sufi dikembangkan menjadi QMM. Kata ini
pun, jika diungkap melalui sistem notasi Abjad, menghasilkan kata QIFF –
Penangguhan Ilahi. “Penangguhan” ini adalah nama yang diberikan pada latihan
“Berhentilah (sejenak)!” yang hanya dilakukan seorang guru Sufi. Makna akar
kata FThR yang sekunder, yaitu cendawan, telah menimbulkan minat spekulasi.
Minat ini muncul berkat prakarsa Mr. R. Gordon Wasson, yang menyatakan bahwa
pada zaman dahulu, ada (dan yang mengherankan hal ini masih hidup dalam
beberapa wilayah) suatu kultus ekstatik yang tersebar luas dengan cara memakan
cendawan-cendawan yang menimbulkan halusinasi. Apakah akar kata FThR ini memang
berhubungan dengan kultus cendawan? Ya di satu sisi, namun bukan dalam pengertian
yang secara langsung diduga orang. FThR memang mengandung arti cendawan, namun
bukan dalam pengertian cendawan yang menimbulkan halusinasi. Kita mempunyai dua
sumber untuk menjelaskan masalah ini. Sumber pertama bahwa cendawan yang
menimbulkan halusinasi dalam bahasa Arab berasal dari akar kata GHRB. Kata-kata
yang diturunkan dari GHRB mengindikasikan suatu pengetahuan karena pengaruh
aneh dari cendawan itu, sementara kata FThR tidak demikian:
GHaRaBa = pergi,
berangkat, tumor mata.
GHaRaB = meninggalkan
kampung halaman, hidup di negeri asing.
GHuRBan = kedudukan sebuah
bintang, terlupakan atau terpencil.
GHaRuB = tak dikenal
(kabur), sesuatu yang tak terpahami dengan jelas, asing.
GHaRaB = pergi ke Barat.
A-GHRaB = melakukan atau
mengatakan hal-hal aneh atau tidak lazim, tertawa secara aneh, berlari secepat
kilat, pergi ke negeri yang jauh.
ISTa-GHRaB = menemukan
benda aneh, menakjubkan, tertawa berlebih-lebihan.
GHaRB = Ujung pedang, air
mata dan sebagainya.
ESH al-GHuRAB = jamur payung
(secara literal berarti “makanan burung gagak, kerumitan, kegelapan,
keanehan”).
Keterangan kedua yang
menarik mengindikasikan bahwa Sufi menggunakan akar kata FThR untuk pengertian
pengalaman batiniah dan bukan pengertian yang diangkat dari makna kimiawi.
Keterangan ini terkandung dalam sebuah paragraf dari karya orang yang secara
tepat dijuluki Mast Qalandar (secara literal berarti “darwis yang mabuk”), yang
secara jelas mengomentari tentang suatu kepercayaan bahwa cendawan yang
menimbulkan halusinasi itu dapat merangsang untuk mencapai suatu pengalaman
mistik. Dalam hal ini ia menandaskan bahwa kepercayaan itu tidak benar.
Pertama, kita dapat membaca melalui penterjemahan literal naskah tersebut:
“Jadi Sang Pencipta,
karena perkembangan semangat dan inti rasa keagamaan, menyediakan sari buah
anggur untuk sarapan pagi para Pecinta (para Sufi), dan ia meninggalkan sebuah
jejak (simbol) berupa kegiatan sakramental bagi orang-orang yang mempunyai
pemahaman setengah-setengah. Perlu juga diketahui dan diingat bahwa Sufi yang
tercerahkan jauh dari retakan atau belahan yang menipu, yaitu distorsi, dan ia
mendekati perasaan ekstase (tersembunyi) yang berbeda. Ia sama sekali tidak
memakan cendawan itu dan cendawan yang menimbulkan kegilaan ini tidak dikenalnya.
Sarapan paginya adalah kebenaran di jalan yang tak terbelah. Akhirnya setelah
menjalarnya tanaman (anggur) dan berbuah, setelah air anggur menghasilkan
saripatinya dan makan sore (setelah pantangan makan), Manusia Sempurna secara
aneh diperlengkapi dengan pedang yang tumpul. Akan tetapi, makanan ini bukan
seperti yang mereka nyatakan ataupun apa yang tumbuh di bawah pohon.
Sesungguhnya Kebenaran Ciptaan telah ditemukan, dan ekstase mungkin hanya
ditemukan di dalam rahasia makanan (roti) orang yang kelaparan dan kehausan. Ia
minum setelah makan. Di sini Sang Pencipta juga berperan sebagai Pengungkap.”
Paragraf yang mengagumkan
ini dianggap sebagai ocehan orang gila. Namun Syekh Mauji, Sufi dari Azamia,
menafsirkannya dalam selembar halaman karyanya Durud (Kisah-kisah): “Ada suatu
sensasi yang merupakan gairah sejati dan bisa disebut cinta. Sensasi ini
berasal dari sumber kuno dan penting bagi kemanusiaan. Tanda-tanda (simbol)nya
masih ada di luar kelompok-kelompok Sufi, namun sekarang hanya dalam bentuk simbol,
misalnya lambang Salib, sedang bagi kami tetap mengacu pada ajaran esoteris
Yesus sendiri. Sang Pencari (kebenaran) harus ingat bahwa ada beberapa
kemiripan perasaan yang menipu dan seperti kegilaan, namun bukan kegilaan yang
dimaksud Sufi ketika ia membicarakannya, sebagaimana si pengarang
menggunakannya dalam menggambarkan dirinya sendiri (Mast Qalandar). Dari sumber
tersebut, asal-usul apa yang kita sebut saripati dari anggur yang merupakan
buah dari tanamannya, hasil dari pembelahan dan pertumbuhan, akan muncul
pencerahan yang sejati. Setelah suatu periode pematangan dari saripati anggur
atau roti, pemisahan melalui cinta, maka muncullah kekuatan Pengungkap.
Kekuatan ini adalah gizi, namun bukan gizi makanan dalam pengertian wujud apa
pun seperti sebuah benda fisik biasa…”
Paragraf orisinal itu,
yang kurang lebih merupakan bentuk sastra Persia, menunjukkan kepada kita apa
yang sebenarnya berusaha dijelaskan oleh “darwis gila” itu. Paragraf itu selalu
menggunakan akar kata tunggal yaitu FThR. Tidak ada terjemahan yang mungkin
dapat diterapkan pada fakta puitis tersebut, karena makna akar kata ini tidak
dapat dilingkupi dalam terjemahan. Oleh karena penterjemahan kata itu — dalam
kata “terbelah”, “roti bersusun”, “pengalaman religius” dan lainnya — berasal
dari akar kata yang berbeda, maka kita mudah sekali melalaikan makna dari
sebuah kata tunggal. Sebagai contoh: “Ya baradar; Fathir ast thafaththari
fithrat wa dzati fithrat …” Di dalam paragraf terdiri dari seratus sebelas
kata, kata-kata turunan FThR tidak lebih hanya dua puluh tiga kali! Pemakaian
kata-kata turunan tersebut, meskipun bukannya tidak tepat, sangat tidak lazim
(karena sebenarnya ada sebuah kata baku yang lebih tepat untuk digunakan
menurut konteks itu) sehingga niscaya sebuah pesan yang disampaikan dengan
mengibaratkan dampak dari reaksi kimiawi cendawan itu menunjukkan suatu
pengalaman yang tak terbantah namun kabur.
Sumber: Mahkota Sufi, Menembus Dunia Ekstra
Dimensi oleh Idries Shah (Judul asli The Sufis, Penterjemah M. Hidayatullah dan
Roudlon, S.Ag). Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni
2000.