Bagi
yang konsen pada studi analisis wacana, kajian politik global, dan soal-soal
yang berkaitan dengan kapitalisme serta kondisi mutakhir masyarakat dunia kita
belakangan ini, tentu mengenal pula nama Noam Chomsky. Tulisan ini mencoba
untuk menguraikan kembali analisanya Noam Chomsky tentang demokrasi-kapitalis,
utamanya terkait dengan negara Noam Chomsky sendiri, Amerika Serikat, yang
belakangan ini acapkali disorot karena politik invasif-nya di sejumlah negara,
utamanya di Timur Tengah, seperti di Irak dan Suriah belakangan ini.
Di
sini, yang hendak diangkat dan didadarkan adalah bagaimana kaum korporat (para
oligarkh dan pengusaha-pengusaha multinasional) yang bekerjasama dengan
kekuasaan ‘membentuk pikiran publik’ atau menggiring opini dan pikiran
masyarakat dalam memandang dunia dan realitas kita saat ini, yang salah-satu
contohnya adalah dengan menggunakan kelas menengah kaum intelektual (yang
menikmati bayaran dan kenyamanan dari kapitalisme dan pasar yang dikendalikan
kelas/korporasi berkuasa).
Dalam
pandangan dan analisisnya Noam Chomsky, proses pembentukan pikiran publik
melalui propaganda dan doktrin untuk mengukuhkan kekuasaan kelas berkuasa di
Amerika Serikat telah lazim digunakan, bahkan dapat dikatakan sejak Amerika
Serikat itu sendiri didirikan oleh para pendatang yang membantai puluhan juta
(ada yang menyebut seratus juta) orang-orang Indian yang merupakan penduduk
asli benua Amerika kala itu. Tanpa ditopang oleh penguasaan atas pikiran
publik, demikian diterangkan Noam Chomsky, maka doktrin-doktrin kelas berkuasa
takkan bisa bertahan lama.
Dalam
hal ini, apa yang diperlukan oleh setiap kekuasaan adalah “mendikte setiap
pikiran publik persis seperti halnya sebuah pasukan mendikte tubuh-tubuh dari
tentara-tentaranya” melalui lembaga-lembaga dan atau institusi-institusi,
semisal lewat institusi pendidikan, selain melalui media-media massa.
Dengan
mengutip pengalaman Edward Bernays saat bekerja untuk Komite untuk Informasi
Publik, Noam Chomsky menunjukkan bahwa sejak Perang Dunia Pertama, Amerika
Serikat telah terbiasa dengan upaya-upaya “menundukkan pikiran publik”,
“merekayasa konsensus”, “menggiring aspirasi massa”, dan juga “memanipulasi massa
atau publik (masyarakat dan warga negara) secara terencana dan cerdas, semisal
membentuk dan menggiring kebiasaan-kebiasaan dan opini-opini massa secara
terorganisir demi tujuan-tujuan strategis dan politis Amerika, dan tentu juga
demi menciptakan kepatuhan warga negara”.
Upaya-upaya
tersebut tentu saja ditopang bukan hanya melalui propaganda-propaganda media-media
massa belaka yang dimiliki para korporat yang bekerjasama dengan pemerintah dan
para politisi Amerika Serikat, melainkan oleh kaum intelektual, seperti yang
dilakukan James Madison, agar gagasan dan doktrin tentang kekuasaan kaum
kapitalis itu bisa memperoleh legitimasi dan bahkan landasan konstitusional di
dalam negeri Amerika Serikat, sehingga kepatuhan warga Amerika Serikat pun
dimungkinkan, dan menimalisir potensi kritis dari warga negara Amerika.
James
Madison yang merupakan intelektual politik dan presiden keempat Amerika Serikat
itu, demikian sebagaimana dicontohkan Noam Chomsky, memainkan peranan yang sangat
penting bagi peletakan batu fondasi (alas atau dasar) bagi struktur politik
yang kapitalis dan imperialis, dapat berlaku dan berjalan di Amerika Serikat.
Jadi, dalam hal ini, dapat dikatakan, sedari awal sebenarnya struktur dan
pemerintahan di Amerika Serikat dirancang demi ‘mengamankan’ kepentingan kaum
oligarkh dan para korporat yang bekerjasama dengan pemerintah dan para politisi
di Amerika Serikat.
Lebit
lanjut, Noam Chomsky menerangkan bahwa sebagai salah seorang perancang
konstitusi Amerika Serikat, James Madison menolak pengalaman Inggris dimana
demokrasi memungkinkan masyarakat kelas bawah untuk merebut kembali tanah dari
para tuan tanahnya, dan hal itu dirasa sangat mengkhawatirkan bagi para
bangsawan dan korporat yang ada di Amerika Serikat.
Begitulah,
karena kekhawatiran itu, James Madison pun berupaya sekuat pikiran dan
tenaganya untuk meletakkan dasar politik Amerika Serikat dengan mendukung suatu
model sistem politik yang “melindungi minoritas orang kaya (para korporat dan
kaum oligarkh) menghadapi kaum mayoritas” dan “mencanangkan suatu sistem dan
mekanisme di mana kekuasaan politik harus berada di tangan orang-orang kaya di
negeri itu, harus dalam kendali dan berada di tangan para oligarkh dan
korporat”, sementara “lapis masyarakat yang lain harus dimarjinalisasikan dan
dipecah-belah, agar tercipta partisipasi publik yang terbatas di wilayah arena
politik”.
Dan
tak diragukan lagi, hasil dari doktrin Masonian itu pun adalah diteguhkannya
kekuasaan otoritarian yang menjadi dasar dari demokrasi pasar (demokrasi yang
dikendalikan kaum elit kecil kapitalis yang pernah dikritik Bung Karno itu),
yaitu sejenis demokrasi yang dikangkangi oleh kaum oligarkh dan korporasi
bisnis dan digunakan untuk memuluskan dan ‘memapankan’ kekuasaan mereka, sebagaimana
terjadi saat ini di mana mereka membiayai sejumlah perang dan politik invasi
Amerika ke sejumlah negara, utamanya di Timur Tengah, semisal di Yaman, Suriah
dan Irak.
Selanjutnya,
setelah konstitusi Masonian yang menopang kekuasaan kaum kapitalis tersebut ditegakkan
dan dimapankan sistem dan mekanismenya, beberapa doktrin yang memiliki
preferensi terhadap ‘pasar bebas’ (liberalisme yang akan menguntungkan mereka)
pun diterapkan. Kaum intelektual di negeri itu pun mengamini tuntutan kaum
industrialis Amerika Serikat yang menyerukan adanya “malapetaka yang mengancam
kaum industrialis” dalam bentuk “kekuasaan politik massa rakyat yang baru
terbangun.”
Bersama-sama
dengan kaum intelektual itulah, “kaum industrialis (para oligarkh dan korporat)
itu harus menjalankan serta memenangkan perang yang tiada akhir demi
memperebutkan pikiran-pikiran manusia” dan “mengindoktrinasi para warga negara
dengan cerita kapitalis” yang mereka buat, yang bahkan mereka massifkan dalam
kurikulum pendidikan dan “didoktrinkan’ di sekolah-sekolah dan
perguruan-perguruan tinggi. Beberapa dari suara-suara kaum industrialis dan
intelektual itu utamanya ditujukan untuk mewaspadai bangkitnya kekuatan
sosialisme di Amerika Latin, dan dalam hal inilah Amerika Serikat juga berusaha
membendung pengaruh-pengaruh pikiran sosialis yang datang dari Soviet (Rusia).
Kemudian,
untuk menghambat proses tersebut, kaum intelektual, kalangan pebisnis (para
oligarkh dan kaum elite korporat) dan negara imperial Amerika Serikat pun berupaya
untuk menanamkan doktrin Washington Konsensus (neo-liberalisme) dan demokrasi
pasar, baik melalui serangkaian perjanjian struktural maupun melalui perang
imperialis. Terhadap upaya ini, para editor jurnal ilmiah yang bergaris liberal,
contohnya, mendukung dengan gigih dengan menyebut bahwa proses yang sedang
terjadi pada dasarnya “kebangkitan kembali demokrasi di Amerika Latin”.
Tak
pelak lagi, dukungan ‘membuta’ (tanpa kritik dan perlawanan) kaum intelektual
itu, sebagaimana dipaparkan Noam Chomksy, melalaikan fakta bahwa: “demokrasi
yang dimaksud adalah sejauh ia meniru model Amerika Serikat yang memberi
keleluasaan pada kaum kaya, juga mengabaikan bahwa demokrasi seperti itu
seringkali dibangun di atas perang dan teror terhadap kaum miskin, serta yang
juga cukup miris: melupakan fakta bahwa demokrasi pasar berdiri di atas
penderitaan kaum buruh, petani, dan kaum miskin lainnya yang semakin dihisap
dan dieksploitasi.