Oleh O
Hashem (penulis buku Saqifah)
“Yazid
bin Muawwiyah Membunuh Imam Husain Cucu Rasûl, Membunuh Muhâjirîn dan Anshâr,
Memperkosa Seribu Wanita, Membunuh
120.000 Orang”
Di masa
pemerintahan Yazîd bin Muâwiyah, tahun 61 H, 681 M. pasukan yang dipimpin oleh
Umar Sa’d bin Abî Waqqâsh yang berjumlah 4.000 orang telah membunuh Husain bin
Alî bin Abî Thâlib dan keluarga serta sahabat-sahabatnya yang berjumlah 72
orang. Mereka digiring ke daerah tandus Karbala dan dicegah mengambil air dari
sungai Efrat untuk diminum. Sebelum dibunuh tenda mereka yang sedang kehausan
itu dibakar. Mereka menginjak-injak tubuh Husain dengan kaki kuda sampai
hancur. Semua kepala mereka di pancung dan diarak di kota Kûfah. Wanita-wanita
diarak sebagai tawanan, milik mereka termasuk pakaian dirampas.
Yang
mengherankan mereka membunuh keluarga Rasûl Allâh saw ini dengan bangga sambil
bersenandung.
Mas’ûdî
melukiskan: Mereka membunuh dan membunuh sampai Husain terbunuh dan seorang
lelaki dari suku Madzhaj memenggal kepalanya lepas dari tubuh sambil berteriak
gembira:
Akulah
pembunuh sang raja terselubung,
Putera
terbaik telah luluh,
Turunan
termulia telah kubunuh.
Setelah
diarak sekeliling kota, Ziyâd, gubernur Kûfah mengirim kepala Husain ke Yazîd
bin Muâwiyah di Damaskus. Bersama Yazîd ada Abû Burdah al-Islamî. Yazîd
meletakkan kepala itu di depannya dan memukul-mukul mulut kepala itu dengan
tongkat sambil bersenandung:
Pecah sudah
bagian penting seorang tercinta,
Bagi kami
mereka adalah lalim dan pemecah,
Abû Burdah
lalu berkata: “Angkat tongkatmu. Demi Allâh, saya melihat Rasûl Allâh saw.
menciumi bibir itu!”[1][1][1]
Ada orang mengatakan bahwa Yazîd menyesali perbuatannya, tetapi ia tidak pernah
menghukum, memecat bahkan tidak pernah mengecam Ibnu Ziyâd, gubernur Kûfah
sebagai penanggung jawab pembunuhan terhadap cucu, buah mata Rasûl Allâh saw.
Contoh lain,
betapa “sifat jahiliah” hampir melampaui keyakanan agama adalah apa yang
dilakukan Amr bin Sa’îd bin Âsh. Amr bin Sa’îd bin Âsh menjabat gubernur
Madînah tatkala Husain dibunuh. Ziyâd mengirim Abdul Mâlik bin Abî Hârits
al-Sulamî ke Madînah untuk mengabarkan berita kematian itu kepada Amr bin
Sa’îd.
Salmi masuk
dan Amr bertanya: “Ada berita apa?”
Salmi:
“Alangkah bahagianya wahai Pemimpin, Husain bin Alî bin Abî Thâlib telah
dibunuh.”
Amr:
“Sebarkan berita kematiannya!”
Dan aku
menyebarkan berita kematiannya dan demi Allâh aku belum pernah mendengar
tangisan memilukan seperti tangisan kaum wanita Banû Hâsyim mendengar kematian
Husain. Dan Amr berkata sambil tertawa:
Bersoraklah
hai Wanita Banû Ziyâd,
Bak sorakan
wanita kami setelah perang Arnab.
Tangisan ini
seperti tangisan untuk Utsmân.
Ia lalu naik
mimbar dan memberi tahu jemaah akan kematian Husain. Kemudian ia menunjuk ke
kubur Nabî dan berkata: “Ya, Muhammad. Sebuah pembalasan untuk Perang Badr.”
Dan orangorang Anshâr mengingkarinya.
Ia juga
memanggil Abû Rafi’, maulâ Rasûl Allâh: “Maulâ siapa engkau?”
Abû Rafi’:
“Saya maulâ Rasûl Allâh saw!”
Dan ia lalu
memecutnya seratus kali. Amr pergi. Setelah itu ia panggil lagi Abû Rafi’:
“Maulâ siapa engkau?” Abû Rafi’: “Maulâ Rasûl Allâh!” Ia lalu dipecut seratus
kali, dan pergi. Ia mengulanginya lagi sampai 500 kali cambukan. Akhirnya
karena takut mati Abû Rafi’ berkata: “Aku maulâ paduka!”[2][2][2]
Hal serupa
juga terjadi sebelum ini, yaitu pada Perang Shiffîn, dua orang yang membawa
kepala Ammâr bin Yâsir kepada Muâwiyah, bertengkar, masing-masing mengaku bahwa
dialah yang memenggal kepala Ammâr yang oleh Rasûl dikatakan bahwa pembunuh
Ammâr adalah komplotan pemberontak.
Ibnu Qutaibah
menceriterakan dalam al-Ma’ârif bahwa yang mengaku membunuh Ammâr yang telah
berumur 93 tahun itu adalah Abû al-Ghâdiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh
Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala Ammâr dan
memenggalnya kepalanya. Kepala Ammâr telah berubah rupa.”[3][3][3]
Abû Umar
menceriterakan Ammâr dibunuh oleh Abû al-Ghâdiyah dan yang memenggal kepalanya
adalah Ibnu Jaz’a as-Saksakî.[4][4][4]
Yang
lain lagi terjadi tahun 63 H, 683 M, pasukan Yazîd yang dipimpin Muslim bin
Uqbah menyerbu kota Madînah dengan 12.000 anggota pasukan, yang terkenal dengan
perang Harrah. Yazîd menyerbu dari arah Timur Madînah, yang disebut Harrah
Syarqiyah, agar orang Madînah silau oleh sinar matahari.
Ia lalu
membunuh 7.000 tokoh dan 10.000 rakyat jelata, di antaranya 80 sahabat pengikut
Perang Badr, 1.000 orang Anshâr dan 800 kaum Quraisy. Ia membolehkan pasukannya
menjarah dan merampok kota Madînah selama 3 hari dan menurut Ibnu Katsîr ada
seribu gadis yang hamil akibat perkosaan pada masa itu.
Khalîfah Umar
bin Abdul Azîz, khalîfah berhati mulia, yang memerintah dua setengah tahun dari
92 tahun pemerintahan dinasti Umayyah, mengatakan: “Bila ada pertandingan
kekejaman pemimpin, maka kita kaum Muslimîn pasti akan jadi juara bila kita
kirim Hajjâj bin Yûsuf.”
Seperti
dicatat oleh Tirmidzî, Ibnu Asâkir, dalam 20 tahun sebagai gubernur “khalîfah”
Abdul Mâlik bin Marwân di Iraq ia telah membunuh 120.000 Muslim dengan berdarah
dingin, shabran[5][5][5],
dan ditemukan dalam penjaranya 80.000 orang dan diantaranya 30.000 wanita yang
dihukum tanpa diadili dan banyak yang sudah membusuk. Ia menembaki ka’bah
dengan katapel (alat pelempar batu, manjaniq) pada musim haji dalam memerangi
Ibnu Zubair. Ia melakukan tindakan kejam yang sukar dilukiskan, terutama
terhadap pengikut-pengikut Imâm Alî dan memerlukan buku tersendiri untuk
menulis riwayat Hajjâj bin Yûsuf. Ketika Abdul Mâlik akan meninggal ia berpesan
agar berlaku baik terhadap Hajjâj bin Yûsuf “karena dia telah mengalahkan
musuh-musuhmu.”[6][6][6]
Ia tidak
segan menghina sahabat yang sudah meninggal sekalipun:
A’masy
menceritakan: “Demi Allâh, aku mendengar Hajjâj bin Yûsuf berkata:
“Mengherankan Abû Hudzail (maksudnya Abdullâh bin Mas’ûd). Ia mengatakan ia
membaca Al-Qur’ân, demi Allâh ia hanya kotoran dari kotoran-kotoran orang
Badwi. Demi Allâh bila aku bisa menemuinya, akan aku tebas lehernya.”[7][7][7]
Di bagian lain, ia berkhotbah: “Demi Allâh, bertakwalah kepada Allâh
sesanggupmu, tidak ada itu hari pembalasan. Dengar dan patuhlah kepada
Amîru’l-mu’minîn Abdul Mâlik karena ia dapat membalas. Demi Allâh bila aku
suruh kamu keluar melalui pintu itu dan kamu keluar dari pintu lain, aku akan
ambil darah dan hartamu.”[8][8][8]
Hâfizh Ibnu
Asâkir berkata: “Hajjâj berkhotbah di Kûfah dan setelah menyebut orang-orang
yang berziarah ke kubur Nabî saw. di Madînah, ia berkata: “Mengapa mereka tidak
mengunjungi dan bertawaf di istana Amîru’l-mu’minîn Abdul Mâlik, apakah mereka
tidak tahu bahwa khalîfah Abdul Mâlik adalah orang yang lebih baik dari
Rasûlnya.”[9][9][9]
Al-Hâfizh
Ibnu Asâkir mengatakan : “Suatu ketika ada dua orang berbeda pendapat tentang
Hajjâj. Seorang mengatakan Hajjâj kafir, dan yang lain mengatakan ia mu’min
yang tersesat. Mereka lalu menanyakan pada asy-Syu’bah yang berkata kepada
keduanya: “Sesungguhnya ia Mu’min di jubahnya tetapi ia sebenarnya adalah
thâghût dan kafir sekafir-kafirnya.”
Tatkala
Wâshil bin Abdul A’la bertanya kepadanya tentang Hajjâj bin Yûsuf ia menjawab:
“Anda menanyaiku tentang si kafir itu?”
Di
zaman itu, memenggal kepala seorang muslim oleh penguasa dianggap sebagai
permainan anak-anak. Menyayat dan menginjak-injak jenazah Muslim adalah
perbuatan sehari-hari. Rata-rata Hajjâj bin Yûsuf selama 20 tahun jadi gubernur Iraq membunuh 7 orang sehari secara berdarah dingin.
Di
zaman itu, lebih baik orang mengaku zindîq atau kafir dari pada mengaku Syî’ah.
Dan orang-orang Syî’ah yang terancam nyawanya melakukan taqiyah. Di zaman Banû
Abbâs kekejaman terhadap Syî’ah lebih parah.
CATATAN:
[10][10][1]
Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 90-91. Dengan sedikit berbeda, lihat
juga Thabarî, Târîkh, jilid 2, hlm. 371; Dinawari, Kitâb al-Akhbâr atTiwal,
hlm. 259; Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa’n-Nihâyah, jilid 7, hlm. 190.
[11][11][2]
Al-Ishâbah, jilid 4, hlm. 68.
[12][12][3] Ibn
Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 112.
[13][13][4] Ibn
Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 10, hlm. 105.
[14][14][5]
Shahîh Tirmidzî, jilid 9, hlm. 64; Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 80;
Tafsîr al-Wushûl, jilid 4, hlm. 36.
[15][15][6] Ibnu
Atsîr, Târîkh, jilid 3, hlm. 103, Ibnu Khaldûn, Târîkh, jilid 3, hlm. 58.
[16][16][7]
Al-Hâkim, Mustadrak, jilid 2, hlm. 556; Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 69.
[17][17][8] Ibnu
_Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 69.
[18][18][9] Ibnu
Aqil, an-Nashâyih, hlm. 81